Membaca Lebih Dalam Indeks Persepsi Korupsi
Bersandar pada Skor Indeks Persepsi Korupsi yang dirangkai oleh lembaga Transparency International, capaian Indonesia tahun 2017 tampak stagnan, tidak beranjak dari skor tahun 2016 lalu sebesar 37 dalam skala 0-100. Apa yang dapat diinterpretasikan dari kondisi demikian?
Bagi pembuat indeks, stagnasi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) disebabkan oleh dinamika hasil penilaian pada sembilan indikator penyusun indeks. Indeks terbangun dari hasil berbagai survei persepsi baik di bidang hukum, ekonomi, politik, hingga demokrasi. Kenaikan skor terjadi pada beberapa indikator terkait dengan ekonomi seperti kemudahan berusaha di negeri ini.
Akan tetapi, penurunan skor di bidang hukum, lebih khususnya skor dari indikator World Justice Project (WJP) 2017, yang digunakan untuk mengukur efektivitas penegakan hukum dan integritas penegakan hukum di negeri ini, menjadikan skor total indeks tidak beranjak dari kondisi tahun sebelumnya.
Menurunnya salah satu indikator hukum, bagi Transparency International Indonesia (TII) diinterpretasikan sebagai suatu persoalan krusial di bidang penegakan hukum. Ditengarai, tingginya praktik korupsi di Indonesia adalah disebabkan oleh maraknya politik uang. “Dari hasil survei TII dan kemerosotan skor WJP terlihat bahwa para pejabat publik kita, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun militer masih menggunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan pribadi,” ungkap Wawan Suyatmiko, peneliti TII (Kompas, 24/2).
Dalam pemberitaan sehari sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, mengungkapkan stagnasi IPK Indonesia juga disumbangkan oleh korupsi yang terjadi di partai politik dan di jajaran penegak hukum. Berdasarkan data KPK, kasus-kasus hukum yang melibatkan politikus dan aparat penegak hukum memang sangat mengkhawatirkan. Catatan dari 2004-2017, ada 17 hakim dan 7 jaksa ditangkap karena korupsi. Selain itu, 144 anggota parlemen, 69 wali kota/bupati, dan 18 gubernur juga diproses hukum.
Penafsiran Indeks
Akan tetapi, interpretasi yang berbeda juga muncul. Stagnasi IPK adalah kemandekan pemberantasan korupsi. Lebih jauh lagi, stagnasi mengindikasikan pencegahan dan penindakan korupsi di negeri ini jalan di tempat. Bagi sebagian anggota DPR, kondisi demikian merupakan jawaban dari kurang berfungsi efektifnya KPK.
Pada akhir Desember 2017 lalu, misalnya, dalam draft rekomendasi Panitia Angket KPK DPR terkait dengan Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK, tercantum salah satu kesimpulan “Kepada KPK, dengan kewenangan-kewenangan yang ada maka dalam kurun waktu 5 tahun agar dapat meningkatkan IPK." Pansus DPR menganggap dari segi kinerja, kelemahan strategi KPK dalam pemberantasan korupsi selama ini dapat dilihat dari belum membaiknya IPK bangsa Indonesia. Ternyata, penindakan agresif dan eksesif yang dilakukan oleh KPK tidak banyak mengurangi tingkat korupsi.
Fahri Hamzah, wakil ketua DPR, bahkan berkali-kali menyatakan keberadaan KPK tidak terlalu berpengaruh terhadap pemberantasan korupsi. "Kalau saya jadi presiden, KPK akan saya bubarkan," kata Fahri saat menjadi pembicara di Fakultas Ekonomi Syariah di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Jawa Barat (20/9/2017).
Dua sisi penafsiran indeks yang berseberangan di atas, adalah gambaran riil bagaimana eksistensi indeks yang tidak lagi sekadar rangkuman penilaian dalam wujud kuantifikasi angka. Sebagaimana yang terjadi pada persoalan-persoalan sejenis di negeri ini, dimana suatu indikator numerik dijadikan suatu acuan, kerap melahirkan beragam interpretasi yang berseberangan. Perbedaan interpretasi pun tidak berkesudahan hingga berujung pada polemik. Indeks menjadi bersifat serba relatif. Parahnya, dalam pemaknaan yang serba multi tafsir kepentingan penafsir menjadi dominan. Indeks menjadi angka terpolitisasi yang semakin jauh dari esensi kehadiran indeks sesungguhnya.
Dua sisi penafsiran indeks yang berseberangan adalah gambaran riil eksistensi indeks yang tidak lagi sekadar rangkuman penilaian kuantitas.
Oleh karena itu, indeks patutlah ditempatkan pemaknaannya sebagai indeks. Dalam kaitan dengan IPK, indeks tidak lebih dari suatu gambaran persepsi dari suatu kelompok individu sebagai responden terhadap berbagai kondisi yang dinilainya dari waktu ke waktu. Dengan demikian, indeks disusun berupa rasio yang digunakan untuk mengukur perubahan dari suatu pijakan waktu yang dijadikan dasar tahun penilaian.
Sejarah Indeks
Dari sisi historis, Indeks Pemberantasan Korupsi pertama kali dikeluarkan pada Tahun 1995, oleh NGO internasional Transparency International yang berkantor pusat di Berlin, Jerman. Awalnya, bersama para pakar dari University of Goettingen, indeks dirangkai dari gabungan 7 hasil survei persepsi (poll of polls).
Survei-survei tersebut al.: World Competitive Report (1992-1994) yang dibuat oleh Institute for Management Development, survei Political & Economic Risk Consultancy Ltd, Hong Kong (1992-1994), dan survei Business International, New York (1980). Persepsi pebisnis internasional dan juga para jurnalis menjadi dasar survei.
Saat pertama kali dirilis, 15 Juli 1995, temuan survei sangat menohok Indonesia. Dengan laporan bertajuk “New Zealand Best, Indonesia Worst in World Poll of International Corruption”, Indonesia ditempatkan pada posisi terbawah (posisi 41) dengan skor 1,94. Skala pengukuran saat itu, skor antara o hingga maksimal 10 dimana angka 10 menggambarkan kondisi negara yang bersih dari praktik korupsi.
Semenjak dirangkai awal hingga kini sudah berkali-kali perubahan dan modifikasi indeks dilakukan. Dari sistem skor, misalnya, semenjak tahun 2012 hingga kini tidak lagi menggunakan skor maksimal 10, namun 100. Negara-negara yang dijadikan obyek indeks pun berubah, bertambah banyak. Jika di awal 41 negara yang terindeks, maka pada tahun 2017 lalu, tercatat 180 negara. Sumber data indeks pun bertambah banyak. Saat ini 13 sumber data survei menjadi dasar penyusunan indeks.
Memang tidak semua hasil survei digunakan pada setiap negara. Khusus Indonesia misalnya, 9 sumber data survei dijadikan rujukan. Secara khusus, TI Indonesia pun melakukan survei terhadap para pelaku usaha di 12 kota besar.
Dengan berbagai perubahan dan modifikasi yang dilakukan, bagaimana selama ini dinamika capaian indeks korupsi di Indonesia?
Mengambil acuan pengukuran 1995-2011, terjadi peningkatan walau sebenarnya tidak tampak signifikan. Disimpulkan demikian, lantaran kurun waktu 17 tahun tersebut, kenaikan skor IPK hanya 1,1 saja. Sekalipun jumlah negara yang dikaji menjadi semakin banyak, namun posisi Indonesia masih tetap berada pada papan bawah. Persepsi bahwa Indonesia sebagai negara yang tidak bebas korupsi masih melekat. Posisi teratas dari waktu ke waktu tetap saja diisi oleh negara-negara Finlandia, Denmark, Norwegia, Islandia.
Kondisi yang tidak berbeda jauh pada pengukuran IPK selepas 2012. Dengan menggunakan pengukuran baru yang berbasis skor tertinggi 100, skor Indonesia di tahun 2012 sebesar 32. Pada tahun 2016, meningkat menjadi sebesar 37. Setahun kemudian tidak beranjak, tetap di skor 37. Lima tahun terakhir, terjadi tren peningkatan. Walaupun demikian, tren peningkatan skor tidak tampak signifikan.
Pergerakan Lamban
Apabila dilakukan normalisasi ukuran dari kedua grafik, dapat pula disimpulkan bahwa selepas 1998 hingga kini terlihat tren peningkatan skor IPK. Bagi mereka yang berpandangan optimistis, kondisi demikian mengindikasikan terjadinya perbaikan persepsi masyarakat internasional terhadap praktik korupsi di negera ini. Perubahan rezim yang diikuti oleh reformasi politik, ekonomi, dan hukum semenjak 1998 mendorong peningkatan skor indeks. Begitu pula jika dikaitkan dengan kehadiran KPK semenjak 2003, secara konsisten diikuti oleh peningkatan skor IPK.
Akan tetapi, bagi mereka yang lebih bersifat kritis, dapat pula disimpulkan secara berbeda. Peningkatan tersebut tampak lamban, cenderung kurang signifikan. Persoalannya, 25 tahun pengukuran indeks dilakukan bagi Indonesia peningkatan tidak lebih dari 20 persen dari posisi semula.
Menjadi semakin pesimistis jika hasil IPK ini dijadikan salah satu rujukan indikator keberhasilan dalam Strategi Nasional PPK, dimana pemerintah menargetkan skor Indonesia tahun 2019 mendatang mencapai 50, kondisi yang menempatkan Indonesia pada level tengah di antara negara-negara dunia. Dengan kondisi yang berlangsung selama ini, tampak mustahil. Capaian tersebut paling tidak dapat diraih 10 tahun mendatang.
Pertanyaannya, mengapa pergerakan indeks tampak sedemikian lamban? Tidak hanya pada kasus Indonesia, dinamika indeks juga relatif sama pada negara-negara lain. Tidak tampak suatu negara yang secara konsisten meningkat dengan capaian yang tergolong signifikan dari tahun ke tahun. Tidak tampak pula negara-negara yang tergolong skor papan bawah berubah menjadi negara yang tergolong bersih praktik korupsi.
Jika ditelusuri, akan banyak dugaan-dugaan penyebab kelambanan tersebut. Interpretasi terhadap stagnasi indeks sebagaimana yang dipaparkan di awal tulisan ini, misalnya, merujuk pada kinerja penegakan hukum yang diperdebatkan sebagai pangkal penyebab. Sayangnya, perdebatan lebih berkembang menjadi perdebatan beraroma politis, dalam upaya saling mendelegitimasikan eksistensi masing-masing pihak.
Perdebatan berkembang menjadi politis, saling mendelegitimasikan eksistensi.
Bagi DPR misalnya, lambatnya peningkatan IPK dialamatkan pada kinerja KPK, sebagai lembaga yang dianggap harus menanggung akibat dari naik turunnya IPK. Sementara sebaliknya, bagi KPK dan aktivis anti korupsi, justru korupsi beraroma politik yang semakin membuat langkah penegakan hukum di Indonesia terseok. Apalagi DPR menjadi institusi yang selama ini dipersepsikan paling korup dan berbagai kasus korupsi pun banyak melibatkan anggota legislatif.
Pergerakan indeks lamban, tampaknya tidak semata hasil dari hubungan kausalitas yang langsung terjadi. Semakin gencar tindakan pencegahan ataupun penindakan korupsi yang dilakukan misalnya, tidak serta-merta langsung mempengaruhi penurunan praktik korupsi. Begitu pula jika pun terjadi penurunan praktik korupsi tidak serta-merta menjadi jaminan peningkatan nilai indeks. Indeks tidak mengukur hal tersebut, namun indeks tersusun dari suatu ukuran berbasis pada persepsi individu.
Sifat representasi Indeks
Pada hakekatnya persepsi merupakan opini subyektif individu terhadap kondisi faktual yang menjadi persoalan. Dengan berbasis persepsi, indeks bukan berujud ukuran kausalitas langsung namun terperantarai (tidak langsung). Dalam hal ini, intervensi faktor eksternal seperti pemberitaan media terkait dengan korupsi misalnya, lebih banyak diyakini memengaruhi persepsi individu dalam penggambarannya terhadap praktik korupsi di negeri ini.
Pada sisi lain, sebagaimana yang terjadi pada indeks-indeks komposit berbasis pada persepsi lainnya, indeks dirangkai berdasarkan hasil berbagai survei dengan beragam persoalan yang berbeda-beda. Permasalahannya, masing-masing survei tersebut didisain tidak secara khusus diperuntukkan bagi pembuatan indeks persepsi korupsi. Namun indeks persepsi korupsi dirangkai dari hasil berbagai survei yang sebelumnya sudah dilakukan. Implikasinya, penggabungan survei-survei yang beragam semakin menambah risiko kerumitan yang belum pasti secara tepat menjawab persoalan tinggi rendahnya praktik korupsi di setiap negara.
Apabila ditelusuri, masih beragam kelemahan dapat ditemukan dalam rangkaian indeks berbasis persepsi. Akan tetapi, di balik kelemahannya, IPK menjadi satu-satunya indikator yang keberadaannya tergolong relatif konsisten dari waktu-waktu. Konsistensi IPK semacam ini yang menjadi sumbangan paling berharga bagi perbandingan berkelanjutan. Bukan sebagai instrumen pelegitimasian ataupun pendelegitimasian suatu kepentingan politik tentunya (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).