Gugurnya Para Pejuang Pengumpul KTP
KTP, yang nilainya sangat berharga dalam pemilihan kepala daerah, turut menentukan tiket menuju gelanggang perebutan kekuasaan.
Kartu tanda penduduk atau KTP, yang nilainya sangat berharga dalam pemilihan kepala daerah, turut menentukan tiket menuju gelanggang perebutan kekuasaan. Sebagian calon berhasil menjadi pejuang tangguh hingga ke garis start, sebagian lainnya tersungkur di belakangnya.
Para pejuang yang mengumpulkan KTP untuk memperoleh tiket menuju kekuasaan adalah mereka yang bergerak di jalur perseorangan. Pilkada yang sejak 2006 membuka peluang bagi calon pemimpin daerah untuk maju di luar jalur partai politik dapat menempuhnya lewat jalur independen atau perseorangan. Syaratnya adalah mengumpulkan tanda dukungan masyarakat lewat KTP.
Untuk lolos menjadi peserta kontestasi pilkada, calon perseorangan harus mempersiapkan dukungan lewat KTP jauh-jauh hari, kalau tak ingin kehabisan mengais di ceruk dukungan yang kian sempit. Jika cukup banyak peminat yang maju pencalonan lewat jalur perseorangan, sumber daya dukungan harus diperebutkan oleh banyak kandidat.
Akibatnya, peluang makin kecil. Sangat berbeda dengan calon yang maju lewat jalur partai yang dalam sehari bisa mengubah ketakpastian menjadi kepastian. Namun, untuk jalur perseorangan, bakal calon harus jauh-jauh hari memulung peluang dan keberuntungan.
Pilkada 2018 kembali menjadi pelajaran berharga pentingnya mempersiapkan dukungan secara matang jauh-jauh hari. Calon perseorangan berpotensi gagal mulai dari saat awal penyerahan syarat dukungan pasangan calon, penelitian administrasi dan analisis dukungan ganda, pendaftaran pasangan calon, pemberitahuan hasil penelitian syarat pencalonan, pengumuman perbaikan dokumen syarat pasangan calon, hingga penetapan pasangan calon. Calon yang sudah lolos tahap-tahap awal bisa jadi tersingkir akibat gagal memperbaiki setelah hasil penelitian dan verifikasi diumumkan.
Rawannya manipulasi dan dukungan ganda pada jalur perseorangan menjadi sebab tahap-tahap penelitian terhadap penentuan kandidat dari jalur ini lebih lama dan cukup rumit. Pencoretan nama pasangan terus terjadi di setiap tahap.
Pada tahap penyerahan penyerahan syarat dukungan pasangan calon, 22-29 November 2017, sebanyak 47 dari 188 pasangan calon atau 25 persen gagal memenuhi target pengumpulan KTP dukungan. Setelah dilakukan penelitian, dari 141 pasang calon perseorangan, hanya 15 pasang calon yang memenuhi syarat. Sisanya masih harus melakukan perbaikan dengan penambahan dukungan.
Pada saat pendaftaran, satu lagi calon perseorangan langsung dinyatakan gugur. Tak berhenti sampai di situ karena masih ada tahap verifikasi tahap I dan II. Pada verifikasi tahap I, sebanyak 102 pasang calon ternyata masih menyandang status belum memenuhi syarat (BMS) dan hanya 27 yang memenuhi syarat (MS). Pada tahap verifikasi II, 12 pasang calon perseorangan kembali dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Dari Aceh ke nasional
Calon perseorangan diperbolehkan mendaftar pertama kali di Provinsi Aceh untuk pilkada 11 Desember 2006. Dari delapan pasang calon yang maju pada pilgub Aceh, dua di antaranya melalui jalur perseorangan. Salah satu calon dari jalur ini, yaitu pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, bahkan memenangi pilkada itu. Pada pilkada periode selanjutnya, tahun 2012, tiga dari lima calon juga maju lewat jalur perseorangan walaupun kemudian kalah oleh calon dari Partai Aceh.
Banyaknya calon perseorangan di Aceh dimudahkan oleh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur angka minimal dukungan hanya tiga persen dari jumlah penduduk sehingga calon dari jalur perseorangan tidak hanya di level jabatan gubernur, tetapi juga merebak di level bupati dan wali kota. Bahkan, dari 19 kabupaten/kota yang melangsungkan pilkada di Aceh, enam di antaranya dimenangi oleh calon perseorangan (dari mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka).
Euforia calon perseorangan ini menjadi preseden dan dengan cepat polanya diadopsi oleh daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007 yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dari semua daerah untuk maju dalam kontestasi pilkada.
Pada pilkada serentak 2015, sebanyak 136 dari total 827 pasang calon atau 16,6 persen dari jalur perseorangan. Jumlah pasangan calon perseorangan naik signifikan pada tahun 2017 menjadi 90 dari 337 (26,7 persen). Namun, kembali terjadi penurunan pilkada 2018 ini. Hingga hari penetapan pilkada serentak 12 Februari kemarin, KPU hanya menetapkan 455 pasang calon. Dari jumlah ini, hanya 59 (13 persen) pasangan calon yang lolos sebagai peserta jalur perseorangan.
Pilkada serentak 2015 menggunakan acuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mendasarkan perhitungan dukungan untuk calon perseorangan berdasarkan jumlah penduduk. Persentase 6,5-10 persen dukungan harus diperoleh dari jumlah penduduk keseluruhan yang ada di wilayah pilkada.
Sementara sejak Pilkada 2017 aturan main telah berubah pascaputusan MK yang mendasarkan jumlah dukungan dari persentase jumlah DPT yang ada di wilayah pilkada. Wajar jika pada 2017 terjadi lonjakan calon perseorangan yang drastis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, minimal dukungan calon perseorangan yang maju dalam pilgub berkisar dari 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih. Penentuan persentasenya tergantung dari banyaknya jumlah pemilih di suatu daerah pemilihan.
Besarnya jumlah dukungan bagi calon perseorangan menjadi persoalan yang terlalu berat bagi wilayah-wilayah dengan jumlah penduduk banyak, terlebih untuk pilkada tingkat provinsi. Pendaftar dari calon perseorangan untuk pilkada gubernur tercatat hanya empat pasangan dari total 58 calon (7 persen).
Keempat calon itu masing-masing mendaftar untuk pilgub Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Namun, dalam perkembangannya, hanya satu dari 50 pasangan pilgub yang berhasil ditetapkan sebagai peserta Pilkada 2018, yaitu Ichsan Yasin Limpo-Andi Musakkar (Sulawesi Selatan).
Kondisi ini berbeda jauh dengan di level kabupaten, dari 382 pendaftar pasangan calon, terdapat 90 pasang (23,6 persen) yang berasal dari perseorangan. Bahkan, untuk pilkada tingkat kota jumlah pendaftar calon perseorangan lebih banyak lagi, yakni 37 dari 140 pasang calon (26,4 persen). Pada penetapan pilkada 12 Februari lalu, hanya 16 persen pasangan calon independen untuk calon bupati yang sudah dinyatakan lolos, dan pada pemilihan wali kota hanya 17 persen.
Jika ditambahkan dengan yang belum ditetapkan, semua calon perseorangan dari berbagai jenis pemilihan berjumlah 16,8 persen dari total 524 pasang calon (455 yang sudah ditetapkan dan 69 yang belum).
Mereka yang gugur umumnya karena tak mampu memenuhi batas minimal dukungan yang ditetapkan, dan semakin berat karena jumlah perbaikan dukungan yang diserahkan paling sedikit harus dua kali lipat dari jumlah kekurangan dukungan. Makin ketatnya proses penelitian dan verifikasi di KPU juga turut berperan dalam menahan hasrat kekuasaan pejuang kekuasaan yang tak cermat dalam berhitung dukungan.
Saat ini, 26 daerah belum dapat menetapkan pasangan calon definitif, terdiri dari dua provinsi dan 24 kabupaten/kota. Melihat dari sebaran wilayah yang masih terkendala dalam menetapkan pasangan calon definitif, tampaknya tak hanya calon perseorangan yang harus berjuang. KPU daerah pun kali ini harus berjuang mengejar tenggat yang terlewat. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)