Kapal Layar Motor Adishree saat berada di wilayah Taman Nasional Komodo di Komodo, Manggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (28/8). Wisatawan dari berbagai negara datang ke lokasi pelesiran itu untuk menyelam dan menyaksikan komodo (Varanus komodoensis).
Upaya untuk melindungi komodo dari kepunahan sudah lama dilakukan oleh para penguasa di kawasan Manggarai yang berada di Pulau Flores bagian barat. Tahun 1915, Sultan Bima mengeluarkan surat keputusan tentang perlindungan komodo. Setelah Sultan Bima, para residen, mulai dari Residen Manggarai, Residen Flores, hingga Residen Timor, juga membuat aturan tentang perlindungan satwa ini dalam bentuk suaka satwa.
Hasilnya, melalui Zelfbestuur van Manggarai verordening Nomor 32 Tahun 1938, Pulau Rinca dan Pulau Padar yang berada di sekitar Pulau Komodo dijadikan sebagai bagian dari kawasan suaka satwa dengan pertimbangan, satwa ini juga hidup di kedua pulau tersebut.
Senada dengan itu, menyadari jumlah populasi komodo yang kian berkurang, pemerintah kolonial Belanda juga mulai memperketat kontrol terhadap ekspedisi perburuan komodo. Semua aturan perlindungan komodo yang sudah pernah dikeluarkan semenjak Kesultanan Bima disempurnakan dalam sebuah undang-undang yang menegaskan komodo sebagai satwa liar yang dilindungi. Penerapan aturan ini sedikit banyak membawa dampak terhadap konservasi komodo sehingga tren perburuan komodo mulai berkurang sejak akhir tahun 1930.
Ekspedisi komodo benar-benar terhenti ketika Perang Dunia (PD) II berkecamuk pada 1942. Kondisi ini tetap terjaga ketika PD II berakhir pada 1945 yang disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bahkan, sampai dengan akhir tahun 1960, ekspedisi perburuan komodo hampir tidak dilakukan lagi.
Tahun 1965, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan menetapkan Pulau Komodo sebagai kawasan Suaka Margasatwa dengan luas 31.000 hektar. Status Pulau Rinca dan Pulau Padar yang menjadi bagian dari suaka satwa dalam aturan sebelumnya dibatalkan. Tampaknya pemerintah ingin melakukan konservasi komodo hanya di Pulau Komodo yang populasinya kian berkurang.
Sementara Pulau Padar dan Pulau Rinca yang dikeluarkan dari kawasan suaka margasatwa, dipromosikan sebagai pusat kegiatan pariwisata dengan mengandalkan keberadaan satwa komodo dan keindahan alam yang ada di dalamnya. Tahun 1969, Gubernur Nusa Tenggara Timur El Tari mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan Pulau Padar dan Pulau Rinca sebagai hutan wisata.
Kunjungan pihak asing ke Pulau Komodo dalam rangka penelitian terhadap komodo baru dimulai lagi pada 1969. Ekspedisi ini membawa Walter Auffenberg dan asistennya bermukim di Pulau Komodo untuk mengadakan penelitian dalam jangka panjang. Lebih kurang 11 bulan lamanya kedua peneliti ini menghabiskan waktu untuk meneliti semua perilaku dan sifat-sifat alami komodo di alam liar.
Selama kurun waktu tersebut, Auffenberg dan asistennya berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 komodo untuk diteliti. Metode ini kemudian diadaptasi oleh Pemerintah Indonesia untuk menghitung jumlah populasi komodo dari waktu ke waktu. Bahkan, untuk memantau jumlah populasi komodo, saat ini TNK menggunakan metode ”tangkap-tandai-tangkap kembali” (capture-mark-recapture) yang diadaptasi dari cara Auffenberg.
”Cara ini lebih akurat untuk memprediksi jumlah populasi komodo di lapangan,” ungkap Rosdalima yang sudah beberapa tahun menggunakan metode ini dalam menghitung jumlah populasi komodo di TNK.
Kompas/Ingki Rinaldi
Sejumlah wisatawan mengabadikan gambar di puncak Gililawa Darat dalam kawasan Taman Nasional Komodo, di Komodo, Manggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Selasa(29/8). Wisatawan dari berbagai negara datang ke lokasi pelesiran itu untuk menyelam dan menyaksikan komodo (Varanus komodoensis).
Tahun 1980, pemerintah mengubah suaka margasatwa di Pulau Komodo menjadi Taman Nasional Komodo dengan memasukkan kembali Pulau Padar dan Pulau Rinca ke dalamnya. Kawasan konservasi yang dilindungi awalnya hanya mencakup wilayah daratan dengan luas 31.000 hektar.
Tahun 1992, pemerintah mengubah fungsi suaka margasatwa untuk Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar dan menunjuk perairan laut di sekitarnya menjadi TNK. Putusan ini mengintegrasikan wilayah darat dan perairan menjadi satu kawasan konservasi dengan penambahan luas yang signifikan, yaitu dari 31.000 hektar pada 1980 menjadi 173.000 hektar.
Integrasi kawasan konservasi ini menjadikan TNK sebagai salah satu kawasan laut paling kaya di dunia. Bentang kekayaannya mencakup 1.214 kilometer persegi habitat laut, seperti karang, mangrove, rumput laut, dan gunung laut, yang menjadi habitat bagi lebih dari 1.000 spesies ikan, 260 spesies karang, dan 70 spesies bunga karang.
Ikonik
Rentetan kebijakan dan regulasi tentang perlindungan komodo dari pemerintah selama ini menunjukkan bahwa kadal purba ini sangat bernilai dan memiliki pamor yang kuat. Sosok komodo sebagai kadal purba berukuran raksasa yang liar dan buas merupakan reputasi komodo yang sudah dikenal sejak satwa ini ditemukan tahun 1911. Sosok dan karakter inilah yang kerap diangkat sebagai ikon berbagai program konservasi oleh Pemerintah Indonesia dan lembaga internasional.
Tahun 1977, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) menetapkan kawasan konservasi komodo sebagai cagar biosfer di Indonesia. Artinya, keberadaan komodo dan ekosistemnya di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar, Gili Motang, dan Nusa Kode diakui secara internasional. Dengan kata lain, Cagar Biosfer Komodo merupakan satu-satunya tempat tinggal alami komodo di dunia.
Tahun 1991, WWF, UNESCO, dan Conservation International menetapkan komodo sebagai satwa prioritas konservasi dunia sehingga TNK menyandang gelar Warisan Dunia sekaligus Cagar Biosfer. Sepuluh tahun kemudian UNESCO menetapkan komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia (The New World Seven Wonders of Nature).
Rentetan pengakuan internasional terhadap eksistensi komodo tersebut membuat kadal purba ini semakin ikonik untuk dijadikan sumber acuan pencitraan atas reputasinya sebagai satwa raksasa yang liar, buas, dan langka. Ikon komodo lalu diciptakan untuk merepresentasikan sosok dan karakter alaminya sekaligus merepresentasikan upaya konservasi guna melindungi satwa ini dari kepunahan. Ikon komodo menjadi simbol perlindungan populasi hewan ini secara langsung di habitatnya. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)
Kompas
Seekor komodo (Varanus komodoensis) jantan sedang beristirahat di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Kamis (31/8). Komodo telah menjadi ikon nasional hewan prasejarah yang bertahan hidup hingga masa modern.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.