Komodo, Ikon yang Memiliki Nilai Jual
Hari masih pagi ketika kendaraan Tim Jelajah Terumbu Karang Kompas meninggalkan Hotel Boutique Komodo di daerah Sarnaru menuju Pelabuhan Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis, 31 Agustus 2017. Hari itu Tim Jelajah akan berkeliling menggunakan Kapal Motor (KM) Kalaki dalam rangka mengunjungi Pulau Komodo, Pulau Papagarang, dan Pulau Rinca. Ketiga pulau ini merupakan pulau berpenghuni yang ada dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).
KM Kalaki bertolak dari Pelabuhan Labuan Bajo ketika hari sudah beranjak siang. Panas sinar matahari menemani perjalanan tim hingga kapal berlabuh di Pantai Pink (Pink Beach). Pantai ini sudah menjadi salah satu destinasi wisata favorit yang selalu disisipkan dalam setiap paket wisata ke Labuan Bajo. Selama berkeliling, paling tidak ada empat kapal yang silih berganti berlabuh untuk menurunkan wisatawan yang hendak snorkeling atau yang mau menikmati sensasi pasir di pantai ini.
Setelah sesi pengambilan gambar dari udara dan darat, perjalanan dilanjutkan dengan tujuan dermaga Loh Liang, pintu masuk ke kawasan konservasi kadal raksasa komodo yang ada di Pulau Komodo. Hari masih terang ketika kapal bersandar di dermaga. ”Ini dermaga baru dibangun untuk tempat sandar kapal cruise. Namun, kapal-kapal itu tidak mau berlabuh di sini karena lautnya masih dianggap kurang dalam,” kata Fajarudin, pemerhati masalah sosial yang menjadi pendamping tim selama di Labuan Bajo.
”Kalau dermaga lama, lebih pendek dan masih terbuat dari kayu,” kata mantan aktivis ini sembari mengarahkan telunjuknya ke sebuah dermaga kayu yang masih berdiri tegak di sebelah kiri posisi kami.
Loh Liang
Loh Liang merupakan akses masuk yang disediakan oleh TNK untuk publik atau wisatawan yang hendak melihat reptil komodo di Pulau Komodo. Ada dua dermaga yang berdiri di pinggir pantai. Dermaga pertama terbuat dari kayu dan berada dalam kondisi baik. Ini adalah dermaga lama. Dermaga ini sudah jarang digunakan untuk kepentingan wisata. Kedua adalah dermaga yang terbuat dari beton. Panjangnya hampir 1 kilometer dari bibir pantai hingga ujung terluar. Sekarang dermaga ini banyak dimanfaatkan oleh kapal-kapal wisata lokal untuk bersandar dan menurunkan penumpang yang hendak melihat komodo.
Di dalam kawasan terdapat beberapa bangunan yang difungsikan sebagai kantor pengelola TNK di Pulau Komodo. Bangunan paling depan merupakan bangunan utama yang menjadi pusat pelayanan TNK untuk publik atau wisatawan. Lahan sisanya hanya berupa padang rumput kering terbuka, sabana, tanah kosong dengan pepohonan, dan kawasan berbukit-bukit.
Sore itu seorang pengawas TNK dan beberapa ranger (petugas yang mendampingi dan mengarahkan pengunjung) terlihat sigap melayani sejumlah wisatawan mancanegara dan Tim Jelajah Terumbu Karang. Wisatawan harus membeli tiket masuk terlebih dahulu atau menunjukkan surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi) kepada petugas. Setelah urusan administrasi ini beres, wisatawan bisa menyaksikan atraksi komodo yang lokasinya sudah disiapkan atau melihat kehidupan asli binatang itu langsung di habitatnya.
Untuk pilihan yang kedua, ranger akan menawarkan tiga jenis tracking, yaitu short tracking, middle tracking, dan long tracking. Sesuai namanya, perbedaan ketiga jenis tracking ini terletak pada jarak dan rute yang ditempuh. Tim Jelajah menjajal short tracking yang ditemani oleh dua ranger. Inilah jenis wisata yang banyak digemari oleh turis, baik domestik maupun mancanegara. Sensasi memasuki alam liar yang menjadi habitat komodo ini bisa memicu adrenalin karena reputasi komodo sebagai kadal raksasa liar yang bisa menciutkan nyali ketika berhadapan secara langsung.
Banyak wisatawan mancanegara yang mengambil long tracking dengan target bisa melihat komodo-komodo liar yang senang hidup di padang rumput terbuka. Perilaku komodo liar ini menarik wisatawan karena gerak-gerik mereka yang alami dan sulit ditebak. ”Komodo liar ini sangat peka dengan kehadiran manusia sehingga mereka langsung lari begitu ada manusia mendekat. Komodo liar berburu mangsa hidup, seperti rusa atau kambing dengan mengintai, diikuti pelan-pelan lalu menyerang,” kata Pengendali Ekosistem Hutan Balai TNK Maria Rosdalima Panggur ketika dijumpai di kantornya di Balai TNK Labuan Bajo.
Untuk ukuran badan, menurut Rosdalima, komodo liar lebih ramping dan kekar karena mereka banyak bergerak ketika berburu mangsanya. Komodo-komodo liar bisa lari dengan kecepatan tinggi dan berenang di air laut. Karakter ini sudah jarang ditemui pada komodo yang ”dipelihara” untuk kepentingan wisata. Rosdalima menyebut komodo wisata ini dengan nama komodo atraksi yang bentuk badannya lebih gemuk, lamban, dan terlihat malas. Kemampuan berburu mangsa juga sudah berkurang karena makanan mereka kebanyakan dipasok oleh TNK.
Karakter komodo atraksi ini sempat direkam oleh Tim Jelajah ketika short tracking di dua titik. Titik pertama tidak jauh dari titik keberangkatan. Komodo ini terlihat sedang merebahkan badan di tanah terbuka dekat sebuah pohon. Komodo ini terlihat diam ketika didekati oleh manusia. Tidak sedikitpun badannya bergeming. Badannya yang gempal membuat geraknya terlihat lamban. Di titik kedua terdapat tiga komodo yang tidur berdekatan. Penampakan perilakunya sama seperti komodo di titik pertama. Bahkan, komodo-komodo ini tampak ikut menikmati ketika dijadikan sebagai latar depan foto wisatawan.
Membanjirnya wisatawan ke Pulau Komodo beberapa tahun terakhir tidak mengganggu jumlah populasi komodo. ”Komodo di Pulau Komodo cenderung stabil jumlahnya karena selalu dikontrol secara berkala, baik dari aspek jumlah, ketersediaan mangsa, maupun perubahan perilaku,” ungkap Kepala Tata Usaha Balai TNK Dwi Putro Sugiarto di kantornya. Dari hasil inventarisasi TNK yang dilakukan sejak tahun 2009 sampai 2014, populasi komodo sebetulnya meningkat. Tahun 2009, jumlah komodo 1.492 ekor, tahun 2012 bertambah menjadi 2.841 ekor. Dua tahun kemudian (2014) jumlahnya meningkat menjadi 2.919 ekor.
Selain di Pulau Komodo, untuk menyaksikan kehidupan komodo secara langsung di habitatnya, wisatawan bisa menikmati sensasi kehidupan liar kadal purba ini di Pulau Rinca. Pihak TNK menyediakan satu pintu masuk khusus bagi wisatawan di pulau ini, yaitu Loh Liang. Berdsarkan data TNK, hingga 2014, jumlah populasi komodo di pulau ini 2.875 ekor. Angka ini merupakan jumlah populasi komodo terbanyak sejak 2009.
Komodifikasi
Sejak ditemukan tahun 1911, komodo sudah memiliki daya tarik yang kerap mengundang rasa penasaran para peneliti, pebisnis, hingga petualang. Reputasi komodo sebagai reptil raksasa telah mendorong sejumlah ekspedisi khusus dari Eropa ke Pulau Komodo. W Douglas Burden melakukan ekspedisi pertama tahun 1926. Dari ekspedisi ini Douglas berhasil mendapatkan 12 spesimen yang diawetkan dan dua komodo hidup.
Keberhasilan ekspedisi ini mengundang orang-orang Eropa untuk datang ke Pulau Komodo, entah untuk penelitian atau sekadar menangkap satwa ini untuk dibawa kembali ke negara mereka dengan motif bisnis. Ukuran tubuh komodo yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat komodo populer dan selalu menjadi tontonan menarik di kebun binatang Eropa dan Amerika saat itu. Namun, tidak semua kebun binatang memiliki komodo karena reptil purba ini rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit. Selain itu, komodo juga sulit berkembang biak di dalam kebun binatang.
Komodo yang pertama dipertontonkan adalah di Kebun Binatang Smithsonian, Washington DC, Amerika Serikat, pada 1934. Di kebun binatang ini komodo hanya bertahan hidup selama dua tahun. Usia komodo yang pendek ini membuat pihak kebun binatang terus-menerus berupaya untuk memelihara kadal purba ini dalam kondisi yang prima untuk memperpanjang masa hidupnya. Upaya-upaya tersebut hanya mampu menambah dua hingga tahun usia komodo sehingga kadal-kadal raksasa yang hidup dalam Kebun Binatang Smithsonian ini usianya tidak bisa melebihi lima tahun.
Daya tahan hidup komodo yang lemah di luar habitatnya ini membuat satwa ini menjadi koleksi yang langka di kebun binatang. Padahal, reputasinya sebagai kadal purba sebesar raksasa ini telah menyedot rasa penasaran warga untuk menyaksikan langsung makhluk ini di kebun binatang. Maka, ekspedisi perburuan untuk menangkap komodo dalam rangka menjaga stok koleksi kebun binatang pun digalakkan.
Pada masa ini, komodo mulai dikomodifikasi menjadi barang yang memiliki nilai ekonomis karena reputasinya yang terus laku dijual. Motif bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari reputasi komodo ini ikut mendorong sejumlah ekspedisi perburuan komodo pada pertengahan tahun 1920 hingga awal 1940. Penelitian ilmiah tetap menjadi motif yang mendasari setiap ekspedisi. Namun, penelitian yang dilakukan saat itu lebih berorientasi untuk menjinakkan komodo. Perilaku liar yang lain tetap diteliti, tetapi orientasinya adalah untuk mengadaptasikan sifat buas komodo menjadi atraksi yang menarik untuk dijual.
Lemahnya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah lokal terhadap keberadaan makhluk langka ini juga menjadi salah satu andil yang mendorong maraknya perburuan komodo. Akibatnya, selama kurun waktu tersebut, jumlah populasi komodo berkurang drastis karena hampir tidak ada kontrol dari penguasa setempat terhadap kelangsungn hidup satwa purba ini. (Bersambung) (SULTANI/LITBANG KOMPAS)