Sulitnya Gubernur Menata PKL
Pasar Tanah Abang menyandang predikat sebagai pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Geliat jual-beli di pasar ini tak pernah sepi. Perputaran uang di sini mencapai puluhan miliar per harinya. Namun, kawasan Pasar Tanah Abang identik dengan kesemrawutan dan lalu lintas yang macet. Pedagang kaki lima di sini terkenal paling susah ditertibkan. Penataan kawasan pasar tak pernah berhenti dilakukan dari dulu hingga sekarang. Namun, persoalan tersebut juga tak pernah tuntas.
Pasar Tanah Abang yang kini luasnya mencapai 8,2 hektar ini pada mulanya dirintis oleh seorang saudagar Belanda bernama Justinus Vinck sekitar abad ke-17. Pasar yang dulu berdiri di atas gundukan tanah merah tersebut secara resmi berdiri pada 30 Agustus 1735. Staatsblad 1735 menetapkan Pasar Tanah Abang buka setiap Sabtu. Saat itu ada ketentuan hewan yang masuk pasar harus dicap bakar. Sebelum resmi ditetapkan, pada 1628, di kawasan Pasar Tanah Abang sudah berlangsung perdagangan tekstil, kambing, dan sayuran dalam skala kecil.
Pada masa itu, Pasar Tanah Abang berlokasi di pinggiran kota, tak jauh dari Kali Krukut. Bangunan pasar belum permanen, terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Akses jalan menuju pasar hanya bisa melalui kanal atau terusan yang dirancang Kapten Bhoa Bingam pada 1648. Berbagai barang dagangan diangkut menggunakan sampan dari pinggiran Kampung Molenvliet West (sekitar Jalan Gajahmada) atau Rijswijk (sekitar Harmoni) menuju Pasar Tanah.
Pasar Tanah Abang dibangun menjadi bangunan permanen pada 1926. Bangunan tersebut terdiri atas 3 los yang masing-masing memanjang sekitar 200 meter. Seiring dengan perkembangan kota, pasar tekstil ini tidak lagi berlokasi di pinggiran kota.
Pasar ini dikelilingi permukiman orang Arab yang tahun 1920 mulai berdatangan ke Batavia. Sebelumnya, pasar ini dikelilingi permukiman dan perkebunan orang China. Namun, setelah ada peristiwa Pembantaian Orang-orang China pada 1740, orang China di sekitar pasar menyingkir ke kawasan pinggiran.
Di sekitar pasar kemudian dibangun beberapa tempat ibadah, seperti Masjid Al Makmur hingga Kelenteng Hok Tek Tjen Sien. Menyusul kemudian dibangun stasiun kereta api Tanah Abang. Tak hanya stasiun, di sekitar pasar juga pernah menjadi pangkalan taksi serta ebro, kendaraan bertenda dan beroda empat yang ditarik dua kuda. Setelah pembangunan stasiun, pasar semakin berkembang. Hampir semua komoditas diperjualbelikan, seperti sayuran, buah-buahan, aneka tekstil dan kain batik, hingga barang rongsokan.
Baru pada 1972, pasar yang sudah berusia ratusan tahun tersebut direnovasi menjadi bangunan baru pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Bangunan dibagi menjadi empat blok, yaitu blok A, B, C, dan D, yang masing-masing terdiri dari tiga lantai.
Selama dalam proses peremajaan, sebagian besar pedagang ditampung di sekitar Jalan Asem Lama (sekarang Jalan Wahid Hasum). Sebagian kecil ditampung di Kampung Bali. Tidak ada kesulitan dalam proses pemindahan tersebut walaupun jumlah pedagangnya sudah mencapai 1.200 orang.
Setelah peremajaan pasar selesai, para pedagang dipindahkan kembali ke pasar tersebut dengan tertib dan rapi. Keadaan sekitar pasar, seperti keberadaan pedagang kaki lima (PKL) dan lahan parkir, belum semrawut seperti sekarang (Kompas, 24 Februari 2003).
Pedagang kaki lima
PKL di Jakarta mulai berkembang pada akhir abad ke-19. Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun menggambarkan PKL biasa berteriak untuk menarik pembeli. Namun, pemerintah kota tak menyukai kehadiran PKL dan mengusir mereka dari jalan. Tindakan pemerintah ini menuai protes dari sejumlah bumiputra yang duduk di Dewan Kota.
Susan memperkirakan, jumlah PKL meningkat pada 1934, efek dari masa depresi dunia tahun 1930-an. Jumlah PKL terus meningkat setelah kemerdekaan dan dianggap merusak keindahan kota, cara dagangnya primitif dan membuat malu saat tamu negara berkunjung.
Pada pemerintahan Gubernur Ali Sadikin (1966-1971), PKL ditindak tegas. Sebagai imbalannya, Ali Sadikin menyediakan lahan baru untuk mereka. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Gubernur DKI Jakarta tanggal 27 Juli 1971 No. Lb.1/1/11/1970. Ketegasan Ali Sadikin juga tecermin dari upaya pemindahan pedagang dari pasar lama ke tempat penampungan sementara yang berjalan lancar dan tanpa perlawanan. Dalam penelusuran berita Kompas semasa pemerintahan Ali Sadikin, tidak ditemukan cerita konflik PKL di Tanah Abang.
Namun, pada pemerintahan Gubernur Tjokropranolo (1977-1982), PKL mendapat ”angin” lantaran penertiban dan pemindahan PKL agak berkurang. Sejak itu, jumlah PKL tak terkendali. Mereka terus memenuhi pinggiran jalan Ibu Kota.
Relokasi ke tempat baru
Selanjutnya, pada masa Gubernur Soerjadi Soerdirdja (1992-1997), kehadiran PKL Tanah Abang semakin marak yang membuat kondisi pasar semrawut dan kemacetan lalu lintas semakin parah. Berbagai penertiban telah dilakukan pemerintah untuk menata PKL, tetapi tak kunjung membuahkan hasil. Seperti penertiban Februari 1991, misalnya, pemerintah melibatkan militer dalam Operasi Disiplin Nasional selama tiga bulan.
Namun, upaya ini juga gagal. Sudarsono, pemimpin operasi tersebut, hanya dapat menyusun daftar penyebab keruwetan, antara lain faktor PKL dan parkir kendaraan. Menurut Sudarsono, penertiban sulit dilakukan karena kawasan pasar merupakan tempat banyak orang mencari nafkah hidup, termasuk bagi sejumlah oknum yang memanfaatkan dan memelihara keruwetan tersebut.
Bahkan, pada penertiban Oktober 1993, rencana operasi sudah ”bocor” sebelum diberlakukan. Saat tim penertib datang di pagi hari, banyak pedagang sudah tahu dan menggulung barang dagangan mereka untuk kemudian kabur. PKL memiliki strategi untuk menghadapi aparat. Caranya, barang dagangan ditaruh di atas selembar plastik besar. Saat razia datang, mereka tinggal menarik dan menyatukan barang yang di atas plastik, kemudian pergi.
Pada akhir masa pemerintahan Soerjadi, Wali Kota Jakarta Pusat H Chairunas Yusuf, yang juga penanggung jawab penertiban kawasan Tanah Abang, mempunyai konsep baru penataan. Ia mengelompokkan PKL berdasarkan jenis barang dan membuat kapling berdasarkan jumlah pedagang. Pedagang dapat dikenali dari tanda pengenal yang diberikan. Nantinya, di lokasi yang sudah ditentukan, para pedagang bebas memilih lokasi lapak, tergantung siapa yang paling dulu datang.
Pengaturan waktu
Kepemimpinan Jakarta berganti ke tangan Gubernur Sutiyoso, tetapi masalah PKL di Tanah Abang tetap muncul. Sepanjang dua periode kepemimpinannya, PKL mengokupasi trotoar. Mereka juga menggunakan sebagian besar badan Jalan Fakhrudin dan Kebon Jati, bahkan hanya menyisakan satu jalur untuk dilewati kendaraan. Masih terjadi juga PKL yang ”kucing-kucingan” dengan petugas. Pedagang mulai menggelar dagangan pukul 12.00 hingga malam untuk menyiasati petugas penertiban.
Penertiban juga dilakukan berkali-kali. Rata-rata dari penelusuran pemberitaan Kompas, penertiban dilakukan sekali hingga dua kali sehari. Upaya penataan yang dilakukan tak hanya sekadar menggusur, tetapi juga memberi lokasi baru bagi PKL, seperti ke lantai 3 dan 4 Pasar Kebon Jati, ke kios penampungan Kebon Melati, serta tempat penampungan Blok A Tanah Abang. Pada Desember 2001, PD Pasar Jaya menyerahkan pengelolaan manajemen Pasar Tanah Abang kepada swasta.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo, masalah PKL yang berjualan di badan jalan belum juga selesai. Jalan Fachrudin dan Kebon Jati menjadi tempat favorit PKL. Akibatnya, terjadi kemacetan lalu lintas di sejumlah titik. Salah satu cara pengaturan yang dilakukan pada 2009, PKL hanya diizinkan berdagang pada waktu tertentu, yakni pukul 16.30-22.00.
Pindah ke blok
Pada kepemimpinan Gubernur Joko Widodo yang dimulai pada 2012, babak baru penanganan PKL Tanah Abang dimulai. Sampai Juni 2013, kawasan Tanah Abang masih dipenuhi PKL di pinggir jalan raya. Pada bulan berikutnya (Juli), Jokowi memerintahkan penertiban PKL, parkir liar, dan angkutan umum yang ngetem di jalan kawasan Tanah Abang. Bahkan, diberlakukan denda sebesar Rp 100.000 bagi PKL yang masih berjualan di pinggir jalan.
Gubernur Joko Widodo tak hanya menertibkan PKL. Langkah berbeda yang dilakukannya dibandingkan gubernur yang lain adalah merenovasi Pasar Blok G. Pasar Blok G sudah sejak lama dibangun, tetapi bertahun-tahun terbengkalai. PKL ditempatkan ke blok G dengan cara mendaftar.
Tak hanya PKL Tanah Abang yang berniat mendaftar, tetapi juga PKL warga di luar Tanah Abang, bahkan luar Jakarta. Sejak PKL dipindah, kawasan Tanah Abang menjadi lebih rapi. Kemacetan yang biasanya terjadi tak tampak lagi. Namun, setahun kemudian, aktivitas jual-beli di blok G kembali sepi. Sebanyak 60 pedagang pada pemberitaan Juni 2014 tercatat meninggalkan lapak blok G dan memilih berdagang di tempat lain.
Kembali marak
Pemerintahan kemudian diteruskan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. PKL tetap menjamur di badan jalan di depan blok G. Satpol PP Jakarta Pusat terus berupaya menertibkan ratusan PKL tersebut hingga awal Januari 2017. PKL yang berjualan di depan blok G dipindah ke lahan Pasar Tasik dan dibuatkan lapak khusus. Trotoar di sekitar Tanah Abang juga diperlebar dan direvitalisasi supaya pejalan kaki merasa nyaman. Sebelum pembangunan trotoar selesai, PKL diminta mundur sementara di belakang garis kuning pejalan kaki tunanetra. Kondisi Tanah Abang kembali rapi seperti 2013.
Sayangnya, kondisi tersebut hanya bertahan hingga September 2017. Setelah itu, Pasar Tanah Abang kembali berantakan. PKL kembali berjualan di trotoar yang telah berukuran hingga 10 meter. Trotoar yang dipenuhi PKL tersebut membuat pejalan kaki terpaksa berjalan di badan jalan karena PKL tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Keluhan pun tak hanya berasal dari pejalan kaki, tetapi juga pemilik kios di Pasar Blok B. Mereka mengeluh, penghasilannya turun sekitar 50 persen sejak PKL dibiarkan berjualan di trotoar. (M PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS)