PDI-P dan Ideologi (2): Adaptasi dan Transformasi
Tahun 1946 merupakan fase baru dalam perkembangan PNI yang ditandai dengan berfusinya Serikat Rakyat Indonesia atau Serindo dengan jaringan PNI di beberapa daerah ke dalam satu wadah politik. Peristiwa yang terjadi pada 29 Januari 1946 ini sekaligus menandai perubahan nama dan wadah perjuangan kelompok-kelompok nasionalis tersebut menjadi Partai Nasional Indonesia atau PNI.
PNI baru ini mencoba mengadopsi dan mewarisi semua ideologi dan gagasan Marhaenisme PNI Soekarno tahun 1927.
Adaptasi ideologi ini setidaknya secara psikologi politik meningkatkan rasa percaya diri PNI untuk mengasosiasikan partainya sebagai ”kebangkitan kembali PNI 1927”. Asosiasi ini menunjukkan kepiawaian politik PNI untuk mentransformasi ideologi, gagasan, dan sosok Bung Karno sebagai legitimasi bahwa PNI adalah partai berideologi kerakyatan seperti yang dicita-citakan oleh Soekarno.
Namun, penggunaan nama PNI dan segala atributnya hanya sebagai asosiasi atau keterikatan dengan PNI 1927, bukan kelahiran kembali. Artinya, meskipun PNI tahun 1946 ingin mentransformasi ideologi dan garis perjuangan PNI 1927, semangat dan watak yang diperlihatkan sangat berbeda.
Selain karena perbedaan zaman, idealisme terbentuknya PNI baru dilatari oleh dorongan untuk meraih kekuasaan di parlemen dan pemerintahan pascakemerdekaan. Retor AW Kaligis, dalam buku Marhaen dan Wong Cilik: Membedah Wacana dan Praktik Ideologi bagi Rakyat Kecil dari PNI sampai PDI Perjuangan (2014), mengungkap, Presiden Soekarno sendiri dalam beberapa kesempatan selalu mengkritik ideologi Marhaenisme yang dianggap kurang sesuai dengan prinsip-prinsip revolusi yang hendak diterapkan di Indonesia.
Soekarno menolak Marhaenisme PNI disamakan dengan pemikirannya karena isinya tidak menyebutkan ”Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia”.
Penggunaan ideologi Marhaenisme oleh PNI dianggap mengurangi makna revolusioner seperti yang terkandung di dalam Marxisme.
Karena itulah, dalam beberapa forum pertemuan, Soekarno berkali-kali menyebutkan Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia merupakan wujud perjuangan membela rakyat dari kapitalisme dan imperialisme secara revolusioner.
Upaya untuk menyamakan Marhaenisme PNI dengan Marhaenisme Bung Karno ternyata selalu menjadi isu krusial partai sehingga kerap dijadikan agenda utama untuk dibahas dalam setiap kongres.
Menurut Kaligis (2014), meskipun akhirnya PNI mau menyesuaikan ideologi Marhaenisme-nya dengan memasukkan ”Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia”, perselisihan pendapat soal substansi Marhaenisme ini mencerminkan perbedaan prinsipil ideologi dengan PNI 1927.
Di tengah pergumulan ideologi di dalam tubuh PNI, pada 1949 Partai Komunis Indonesia kembali menggalang kekuatan untuk merekonstruksi partai. Dalam perjalanannya, partai ini kemudian menjadi pesaing PNI dalam Pemilu 1955.
PNI berhasil mentransformasi ideologi kerakyatan dan menjadikan dirinya sebagai partai yang berpihak kepada masyarakat kecil. Keberpihakan inilah yang membuat popularitas PNI pada Pemilu 1955 sangat tinggi sehingga menjadi partai yang paling banyak dipilih rakyat. Popularitas PNI mampu mengalahkan PKI, rival politik terbesarnya yang sama-sama membawa ideologi kerakyatan.
”Pengordebaruan”
Pada tahun 1965, PKI dinyatakan terlibat dalam upaya kudeta untuk menggulingkan Presiden Soekarno, lalu dinyatakan sebagai partai terlarang ketika Orde Baru memulai kekuasaannya secara resmi pada 1968.
Tiga tahun kemudian (1971) rezim Orde Baru menyelenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh sembilan partai politik dan Golongan Karya. Hasilnya, popularitas PNI merosot drastis. Posisi pemenang pemilu ditempati oleh organisasi peserta pemilu (OPP) pendatang baru, yaitu Golongan Karya (Golkar).
Seiring dengan kemenangan Golkar, penguasa Orde Baru ingin memperbesar pengaruh kekuasaannya dengan cara memperkecil ruang gerak parpol melalui kebijakan penyederhanaan partai atau fusi.
Pada Januari 1973 partai peserta pemilu 1971 yang berhaluan nasionalis-sekuler dan agama (non-Islam), yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Di titik inilah PNI harus mentransformasi ideologi partai yang sudah diadaptasi dari pemikiran Soekarno selama 25 tahun, sesuai dengan selera dan keinginan penguasa. Ketika fusi dilakukan, partai ini belum memiliki sebuah paham kolektif yang bisa mengintegrasikan perbedaan-perbedaan karakter dan ideologi tiap-tiap unsur fusi.
PDI dipaksa untuk ”mengordebarukan” dirinya dengan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh ideologi masa lalu. Artinya, semua ideologi masa lalu harus ditanggalkan dan digantikan dengan ideologi baru yang senapas dengan semangat Orde Baru.
Pengordebaruan bisa diterima sebagai bentuk kompromi idealisme perjuangan dengan pragmatisme politik di hadapan penguasa. Para tokoh PDI sadar, Marhaenisme memang kuat pengaruhnya, tetapi paham ini identik dengan PNI, dan sudah pasti tidak akan direstui oleh Orde Baru karena dianggap mewarisi semangat Orde Lama yang memiliki watak progresif-revolusioner.
Sebagai langkah kompromistis, para tokoh PDI menyiasati pengordebaruan dirinya dengan mentransformasi Marhaenisme ke dalam istilah lain yang menjadi tiga watak dan ciri PDI, yakni demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan keadilan sosial.
Meski demikian, transformasi dari Marhaenisme menjadi tiga watak dan ciri PDI tidak mampu mengintegrasikan perbedaan ideologi yang dibawa oleh partai-partai yang berfusi. Akibatnya, PDI sangat mudah diintervensi oleh penguasa yang membuat soliditas internalnya sangat lemah. Kerentanan konflik menjadi menu setiap kongres lantaran perebutan posisi strategis dalam kepengurusan partai.
Wong cilik
Menjelang Pemilu 1987 Ketua Umum PDI Soerjadi mengangkat jargon wong cilik sebagai identitas partai untuk menghadapi pemilu. Soerjadi mengadopsi kembali wong cilik sebagai upaya untuk mendekati rakyat dengan menggunakan identitas PDI sebagai partainya ”orang-orang kecil”, partai yang berpihak kepada rakyat kecil.
Wong cilik sendiri bukan jargon baru dalam politik Indonesia karena istilah ini pernah populer pada masa Orde Lama. Wong cilik sempat nangkring sebagai penjaga pojok Harian Rakjat, sebuah media cetak yang berafiliasi dengan PKI.
Karena dinilai memiliki keterkaitan dengan Orde Lama dan PKI, kemunculan jargon wong cilik ini sempat menuai kontroversi, terutama dari para pejabat Orde Baru. Namun, keterkaitan istilah wong cilik dengan PKI ini tidak terdengar lagi setelah Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar juga menggunakan istilah ini.
Wong cilik lantas menjadi populer karena dipandang cukup netral sehingga bisa diterima oleh semua kalangan di internal PDI dan penguasa. Wong cilik tidak lagi mengidentifikasikan PNI dan Orde Lama. Intensitas penggunaan istilah wong cilik yang dilakukan secara terus-menerus oleh tokoh-tokoh PDI membuat partai ini sempat disebut sebagai partainya wong cilik.
Di dalam tubuh PDI sendiri wong cilik dipandang sebagai jargon yang bisa mengintegrasikan semua perbedaan ideologi unsur-unsur fusi yang menjadi biang kerok konflik di antara mereka. Meski demikian, dalam praktiknya pada konteks politik nasional, pengertian wong cilik memiliki pemaknaan yang sama dengan Marhaen.
Basis ideologi
Ian Adams, dalam buku Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (1993), menyebutkan, ideologi terkait langsung dengan aktivitas politik praktis. Ideologi tidak sekadar nilai-nilai bersama yang diyakini kebenarannya, tetapi ikut meletakkan idealisme untuk diyakini, tujuan untuk diusahakan, dan alasan untuk diperjuangkan.
Ideologi mengarahkan kebijakan yang harus dikejar, menentukan siapa kawan dan siapa lawan, dan mengapa kepercayaan yang bertentangan adalah berbahaya. Karena itulah, ideologi menjadi pembimbing bagi tindakan politik.
PDI Perjuangan sebagai kelanjutan dari PDI meneruskan tiga watak dan ciri partai, yaitu demokrasi Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan keadilan sosial. Transformasi istilah Marhaen menjadi wong cilik juga dilanjutkan oleh PDI-P. Dalam deklarasi perubahan nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan pada 1 Februari 1999, dinyatakan bahwa partai ini menganut asas Pancasila dan bercirikan kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Artinya, menempatkan rakyat kecil sebagai sasaran dan arah perjuangan politik merupakan pilihan ideologis PDI-P yang sudah dinyatakan secara terbuka sejak partai ini dideklarasikan 18 tahun silam. Wong cilik menjadi landasan bagi PDI-P untuk membangun basis ideologi yang lebih jelas sehingga bisa diterima oleh masyarakat luas, memberikan arahan bagi kemajuan bangsa, dan dapat diimplementasikan dalam persoalan-persolan sehari-hari.
Melalui wong cilik, PDI-P ingin mewujudkan pandangannya mengenai kehidupan ideal rakyat kecil–mereka yang rentan terhadap penindasan–sebagai cita-cita kebangsaan, yang akan diwujudkan melalui pengorganisasian dan perjuangan rakyat untuk mencapai kekuasaan politik dan memengaruhi kebijakan dengan cara-cara damai, demokratis, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi PDI-P, ideologi formal yang dianut adalah Pancasila 1 Juni 1945, sedangkan keberpihakan PDI-P kepada rakyat kecil kerap dinyatakan sebagai perwujudan idealisme politik yang berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional. Taat konstitusi inilah yang membedakan PDI-P dengan PKI atau paham komunisme dalam mewujudkan cita-cita atau idealisme politik.
PDI-P ingin mewujudkan kesejahteraan wong cilik melalui pembuatan kebijakan yang dilakukan dengan cara-cara damai, demokratis, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, PKI lebih memilih cara-cara yang revolusioner dengan gerakan massa demi menggapai cita-cita politik mereka. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)