Salah Kaprah Superblok
Geliat pembangunan Jakarta kian terasa dengan menjamurnya superblok sejak tahun 2000-an. Blok-blok gedung pencakar langit nan megah itu telah mengubah lanskap kota Jakarta menjadi kota besar yang modern. Namun, di balik kemegahan megapolitan itu, Jakarta justru semakin tidak siap menghadapi persoalan kota yang semakin kompleks. Padahal pembangunan dengan konsep superblok dapat menjadi solusi pembaruan kota agar lebih nyaman.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi pusat aktivitas segala bentuk kegiatan, mulai dari perekonomian, pemerintahan, hingga perindustrian. Kian hari, Jakarta terus berkembang dengan segala proses pengotaannya (urbanisasi). Urbanisasi di sini tidak hanya terkait arus masyarakat yang masuk ke wilayah kota, tetapi juga perkembangan pembangunan yang semakin masif dan modern. Tantangan Jakarta sebagai kota besar dengan kepadatan tinggi memang begitu kompleks, termasuk dalam hal pembangunan efektif di tengah semakin menyempitnya ruang kota yang tersedia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada 2016 jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai lebih dari sepuluh juta jiwa. Bahkan, pada siang hari atau jam kerja, penduduk yang menapaki Jakarta mencapai tidak kurang dari 13 juta orang. Jumlah penduduk yang demikian banyak, lebih dari dari sepuluh juta jiwa, menegaskan bahwa kota ini masuk dalam kategori megapolitan.
Dengan luas wilayah 661,5 kilometer persegi, kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 15.367 jiwa per kilometer persegi. Angka tersebut jauh di atas ambang batas kepadatan untuk suatu wilayah. Standar Nasional Indonesia Nomor 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan mengategorikan wilayah dengan jumlah penduduk lebih dari 400 jiwa per hektar merupakan wilayah dengan kepadatan tinggi.
Kepadatan penduduk di Jakarta memang tergolong sangat tinggi, bahkan untuk ukuran dunia. Pada 2015, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UN Habitat, yang menangani isu permukiman, merilis data kota dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi. Jakarta bertengger di posisi sembilan, setelah India (12.100 jiwa per kilometer persegi) dan Singapura (10.200 jiwa per kilometer persegi), sebagai kota terpadat dengan jumlah penduduk mencapai 9.600 jiwa per kilometer persegi. Isu kepadatan ini tentu menjadi persoalan besar yang harus dihadapi Jakarta.
Salah satu persoalan utama yang harus dihadapi Jakarta dan kota padat lainnya di seluruh dunia adalah ketersediaan lahan. Ketersediaan lahan menjadi persyaratan utama untuk menyelenggarakan pembangunan. Aliran orang yang datang menuju kota sebagai pusat aktivitas deras mengalir, sementara lahan tidak bisa bertambah. Membendung aliran orang untuk tidak berpindah ke kota merupakan hal yang mustahil.
Jakarta telah menjadi lahan yang menawarkan banyak cara untuk mengadu dan memperbaiki nasib. Gelombang aliran urbanisasi menjadi bagian dari pengotaan yang mengancam keberlangsungan kehidupan perkotaan. Hal itu tidak boleh dibiarkan tanpa adanya upaya pembaruan untuk merawat dan kembali menghidupkan kota agar lebih nyaman.
Oleh karena itu, untuk memenuhi tuntutan banyak hal dalam pengotaan, diperlukan suatu konsep pembangunan yang lebih efisien. Kepadatan penduduk dan ketersediaan lahan di Jakarta semakin minim. Hal ini pastinya juga berdampak pada ketersediaan lahan terbuka yang semakin tergerus keberadaannya oleh peruntukan pembangunan.
Kondisi perkotaan yang demikian menjadikan Jakarta mau tidak mau harus berorientasi pada pembangunan vertikal. Pembangunan gedung bertingkat memang mutlak harus dilakukan agar dapat mengakomodasi kebutuhan penduduk yang kian padat. Tren pembangunan gedung bertingkat terus terjadi di kota di seluruh dunia. Seiring dengan bergeraknya pengotaan, bangunan vertikal pun berkembang menjadi bangunan yang memiliki banyak fungsi.
Konsep superblok
Pembangunan gedung tinggi sudah dimulai sejak puluhan tahun silam dan terus berkembang hingga sekarang. Pada 1930, bangunan vertikal banyak muncul di Benua Amerika, tepatnya di Amerika bagian utara. Ketika itu, kondisi perkotaan di wilayah tersebut sudah semakin padat dengan berbagai aktivitas. Kemudian, pada 1960-an, meskipun belum banyak jumlahnya, bangunan tinggi mulai populer di wilayah Eropa.
Dua dekade kemudian, 1990-2000, bangunan vertikal terus berkembang di kawasan Asia. Sejak 2010, pertumbuhan bangunan tinggi di Asia bahkan sudah mengalahkan Amerika dan Eropa dengan tingkat penyelesaian pembangunan lebih dari 50 persen. Bahkan, sepanjang 2015, Benua Asia untuk kesekian kalinya kembali mendominasi lokasi pembangunan gedung pencakar langit. Pembangunan di Asia yang berhasil diselesaikan mencapai 81 gedung pencakar langit dari total pembangunan 106 gedung (76 persen).
Pada awal kemunculannya tersebut, peruntukan gedung bertingkat hanya sebagai bangunan perkantoran. Konsep pembangunan vertikal terus berkembang seiring modernisasi dan pengotaan yang terjadi. Pembangunan gedung tinggi memiliki desain dan tata guna fungsi yang kian beragam. Sejak 2000-an, konsep peruntukan dalam pembangunan gedung bertingkat telah berkembang, yakni sebagai kantor, hunian, dan beragam fungsi campuran (mix-used).
Perkembangan ini tentunya melihat dinamika perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan minimnya lahan yang tersedia. Perkembangan konsep pembangunan vertikal pun semakin terlihat dengan komposisi berbagai fungsi yang seimbang. Blok-blok bangunan bertingkat tidak lagi didominasi untuk fungsi perkantoran, tetapi juga sebagian besar diperuntukkan bagi residensial dan fungsi campuran dengan proporsi hingga 50 persen.
Dewasa ini, kemunculan gedung-gedung bertingkat kian masif. Concil on Tall Building and Urban Habitat (CTBUH) mencatat, sejak 2010 jumlah gedung supertinggi di dunia telah bertambah dua kali lipat, dari sebelumnya hanya 50 pada akhir 2010 menjadi 100 pada akhir 2015. Bisa dikatakan pembangunan kota-kota di dunia telah berorientasi vertikal, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan data dari CTBUH pada 2015, Jakarta menjadi kota yang paling banyak memiliki gedung setinggi 200 meter atau lebih dengan jumlah tujuh gedung. Total tinggi gedung-gedung yang dibangun di Jakarta mencapai 1.588 meter. Adapun Kota Nanjing, Nanning, dan Shenzhen di China berada di posisi kedua dengan masing-masing menyelesaikan lima gedung pencakar langit.
Keterbatasan lahan di wilayah perkotaan membuat konsep pembangunan vertikal terus bergeser ke arah yang lebih efektif. Disinilah kemudian muncul konsep pembangunan superblok atau pembangunan vertikal dengan berbagai fungsi peruntukan. Superblok merupakan kawasan berupa kelompok bangunan gedung vertikal yang dirancang untuk kepadatan tinggi dengan konsep tata guna lahan atau fungsi campuran yang terpadu dan terintegrasi.
Karakteristik superblok terlihat dari adanya integrasi antarkegiatan dan fungsi dalam satu kawasan yang terdiri dari hunian, hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Kelengkapan fungsi dalam satu kawasan besar vertikal ini menjadikan orang tidak lagi harus bergerak menempuh jarak yang jauh untuk beraktivitas.
Konsep kota superblok dimulai di Amerika Serikat pada abad ke-19 yang dipelopori Perry and Stein. Berangkat dari persoalan kota yang kian kompleks, pembangunan memerlukan inovasi. Ketika itu, proyek superblok bertujuan untuk pembaruan perkotaan (urban renewal) dan menghilangkan kesan kumuh di wilayah kota. Urban renewal diartikan sebagai program pembangunan kembali kawasan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan kawasan dengan kepadatan tinggi di wilayah perkotaan.
Model ini mulai berkembang pada akhir abad ke-19 di negara-negara berkembang dan mengalami fase intens pada akhir 1940-an. Perencanaan pembangunan superblok dapat menjadi solusi kepadatan kota, kemacetan karena ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi, mengatasi kerusakan lingkungan, serta konservasi untuk bangunan-bangunan bersejarah.
Perry berpendapat konsep superblok dapat mengatur kota menjadi lebih ramah bagi pejalan kaki dan memberikan ruang terbuka bagi warga untuk bersosialisasi. Pada 1960, konsep ini dipopulerkan kembali di Eropa oleh Le Corbusier, seorang arsitek. Le Corbusier memiliki ide mengintegrasikan fungsi-fungsi bangunan dalam suatu blok raksasa untuk mengefisienkan penggunaan ruang kota. Ia kembali menegaskan bahwa superblok merupakan salah satu upaya urban renewal yang berkelanjutan.
Sebagai konsep pembangunan kota yang berkelanjutan setidaknya superblok memiliki kelebihan, antara lain mendorong tumbuhnya kegiatan yang beragam dan terpadu, menjadikan sistem sirkulasi dan transportasi lebih efisien, serta memberikan kerangka yang luas untuk inovasi serta perancangan bangunan dan lingkungan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam konsep perencanaan pembangunan superblok dikenal beberapa strategi perancangan yang dapat diterapkan, seperti peruntukan fungsi yang beragam (mixed use). Dalam satu blok gedung tinggi akan memiliki beragam fungsi, seperti hunian, perkantoran, dan perdagangan jasa. Kemudian perancangan jaringan jalan yang lebih tertata, seperti berbentuk grid sehingga dapat mengefisiensikan sirkulasi kendaraan. Hal lain adalah terkait dengan akses pejalan kaki yang harus memadai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kegagalan superblok
Di Jakarta, konsep superblok bukan hal yang baru. Konsep ini sudah berkembang sejak 1990-an. Kepadatan dan berbagai persoalan kota yang kian komplek memaksa Ibu Kota harus melakukan pembenahan. Upaya peremajaan kawasan perkotaan telah dilangsungkan di beberapa lokasi, seperti kawasan Sudirman, Thamrin, dan Senen yang menjadi model awal pembangunan superblok di Jakarta.
Kawasan tersebut merupakan zona strategis Jakarta yang memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga daerah perdagangan dan perkantoran di sekitarnya berkembang pesat. Secara alami, pengaruh ekonomi yang kuat tersebut akan mendorong padatnya aktivitas sehingga memerlukan ruang pemekaran di sekitarnya. Wilayah yang demikian memiliki potensi besar dan matang untuk diremajakan.
Kawasan dengan guna lahan campuran yang terintegrasi pertama kali dikembangkan di kawasan Segitiga Senen. Pada 1990 dibangun superblok modern di kawasan Atrium Senen. Di dalam Atrium Senen tersebut diisi sejumlah tenant internasional ternama. Beberapa tahun kemudian, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang menyebabkan banyak tenant mengalami kebangkrutan. Hal tersebut juga menyebabkan kawasan superblok Senen mengalami kemunduran fungsi.
Seiring berjalannya waktu, pemulihan ekonomi berangsur membaik. Namun, hal itu tidak lagi diikuti perkembangan ekonomi di kawasan Senen. Lambat laun, kawasan Senen tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai kawasan perdagangan modern, justru pedagang informal (pedagang kaki lima/PKL) yang berjualan di sepanjang Jalan Kramat dan Kwitang. Superblok Senen menjadi sejarah pengembangan superblok pertama di Jakarta dan mengalami kegagalan.
Setelah kawasan Segitiga Senen, pada 1992 di kawasan Sudirman, tepatnya di belakang Kantor Polda Metro Jaya, dibangun superblok Sudirman Central Business District (SCBD). SCBD dibangun di lahan sekitar 250 hektar untuk berbagai fungsi komersial, perkantoran, dan hunian. SCBD ini terletak di jalan arteri primer Jakarta yang sangat strategis. Setelah itu, perkembangan pembangunan di Jakarta semakin gencar dan superblok semakin menjamur di sudut-sudut Jakarta.
Pengembangan kawasan superblok di Jakarta telah diatur Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. Dalam perda itu disebutkan, pembangunan kawasan superblok dilakukan melalui pemanfaatan ruang di kawasan campuran perumahan dengan bangunan umum serta harus dilakukan dengan proporsi ruang untuk perumahan berkisar 35-65 persen dari total besaran ruang yang dibangun.
Selain itu, aturan tersebut juga menentukan persyarakatan, yaitu pengembangan juga harus dilakukan terhadap fasilitas umum, sosial, dan perparkiran sesuai standar yang ditetapkan. Ketentuan untuk mengembangkan kawasan superblok juga diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 185 Tahun 2012. Ditegaskan dalam regulasi tersebut bahwa pengembangan kawasan juga harus diikuti dengan konsep pengembangan lingkungan yang ramah, seperti ruang terbuka hijau dan pengembangan sistem pengolahan limbah.
Termasuk pembangunan akses dengan segala kelengkapannya, mulai dari jalan baru, jembatan, hingga halte bus. Selain itu, dalam Perda Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta, pengembang diwajibkan membangun akses di dalam lingkungan apartemen dengan lebar 15 meter, 14 meter, dan 10 meter yang disesuaikan dengan lokasi zonasi.
Pembangunan superblok memerlukan perencanaan yang komprehensif. Jika itu gagal, rencana kota baru nan modern dalam kota ini justru akan menambah momok persoalan kota. Inilah yang justru banyak terjadi. Superblok yang kian banyak muncul seperti dibuat keluar dari konsep dan tujuan sebagai solusi. Konsep kawasan yang terintegrasi, ramah pejalan kaki dan lingkungan, dan lainnya hanya menjadi jualan yang menarik dalam pemasaran.
Kawasan Podomoro City yang terletak di Jalan S Parman, Jakarta Barat, misalnya. Menara-menara menjulang tinggi di blok tersebut dengan berbagai fungsi, mulai dari hunian, kantor, hingga mal besar. Di kawasan tersebut ada tiga mal besar, yaitu Taman Anggrek, Central Park, dan Neo Soho. Mal-mal yang dihadirkan memiliki jangkauan pelayanan yang luas dengan segala kelengkapan yang ditawarkan. Keberadaan superblok dengan beberapa mal besar akan menjadi konsentrasi aktivitas baru yang menyedot orang dari luar kawasan blok untuk berdatangan.
Kondisi ini sangat berdampak pada lalu lintas di sekitar superblok yang semakin tersendat, apalagi ketika jam sibuk. Bahkan, laju lalu lintas bus transjakarta yang sudah memiliki koridor khusus pun ikut terhambat. Harian Kompas pada 15 Oktober 2016 pernah menurunkan berita soal kemacetan yang disebabkan oleh superblok. Kemacetan panjang mengular di Jalan S Parman menuju Mal Taman Anggrek dan kawasan Podomoro City.
Kemacetan juga terpantau dari Jalan Arjuna Selatan arah Kembangan. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga bisa terlihat di kawasan superblok lainnya, yakni Mega Kuningan. Kawasan superblok tersebut terletak di persilangan Jalan Casablanca dan di Kemang yang bersilangan dengan Jalan Antasari di Jakarta Selatan.
Kawasan superblok yang seharusnya dapat meredam mobilitas orang karena kawasan yang terintegrasi justru sebaliknya. Masih berkaitan dengan kemacetan, kegagalan lain dari pembangunan superblok karena peruntukan kawasan yang tidak sesuai dengan sasarannya. Kawasan terpadu yang terdiri dari perkantoran dan hunian flat atau apartemen sejatinya dihuni oleh orang yang bekerja di kawasan tersebut. Dengan demikian, rutinitas pergi dan pulang bekerja dapat dilakukan dengan mudah, bahkan hanya berjalan kaki.
Namun, realita terkadang tidak berjalan sesuai dengan rencana pembangunan dan konsep sebuah superblok. Ratusan unit apartemen yang berada dalam menara superblok justru dimiliki atau dihuni oleh orang yang tidak bekerja di kawasan superblok. Akibatnya, superblok tetap menerima pergerakan orang dari luar kawasan untuk masuk dan keluar kawasan. Ini terjadi karena harga yang ditawarkan untuk sebuah unit apartemen dalam superblok sangat jauh dari jangkauan pekerja dengan ekonomi menengah dan bawah.
Berdasarkan laporan properti 2016, harga properti di wilayah DKI Jakarta merupakan yang paling tinggi, termasuk untuk unit apartemen. Di Jakarta, harga per meter persegi apartemen rata-rata dari Rp 31 juta rupiah. Jika dibandingkan wilayah lain, seperti di Jawa Barat yang Rp 14,7 juta dan Jawa Tengah yang Rp 21,3 juta untuk setiap meter persegi, harga tersebut bahkan mencapai lebih dari dua kali lipat.
Pada 2016, harga properti khusus apartemen di Jakarta terus mengalami peningkatan meskipun kenaikan harga tidak terlalu signifikan, yakni hanya 4,6 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini juga berdampak pada harga sewa unit hunian apartemen. Data dari konsultan properti Colliers International, harga sewa apartemen di kawasan central business district (CBD) mencapai Rp 4 juta per bulan dan untuk kawasan non-CBD mencapai Rp 2 juta per bulan.
Harga pasaran properti tersebut sangat jauh dari daya beli pekerja di Jakarta dengan nilai upah minimum provinsi sebesar Rp 3,3 juta per bulan. Terlebih, kawasan superblok umumnya dibangun di lahan strategis, ditambah dengan stigma pembangunan kota baru nan modern, sehingga harga hunian pun akan jauh meningkat. Sasaran pasar apartemen pun akhirnya tersegmentasi pada kalangan atas yang mampu membeli dengan harga tinggi.
Unit apartemen yang dibangun itu memang bukan diperuntukkan bagi pekerja yang kantornya terintegrasi dalam satu kawasan. Orientasi pembangunan superblok bukanlah mengedepankan konsep keterpaduan dan kemudahan akses, melainkan tetap pada keuntungan kepentingan bisnis.
Kegagalan lain superblok yang begitu terlihat adalah menyangkut kemudahan akses ke berbagai fungsi yang ada dalam kawasan tersebut. Sebagai contoh, kawasan superblok Kalibata City yang terletak di Jakarta Selatan. Jumlah menara hunian yang berdiri di kawasan ini begitu padat, tidak kurang dari 20 menara dengan ribuan jumlah unit hunian. Namun, kesemerawutan superblok ini terlihat dengan tidak adanya jalur pejalan kaki serta tidak memadainya area perparkiran.
Bukan Sekadar Blok-blok Gedung Tinggi
Sebagai upaya memperbarui kota, superblok dimaksudkan untuk melakukan perbaikan perkotaan, baik secara fisik maupun nonfisik, yaitu kehidupan masyarakatnya. Jika kawasan superblok yang dibangun tidak lagi mengedepankan integrasi antarfungsi kawasan yang kompleks, kawasan tersebut tidak lebih dari blok-blok gedung tinggi saja. Sejak lama, perdebatan mengenai keberadaan superblok memang telah muncul akibat masifnya pembangunan perkotaan yang hanya berorientasi pada keuntungan bisnis semata.
Pembangunan merupakan bagian dari proses pengotaan dan modernisasi yang akan terus bergulir. Namun, jika hal itu dilakukan tanpa adanya komitmen untuk menjaga keberlanjutan kehidupan kota dan pembangunan itu sendiri, bahkan justru berdampak sebaliknya. Regulasi dibuat untuk menjadi acuan awal agar pembangunan dapat mencapai cita-cita mulianya. Pemerintah harus menegakkan aturan dan bersikap tegas terhadap para pengembang nakal. Kota yang nyaman adalah milik semua orang, bukan hanya kalangan berduit. (Eren Marsyukrilla/Litbang Kompas)