Masih Menyemai Harapan Setelah 18 Tahun
Sudah 18 tahun sejak diselenggarakannya penentuan pendapat rakyat Timor Timur pada 30 Agustus 1999. Hampir dua dekade berlalu, namun dampak sisa-sisa penderitaan masih terlihat dari kehidupan pengungsi yang sangat memprihatinkan.
Pengumuman hasil penentuan pendapat yang dibacakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 4 September 1999 menyatakan mayoritas (78,5 persen) rakyat Timor Timur yang memberikan suaranya menginginkan kemerdekaan. Hanya 21,5 persen saja yang menginginkan Timor Timur tetap menjadi bagian NKRI dengan status otonomi khusus yang diperluas.
Artinya, Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi ke-27 Republik Indonesia itu akhirnya berpisah dari Indonesia dan lahir menjadi negara baru yang kemudian bernama Timor Leste.
Setelah pengumuman hasil referendum tersebut, Timor Timur memasuki masa transisi di bawah pengawasan PBB (United Nations Transitional Authority in East Timor/UNTAET). Perlu beberapa tahun hingga akhirnya mereka siap menjadi negara baru bernama Timor Leste. Timor Leste memproklamirkan diri sebagai negara baru pada 20 Mei 2002.
Penduduk eks Timor Timur yang memilih tetap menjadi bagian dari NKRI berbalik menjadi minoritas di negara baru. Ancaman keamanan dan sosial membuat mereka akhirnya melakukan eksodus ke wilayah Indonesia terdekat, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kurang dari dua minggu sejak pengumuman hasil referendum, pengungsi Timor Timur yang masuk ke wilayah RI terutama di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, NTT, diperkirakan mencapai 130.000 orang (Kompas, 15/9/2000).
Penduduk Timor Timur ini juga berdiaspora ke berbagai wilayah di Indonesia, tidak semata di wilayah perbatasan yang dekat dengan daerah asal. Mereka juga pergi ke pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua, hingga Sumatera. Sebagian kecil pergi ke luar negeri.
Hingga pertengahan Oktober 1999, jumlah pengungsi Timor Timur di NTT mencapai sekitar 284.000 orang. Jumlah ini sekitar sepertiga dari penduduk Timor Timur pada masa itu.
Hasil registrasi pada Juni 2001 yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dihadiri UNHCR dan UNDP, menyatakan jumlah pengungsi yang memilih menetap di Indonesia sebanyak 51.868 Kepala Keluarga (KK) atau 284.148 orang.
Mereka ini adalah penduduk asli Timor Timur dengan status penduduk biasa dan pegawai PNS, anggota TNI, Polri, atau pensiunan. Pengungsi di wilayah NTT ini tinggal di tempat-tempat penampungan atau kamp pengungsi yang sifatnya darurat.
Mereka hidup dalam banyak keterbatasan dan mayoritas bertahan hidup dengan mata pencaharian sebagai petani. Sebagian pengungsi ada yang berhasil mengembangkan usaha agrobisnis, namun sebagian lain bertani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Seiring dengan membaiknya situasi keamanan di Timor Leste, mulai banyak pengungsi yang kembali ke tempat asalnya di Timor Leste. Namun, tak sedikit pula yang tetap bertahan di wilayah Indonesia karena beragam alasan, mulai dari faktor psikologis, keamanan, hingga faktor ekonomi.
Tidak kurang dari 50.000 orang yang telah kembali ke Timor Leste dalam kurun waktu 2000-2001 (Timor Timur Gagalnya Sebuah Diplomasi, Basilio Dias Araujo, 2014 ).
Tanah bermasalah
Saat ini, diperkirakan lebih dari 100.000 pengungsi masih berada di wilayah NTT. Di wilayah perbatasan di Kabupaten Belu terdata 12.254 KK atau 54.412 orang pengungsi. Mereka umumnya masih berada di kamp pengungsian sejak pertama mereka datang. Kondisi rumah-rumah pengungsi banyak yang bermasalah dan kurang layak.
Dinas Sosial Kabupaten Belu dan sejumlah tokoh masyarakat asal Timor Timur menyatakan masih banyak masalah yang dihadapi pengungsi saat ini. Permasalahan itu antara lain, kamp-kamp pengungsian yang ada belum dapat menampung seluruh pengungsi sehingga banyak pengungsi menumpang ke pengungsi lainnya. Ada rumah yang terpaksa dihuni oleh 2-5 KK pengungsi.
Rumah sederhana untuk pengungsi pun tidak terbangun tuntas sesuai rencana. Di kamp Fatubaun/Weaituan, misalnya, dari yang direncanakan 22 unit rumah, hanya terbangun dua unit. Di Kecamatan Raihat, rencana dibangun 250 unit rumah, tetapi hanya dibangun enam unit, itu pun tidak selesai. Di Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, rencana 189 unit rumah, tetapi hanya terbangun 23 unit.
Selain itu, permukiman resettlement yang diupayakan pemerintah berada di atas tanah yang bermasalah, misalnya di atas tanah milik TNI atau tanah milik orang lain yang belum diganti rugi. Kondisi rumah banyak yang tidak layak huni.
Rumah untuk pengungsi umumnya rumah semi permanen dengan lantai semen, atap seng, dan penerangan yang minim. Dalam kurun satu hingga dua tahun, kondisi rumah yang ditempati sudah rusak.
Selain itu, oleh karena bukan berada di tanah milik sendiri pengungsi diminta pindah setelah lima tahun menempati rumah. Tetapi, mereka tidak tahu mau pindah ke mana karena ketiadaan dana.
Sebagai gambaran, di Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, terdapat sekitar 700 KK pengungsi dari Timor Timur. Menurut Kepala Desa Ruben Goncalves, sebanyak 70 persen pengungsi sudah memiliki tanah sendiri, sisanya masih menempati tanah pemerintah. Hanya 50 persen yang punya tanah berikut rumah.
Rata-rata para pengungsi bekerja sebagai petani atau buruh kasar yang menggarap tanah milik masyarakat lokal. Penghasilan mereka berkisar Rp 750.000 hingga Rp 1 juta sebulan, dan hanya cukup untuk bertahan hidup secara sederhana sehari-hari.
Tak banyak anak-anak yang dapat melanjutkan pendidikan di atas jenjang sekolah dasar. Untuk membantu perekonomian keluarga, para perempuan pengungsi, seperti halnya perempuan NTT lainnya, bekerja dengan menenun kain untuk dijual.
Belum tuntas
Pemerintah menganggap penanganan masalah pengungsi di NTT sudah tuntas. Sudah banyak bantuan yang diberikan. Akan tetapi, banyak pengungsi yang mengaku belum menerima bantuan, termasuk ada yang belum menerima bantuan berupa Kartu Indonesia Sehat untuk berobat.
Tokoh Timor Timur pro-integrasi Basilio Dias Araujo (2014) menyatakan lebih dari 100.000 korban politik Timor Timur masih tinggal di Indonesia dan dibiarkan hidup tanpa santunan dari negara. Pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran –mungkin triliunan rupiah– untuk membantu pengungsi Timor Timur, namun hanya sedikit yang sampai ke tangan yang berhak.
Pernah ada dana bantuan sosial sebesar Rp 5 juta per Kepala Keluarga (KK) kepada 26.776 KK pengungsi Timor Timur di seluruh Indonesia, khusus di NTT terdaftar 15.350 KK. Juga ada alokasi dana untuk perumahan dan permukiman sebesar Rp 14,5 juta per KK. Pernah juga pemerintah memberi bantuan tunai langsung sebesar Rp 3,5 juta per KK. Namun, program-program bantuan itu sering tidak tepat sasaran atau diterima pengungsi dalam jumlah yang lebih kecil.
Bantuan pemerintah diberikan tidak saja bagi pengungsi Timor Timur yang berada di NTT, tetapi juga bagi pengungsi yang ada di luar NTT. Tahun 2016, keluar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 tahun 2016 tentang Pemberian Kompensasi kepada WNI Bekas Warga Timor Timur yang Berdomisili di Luar Provinsi NTT.
Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2016 tersebut dimaksudkan untuk memenuhi asas keadilan dan kepatutan bagi pengungsi Timor Timur yang berada di luar NTT, yang mungkin belum pernah mendapat bantuan pasca jajak pendapat 1999. Pemerintah memandang perlu memberikan dana kompensasi.
Dana kompensasi tersebut besarnya Rp 10 juta per keluarga yang diberikan dalam bentuk bantuan langsung. Pemberian kompensasi ini merupakan kompensasi terakhir yang bersifat final, diberikan satu kali, dan tidak ada lagi tuntutan apa pun kepada pemerintah. Pemberian kompensasi dibayarkan paling lambat pada 31 Desember 2016.
Berlakunya perpres ini menyebabkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2003 tentang Pendataan Penduduk Bekas Provinsi Timor Timur dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Adapun data jumlah penerima kompensasi bagi pengungsi Timor Timur di luar NTT didasarkan pada verifikasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan bersama unsur pemerintah daerah, yaitu Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta Dinas Sosial kabupaten/kota.
Pemberian dana kompensasi ini menimbulkan polemik dan kecemburuan di kalangan pengungsi Timor Timur di NTT, karena kurangnya transparansi dan sosialisasi mengenai bantuan apa saja yang ditujukan kepada mereka. Ditambah lagi, data jumlah pengungsi yang dijadikan acuan sering kali simpang siur.
Harapan
Kondisi kehidupan pengungsi banyak yang tidak berubah dalam 5-10 tahun terakhir. Setelah memutuskan mengungsi ke Indonesia, saat ini mereka mengaku seperti makan buah simalakama. Sudah telanjur meninggalkan tanah kelahiran sebagai wujud cinta pada Indonesia, tetapi tidak mungkin kembali karena alasan keamanan dan terikat sumpah. Sementara, hidup di pengungsian saat ini dirasa sulit.
Namun demikian, mereka masih menyemai harapan bahwa pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah, tetap memberi perhatian bagi mereka yang tinggal di perbatasan negara. Harapan itu sebenarnya tidak muluk-muluk.
Mereka meminta persoalan status kepemilikan rumah dan tanah menjadi prioritas untuk dibenahi, dilanjutkan dengan bantuan pendidikan yang menjamin anak-anak pengungsi memperoleh pendidikan lebih tinggi agar mereka bisa memperbaiki kesejahteraan keluarga.
Begitu pula, pemberdayaan perekonomian pengungsi perlu dilakukan agar mereka mandiri dan tidak menjadi beban pemerintah, juga ada lapangan pekerjaan tersedia ketika lulus sekolah. Mengutip Ketua Umum Uni Timor Aswain (UNTAS) Eurico Guterres, perekonomian rakyat perlu dibangun terlebih dahulu, bukan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur. Agar kita tahu untuk siapa infrastruktur itu dibangun.
Ketiga hal ini, status properti, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi, adalah kunci untuk menyukseskan program yang dicanangkan pemerintah, yakni pembangunan dimulai dari pinggiran. Kawasan perbatasan, daerah di mana pengungsi Timor Timur berada, termasuk dalam prioritas pembangunan. Ketiga hal itu penting agar pembangunan manusia dapat sejalan dengan pembangunan infrastruktur. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)