Problematika Posisi Tengah Indonesia
Di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya, pencapaian Indonesia belakangan ini tergolong signifikan. Selain mampu meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan juga mampu mengikis penyakit sosial kemasyarakatan yang dihadapi. Namun, hanya dengan bekal capaian dan usaha yang dilakukannya itu, masih teramat jauh berharap untuk menjadi yang terdepan di kawasan ini.
Posisi pencapaian Indonesia jika diperbandingkan dengan negara-negara lain dalam kawasan ASEAN memang problematik. Menyandang sebagai negara yang memiliki area darat dan laut terluas, penduduk terbanyak dengan variasi keragamannya, dan kekayaan sumber daya alam terlengkap, tidak selalu menempatkan Indonesia sebagai negara paling terdepan dalam pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan warganya.
Dalam perspektif ekonomi, amatlah jelas jika semua kelebihan bangsa ini, baik jumlah dan kelengkapan sumber daya yang dimilikinya, dapat dianggap sebagai suatu limpahan kapital yang tidak banyak dimiliki bangsa lainnya. Kapital yang melimpah, apabila dikelola dengan tepat dan efisien, jelas menghasilkan pula limpahan output yang memakmurkan dan mensejahterakan. Sayangnya, justru pada titik inilah problem dihadapi. Dengan segenap kelebihan yang dimiliki, bagaimana mungkin pencapaian bangsa ini hanya terpaku pada posisi level tengah kawasan ASEAN?
Berbagai perbandingan indikator-indikator berikut ini menguatkan posisi tengah Indonesia dalam kawasan ASEAN. Dengan mengambil acuan output berupa segenap produksi ekonomi domestik yang dihasilkan tiap-tiap negara, GDP Indonesia tertinggi, diperkirakan tahun 2016 lalu sebesar 933 milyar dollar AS.
Thailand, urutan kedua tertinggi, tidak sampai separuh dari GDP Indonesia. Akan tetapi, jika dibagi dengan jumlah penduduk masing-masing negara, maka GDP per kapita Indonesia diperkirakan menjadi sebesar 3.605 dollar AS. Jumlah tersebut jauh di bawah Singapura, Brunie Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Hanya bersandar pada indikator GDP per kapita, menunjukkan bagaimana Indonesia yang tampak terbesar dalam pengelolaan ataupun produksi sumber daya alamnya, masih tidak cukup menjadikan setiap satuan warganya sebagai yang termakmur di kawasan Asia Tenggara.
Persoalannya kemudian, dengan menggunakan indikator yang sama, apakah harapan menjadi yang terdepan masih memungkinkan terwujud?
Indonesia terbesar dalam produksi sumber daya alam, tetapi tidak cukup menjadikan setiap satuan warganya termakmur
Kurun lima tahun terakhir, kondisi kegiatan perekonomian bagi sebagian besar negara-negara di ASEAN terlihat kurang menggairahkan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi di setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2016, Indonesia masih mampu menciptakan pertumbuhan hingga 5 persen, sementara negara-negara ASEAN lain yang selama ini GDP/kapitanya di atas Indonesia (Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand) bertumbuh di bawah proporsi capaian pertumbuhan Indonesia.
Di sisi lain, negara-negara dengan GDP/kapita di bawah Indonesia (Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar) ternyata juga bertumbuh, bahkan di atas pencapaian Indonesia.
Kondisi perekonomian yang terjadi dan segenap capaian yang diraih Indonesia lima tahun belakangan ini tampaknya tidak cukup mampu mendudukkan bangsa ini ke jenjang lebih baik dalam posisi kemakmurannya di kawasan ASEAN. Memang, tahun 2016 terjadi peningkatan yang signifikan. Akan tetapi, rata-rata perkembangan GDP/kapita Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir hanya menempatkan negeri ini dalam posisi tengah ASEAN.
Kondisi demikian mengisyaratkan, terlalu jauh berharap mampu mengungguli capaian negara-negara di kawasan ini jika dari sisi perkembangan capaian kemakmuran negeri yang terbagi rata pada tiap-tiap warganya tidak jauh lebih baik dari negara-negara yang selama ini berada di atas Indonesia.
Apabila indikator-indikator GDP, GDP per kapita di atas lebih banyak menunjukkan capaian pembangunan ekonomi (kemakmuran) suatu negara yang ditunjukkan dari segenap kegiatan ekonomi produksi domestiknya, maka capaian kesejahteraan suatu negara perlu ditambahkan.
Kondisi kesejahteraan merujuk pada kualitas manusia dalam negara tersebut. Dalam hal ini, skor dan perkembangan kualitas pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan badan dunia yang berurusan dengan program pembangunan dunia (UNDP) kerap dijadikan indikator.
Tinggi rendahnya skor HDI dibentuk dari capaian penduduk suatu daerah atau negara dalam hal kualitas kesehatan (usia dan hidup sehat), pengetahuan (pendidikan), dan standar hidup layak rata-rata penduduknya. Capaian Indonesia sepanjang lima tahun terakhir meningkat cukup signifikan.
Presiden Joko Widodo saat melantik 2.014 orang Pamong Praja Muda Lulusan IPDN, di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, bahkan mengklaim tahun ini Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah meningkatkan posisinya dari kategori negara dengan predikat “medium high development” menjadi “high development” (Setkab.go.id/8/8/2017).
Akan tetapi, dalam posisinya di antara negara-negara ASEAN, peningkatan skor HDI Indonesia tersebut belum mampu menempatkan capaian kualitas pembangunan manusia negeri ini pada barisan terdepan. Posisi Indonesia berada pada urutan ke-5, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dari total 188 negara di dunia yang dikaji UNDP, posisi Indonesia berada pada peringkat 113.
Akan kah mampu menjadi yang terdepan di ASEAN? Dengan hanya mengandalkan rata-rata laju peningkatan tiap-tiap indikator HDI yang dicapainya selama ini, masih diperlukan waktu hingga 50 tahun untuk mengejar rata-rata kualitas pembangunan penduduk Singapura saat ini! Atau, dengan membandingkan capaian Malaysia saat ini, masih dibutuhkan sekitar 20 tahun menyamainya.
Indonesia untuk pertama kalinya meningkatkan posisinya dari negara “medium high development” menjadi “high development”
Upaya mengejar ketertinggalan kualitas pembangunan manusia bukan persoalan yang ringan. Pangkal permasalahan kualitas pembangunan manusia Indonesia ditandai oleh jurang perbedaan yang sangat lebar di antara berbagai daerah.
Apabila posisi pencapaian DKI Jakarta tahun 2016 lalu 79,6 dijadikan perbandingan, maka kondisi tersebut setara dengan penduduk Malaysia. Namun, jika kondisi Papua (58,05) yang digunakan sebagai bahan perbandingan, akan tampak kondisi negeri ini yang tidak berbeda dengan negara-negara skor terendah di ASEAN, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.
Dengan berbagai jenjang kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai, seberapa berhasil atau gagal kah kategori pengelolaan negara selama ini? Insitusi dunia Fund For Peace (FPP) menyusun suatu peringkat Fragile State Index (FSI) yang terdiri dari berbagai dimensi persoalan baik sosial, ekonomi, politik, dan kohesivitas masyarakat.
Setiap dimensi tersebut dibangun dari berbagai indikator yang menunjukkan keberhasilan setiap negara di dalam menghadapi berbagai konflik persoalan. Bersandar pada indeks FSI, kondisi Indonesia dari waktu ke waktu semakin membaik. Tahun 2017 menduduki posisi ke 94 dari 178 negara yang dikaji, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari kelompok negara-negara yang konsisten membaik.
Posisi Indonesia tersebut di antara negara-negara ASEAN pada urutan ke-5, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Vietnam dan kali ini berada di atas Thailand (Grafik 5).
Capaian dan posisi Indonesia di dalam indeks FSI sekali lagi mengukuhkan negara ini dalam posisi papan tengah ASEAN. Sekalipun dari waktu ke waktu mencatatkan perbaikan kondisi yang tergolong signifikan, akan tetapi masih tampak terlalu jauh dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia yang selama ini sudah ditempatkan pada papan atas keberhasilan.
Di sisi lain, indikator-indikator keberhasilan Indonesia lainnya yang didasarkan pada persepsi masyarakat juga menempatkan Indonesia dalam posisi tengah ASEAN. Paling menonjol, persepsi terhadap korupsi. Indeks yang dibangun oleh Transparancy International menempatkan Indonesia pada urutan ke-90 dari 176 negara yang dikaji.
Seperti juga indeks-indeks lainnya, capaian Indonesia tersebut meningkat dari waktu ke waktu, yang menunjukkan adanya perbaikan kondisi. Dengan hasil tersebut, posisi Indonesia berada pada urutan ke-4.
Menarik mencermati jika setiap hasil pemeringkatan di atas selalu menempatkan Indonesia pada posisi tengah di ASEAN. Memang, Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir tergolong berhasil bergerak ke arah yang lebih positif. Dari sisi pembangunan ekonominya, misalnya, tercapai peningkatan hasil kemakmuran. Perkembangan indeks kesejahteraan warganya juga membaik. Persoalan-persoalan yang menghambat, seperti penyakit sosial korupsi yang tergolong akut negeri ini, dari waktu ke waktu dipersepsikan semakin berkurang.
Namun, satu fakta paling impresif yang tidak boleh dilupakan, dalam praktik demokrasi. Hasil pemeringkatan institusi The Economist Intelligence Unit (EIU) terhadap 167 negara di dunia, menunjukkan Indonesia berada pada peringkat kategori kondisi flawed democracy. Tidak istimewa memang, bahkan cenderung lemah. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, Indonesia saat ini tergolong dalam posisi yang terbaik dan dari waktu ke waktu menjadi semakin baik.
Posisi Indonesia yang tertinggi di ASEAN dalam pengukuran indeks demokrasi menarik dicermati, terutama jika dikaitkan pandangan dominan yang menganggap bahwa demokrasi menjadi faktor penunjang kemakmuran suatu negara. Dalam hal ini, demokrasi yang membuka ruang seluasnya terhadap prinsip-prinsip kebebasan, kesamaan hak, dan transparansi diyakini berelasi dengan terciptanya output kemakmuran.
Terhadap berbagai indikator-indikator di atas pun, jika dikorelasikan satu sama lain umumnya akan terlihat hubungan yang bersifat positif antara indikator-indikator indeks dalam capaian indeks demokrasi dengan indikator-indikator kemakmuran dan kesejahteraan.
Artinya, semakin tinggi peringkat demokrasi suatu negara maka semakin tinggi pula kemakmuran yang dicapainya. Negara-negara seperti Norwegia, Swedia, Denmark, Selandia Baru, Kanada, dan negara kawasan Eropa Barat membuktikan keberhasilan capaian demokrasi yang berelasi dengan kemakmuran negara tersebut.
Kualitas demokrasi yang dibangun negeri ini masih menyisakan problem.
Begitu pula sebaliknya, negara-negara seperti Korea Utara, Kongo, Chad, dan sebagian negara-negara di Afrika yang menunjukkan rendahnya kualitas demokrasi berimplikasi pula pada kemakmuran mereka yang relatif rendah.
Indonesia pun tidak lepas dari pola relasi semacam ini. Berbagai indikator pengukuran kualitas demokrasi di tiap-tiap daerah menunjukkan pula relasi yang kuat terhadap kemakmurannya. Namun, jika negara ini dibandingkan dengan kondisi Singapura, Malaysia, dan Thailand dengan peringkat demokrasi yang lebih rendah, mengapa perkembangan kemakmuran negara-negara tersebut relatif lebih baik? Tampaknya, kualitas demokrasi yang dibangun negeri ini masih menyisakan problem. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).