Menundukkan Bara Kebakaran Hutan Gambut
Kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak luas dan kerugian besar. Dalam kurun waktu lima tahun belakangan, tren luas hutan dan lahan yang terbakar selalu bertambah.
Puncak kebakaran hutan di Indonesia terjadi tahun 2015 ketika kebakaran menimbulkan kabut asap dalam skala besar. Sebanyak 2,6 juta hektar lahan dan hutan telah terbakar antara Juni hingga Oktober 2015, atau setara empat setengah kali luas Pulau Bali.
Kerugian ekonomi yang timbul akibat kebakaran tahun 2015 diperkirakan mencapai 16,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 221 triliun. Angka kerugian ini, menurut taksiran Bank Dunia, bernilai lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi pasca bencana tsunami di Aceh.
Bencana kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah daerah khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan tidak lepas dari karakteristik lahan. Sekitar 22 persen areal hutan dan lahan yang terbakar berada di lahan gambut yang ada di pulau Sumatera dan Kalimantan.
Publikasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan mencatat, total luas lahan gambut di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah mencapai 10,9 juta hektar atau (73 persen) dari total 14,9 juta luas lahan gambut nasional.
Sebaran titik panas (hotspot) yang memicu kebakaran juga banyak muncul di kedua wilayah tersebut. Titik panas terpantau selalu meningkat pada pertengahan tahun, yakni mulai Juli hingga September. Pada tahun 2016, titik panas tertinggi pada Agustus sebanyak 2.089 titik, dan kemudian menurun pada September (847 titik).
Titik panas yang berkategori memerlukan penanganan segera ini menjadi indikator potensi kebakaran di suatu wilayah. Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, serta Kalimantan Tengah menetapkan status siaga darurat karhutla.
Luas area terbakar
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015 menunjukkan tiga perempat dari areal karhutla seluas 2.611 hektar berlokasi di Sumatera dan Kalimantan, khususnya di Sumatera Selatan (608 hektar) dan Kalimantan Tengah (429 hektar).
Sementara tahun 2016 tercatat sekitar 59 persen kebakaran terjadi di lahan nonhutan, yaitu di daerah belukar rawa gambut seluas 30,9 persen, tanah terbuka (16,8%), dan rawa gambut (10,9%).
Adapun di Papua data tahun 2015-2016 mencatat kebakaran karhutla masing-masing seluas 268 hektar dan 186 hektar. Tingginya kasus karhutla di Papua dalam dua tahun itu ditengarai tak lepas dari aktivitas perusahaan.
Pada 29 Oktober 2015 lalu, Greenpeace telah merilis analisis spasial yang menampilkan data sedikitnya 421 titik api di Papua yang berada dalam wilayah konsesi perusahaan.
Sebaran areal kebakaran hutan dan lahan tahun 2016 tercatat ”hanya ” 438.400 hektar atau turun 83 persen dibandingkan total luasan kebakaran tahun 2015. La Nina menyebabkan curah hujan tinggi dan merata berkontribusi signifikan dalam mengurangi karhutla.
Sepanjang Juni 2017 ini, sensor Modis pada satelit Terra dan Aqua milik NASA mendeteksi 857 titik panas di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Satelit itu mendeteksi anomali suhu panas dalam luasan 1 km persegi 2-4 kali sehari.
Sementara itu, data dari Manggala Agni, brigade pengendalian kebakaran hutan, hingga 3 Agustus 2017 menunjukkan luas areal karhutla mencapai 4.186,97 hektar.
Kebakaran gambut
Memadamkan api di areal gambut yang terbakar lebih sulit dibandingkan di lahan tanah mineral. Api merembet dari dalam di bawah permukaan tanah di kedalaman hingga 1 meter. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab dampak asap yang berkepanjangan.
Lahan gambut sebenarnya tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons. Lahan gambut akan menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim antara musim hujan dan kemarau.
Meski demikian, keseimbangan ekologis lahan gambut banyak yang terganggu antara lain karena konversi lahan dan pembuatan sekat lahan untuk keperluan perkebunan. Terganggunya keseimbangan ekologis membuat lahan gambut akan sangat kering di musim kemarau hingga di kedalaman tertentu dan sangat mudah terbakar.
Hal ini karena gambut mengandung sisa tumbuhan di bawah permukaan yang mudah terbakar sehingga api akan menjalar sebagai bara menyala di bawah permukaan tanah secara lambat, sulit dideteksi dan menimbulkan asap tebal. Api di bawah lahan gambut itu bisa menetap berbulan-bulan dan baru bisa mati total setelah ada hujan intensif selama berhari-hari.
Upaya pemadaman lahan gambut tidak sesederhana memadamkan kebakaran pada umumnya.
Sebelumnya, pemerintah melakukan pencegahan dan pemadaman kebakaran di lahan gambut dengan pembuatan sekat bakar berupa parit untuk menahan api agar tidak masuk areal hutan dan menjaga agar kebakaran yang terjadi tidak meluas. Juga dilakukan pemadaman menggunakan air melalui darat dan udara.
Upaya pemadaman kebakaran di lahan gambut berkembang pada November 2015 ketika salah satu perusahaan kelapa sawit mendatangkan 65 tenaga ahli asal Afrika Selatan. Mereka berpengalaman menangani kebakaran dalam cuaca ekstrem di hutan Afrika dengan menggunakan paku bumi.
Paku bumi adalah alat pemadam api berupa pipa besi runcing sepanjang 1,5 meter yang berlubang di setiap sisi pipa untuk jalur air. Pemadaman dilakukan dengan terlebih dahulu mendeteksi panas menggunakan kamera pemantau panas. Paku bumi tersebut akan disuntikkan dan disemprotkan air pada lahan yang terdeteksi bersuhu di atas 150 derajat celcius.
Dampak kebakaran
Kebakaran yang telanjur meluas telah mengakibatkan 43 juta orang, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera, terdampak kabut asap dan 550.000 orang di antaranya harus dirawat di rumah sakit. Kabut asap kebakaran juga menimbulkan gangguan bagi negara tetangga.
Peristiwa karhutla tahun 2015 juga menyebabkan 19 orang meninggal akibat kerusakan paru-paru. Kabut asap yang ditimbulkan dari karhutla tahun 2015 juga memaksa penutupan 24.773 sekolah dan diliburkannya 4,69 juta siswa hingga 34 hari yang berakhir pada estimasi kerugian senilai Rp 540 miliar.
Tanaman pangan juga rusak dan menimbulkan kerugian Rp 23,7 triliun sehingga menyebabkan penurunan pendapatan para petani. Berkurangnya hutan alam, dekomposisi gambut, dan pembakaran hutan Indonesia menghasilkan kerugian lingkungan berupa pelepasan emisi karbondioksida 1,2 gigaton per tahun.
Ada dua hal yang menjelaskan mengapa karbondioksida krusial mengakibatkan perubahan iklim. Alasan pertama adalah gas karbondioksida merupakan penyebab utama kenaikan suhu bumi.
Data Global Climate Assessment 2007 yang dipublikasikan Intergovernmental Panel on Climate Change menunjukkan gas karbondioksida memiliki dampak menaikkan suhu rata-rata permukaan yang paling tinggi dibandingkan semua gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Alasan kedua, gas karbondioksida bertahan di atmosfer hingga sekitar 800 tahun ke depan. Lamanya waktu karbondioksida bertahan di atmosfer menjadi poin penting untuk segera mengurangi emisi gas ini.
Sementara pelepasan emisi karbon yang tinggi akan berkontribusi pada pemanasan global. Pelepasan karbondioksida juga memberikan dampak efek regional perubahan iklim, seperti terganggunya pola hujan yang kemudian memperbesar risiko banjir secara signifikan.
Selain itu, risiko kekeringan juga makin tinggi di daerah yang tandus khususnya di Eropa dan Asia.
Laporan WWF Living Forest Report 2016 menyebutkan, sepanjang 2010 hingga 2030 dunia akan kehilangan 170 juta hektar hutan. Hutan Sumatera dan Kalimantan termasuk dalam 11 wilayah di dunia yang diproyeksi berkontribusi terhadap 80 persen deforestasi global hingga 2030.
Memperbaiki dan mencegah
Tersebarnya kejadian karhutla tidak lepas dari faktor cuaca. Selain cuaca, aktivitas sejumlah oknum industri dan oknum masyarakat yang sengaja melakukan pembakaran juga turut berkontribusi terhadap luasnya karhutla.
Komitmen pemerintah yang lebih serius dalam pemulihan dan pengelolaan lahan gambut dimulai tahun lalu. Pada Januari 2016, pemerintah mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang fokus pada pemulihan dua juta hektar lahan gambut yang mengalami degradasi pada tahun 2020.
Pemerintah membuat sekat kanal, memperbanyak sumur bor, dan menyiapkan pesawat pemadam kebakaran guna mengantisipasi ancaman karhutla.
Menteri Lingkungan Hidup juga menetapkan peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain seluas 66,4 juta hektar pada 21 November 2016. Penerbitan PPIB diberlakukan pada hutan alam primer dan lahan gambut.
Meski demikian, pengawasan dan pencegahan karhutla di tingkat pusat juga memerlukan dukungan pemerintah daerah.
Penegakan hukum
Upaya sinergis juga menuntut tindakan hukum tanpa kompromi terhadap berbagai pihak yang melakukan pembakaran kawasan hutan dan lahan. Sejumlah kasus pembakaran hutan menunjukkan indikasi kesengajaan yang dilakukan perusahaan maupun perorangan. Namun, pembuktian terhadap indikasi tersebut bukanlah pekerjaan mudah.
Contohnya, tahun 2015, pihak kepolisian merilis proses penyidikan terhadap 48 perusahaan yang diduga ikut memicu kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Dari jumlah itu, hanya 12 perusahaan yang bisa ditetapkan sebagai tersangka.
Antara Juli 2015-Juli 2016, tercatat 18 perusahaan yang disebut sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan, baru tiga yang naik ke tingkat pengadilan. Satu perusahaan divonis bebas, dan dua lainnya berujung pada vonis tiga tahun penjara.
Melihat hasil akhir dari rentetan sejumlah kasus karhutla, vonis yang dijatuhkan rasanya tidak sebanding dengan mahalnya dampak yang ditumbulkan bagi kehidupan banyak orang. Bagaimanapun, hutan adalah sumber kehidupan. Keberadaannya harus dilindungi untuk memelihara fungsi sebagai penyangga sistem kehidupan dan keseimbangan ekosistem. (MB DEWI PANCAWATI DAN BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)