Prospek Pala Indonesia di Pasar Dunia
Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu penghasil dan eksportir utama pala di dunia, jauh sebelum negara ini lahir. Sayang, saat ini pala sebagai komoditas justru kurang dibudidayakan secara optimal.
Sejak masa penjajahan Belanda, pala menjadi salah satu penggerak ekonomi Belanda dan persekutuan dagang Hindia Belanda (VOC).
Dalam buku Mutiara dari Timur (1996) yang ditulis oleh Burhan Bungin, disebutkan bahwa Reinier de Klerk, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1777-1780), mencatat jumlah menakjubkan perdagangan pala.
Pada tahun 1756, pendapatan VOC dari penjualan pala dan fuli (selaput biji pala atau sering disebut dengan ”bunga pala”) mencapai 1,8 juta gulden. Pada awal abad ke-17 itu, harga pala yang dibeli dengan sangat murah di Banda dapat dijual di Eropa dengan harga 600 kali lipat!
Disebutkan juga, Kepulauan Banda di Maluku saat itu merupakan salah satu daerah penghasil pala yang tersohor. Betapa tidak, pada abad ke-16, Banda dikenal sebagai penghasil pala terbesar di dunia. Rempah-rempah, termasuk pala dari pulau yang dijuluki ”Surga dari Timur” itu, merupakan primadona ekonomi di negara-negara Atlantik Utara waktu itu.
Harga pala yang dibeli dengan sangat murah di Banda dapat dijual di Eropa dengan harga 600 kali lipat.
Biji pala saat itu memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan perak, bahkan emas. Pala dan rempah lainnya, seperti cengkeh yang pada masa itu sangat langka, dicari banyak orang karena dipercaya berkhasiat, memberi rasa, hingga mampu mengobati sejumlah penyakit mematikan di dunia Barat.
Tak heran komoditas itu mengundang kedatangan orang Belanda, Inggris, dan Portugis. Orang-orang Barat itu bertarung satu sama lain guna mengontrol perdagangan pala dunia.
Demografi
Pada waktu itu, penduduk di gugusan Kepulauan Banda kira-kira 15.000 jiwa. Inggris dan Belanda ingin menguasai (monopoli) perdagangan pala di Banda dengan cara mendirikan pabrik dan benteng guna menegakkan kepentingan mereka.
Apabila Belanda memilih bercokol di Neira, Inggris menguasai Pulau Run di dekatnya. Kedua bangsa itu sering berperang, baik di daratan Eropa maupun di wilayah koloni pada abad ke-17. Demi memonopoli pala, Belanda rela menukar wilayah koloninya di Nieuw Amsterdam (kini New York) dengan Pulau Run yang dikuasai Inggris.
Ironisnya, dalam buku Kepulauan Banda, Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala (1983), Willard A Hanna menyebutkan, VOC pula yang kemudian membakar puluhan ribu pohon pala di Pulau Lonthoir, Ai, dan Run supaya pulau-pulau itu tidak diminati bangsa Eropa lain.
Dengan kata lain, VOC menerapkan politik bumi hangus demi mencegah dikuasainya pala oleh bangsa lain. Ini menunjukkan pala menjadi salah satu unsur penting dan strategis sehingga dicegah betul untuk tidak jatuh ke tangan musuh.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya setelah abad ke-17, pesona Banda mulai meredup seiring dengan keberhasilan penanaman pala di negara lain, seperti India, Madagaskar, Sri Lanka, dan Zanzibar (Tanzania).
Pala menjadi salah satu unsur penting dan strategis sehingga dicegah betul untuk tidak jatuh ke tangan musuh.
Selain Pulau Banda, keragaman pala juga terdapat di Pulau Siau, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara, dan Papua. Pala juga tumbuh di Pulau Jawa.
Kehadiran pala di Jawa tercatat saat Marco Polo melakukan perjalanan menuju China pada 1271-1295. Saat itu, Marco Polo melihat masyarakat menanam pala di kebun.
Pala juga menyebar ke Aceh dan Sumatera. Banyaknya kebun pala di Aceh tidak lepas dari daerah itu yang menjadi salah satu pusat perdagangan di Pulau Sumatera pada abad ke-18.
Pala saat ini
Kini, tanaman pala tetap menjadi salah satu komoditas ekspor yang cukup prospektif dikembangkan Indonesia. Indonesia tetap diperhitungkan dalam jajaran produsen utama pala dunia meski bukan lagi yang terbesar.
Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2014 menunjukkan, Indonesia memenuhi sekitar 60 persen kebutuhan pala dunia. Indonesia merupakan produsen dan eksportir kedua terbesar pala setelah Guatemala dengan pangsa pasar sebesar 26,71 persen. Selebihnya, pala dipasok oleh India, Nepal, Laos, Bhutan, dan Tanzania.
Seperti dikutip dari Global Business Guide, nilai perdagangan pala dunia tahun 2014 mencapai 650, 64 juta dollas AS, meningkat 2,78 persen dari tahun 2013 sebesar 633,02 juta dollar AS. Permintaan pala dunia terutama berasal dari negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan India.
Tahun 2010-2014, ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa tercatat meningkat 5,39 persen. Pada tahun 2014, negara-negara di Uni Eropa, seperti Belanda, Jerman, Italia, Belgia, dan Perancis, mengimpor pala dari Indonesia sebanyak 2.874 ton senilai 32,1 juta dollar AS.
Tahun 2015, publikasi dari pusat promosi impor negara berkembang CIB Eropa menunjukkan 73 persen produk pala di Eropa bersumber dari Indonesia.
Peluang Indonesia menguasai pasar dunia pala juga masih terbuka luas. Menurut data ekspor impor yang dikeluarkan FAO, pemintaan pala dunia terus meningkat dalam lima tahun terakhir dan kini diperkirakan mencapai 20.000 ton per tahun.
Kendala
Sayangnya, Indonesia agaknya kurang mengembangkan salah satu komoditas khas Nusantara ini dengan lebih serius. Hal itu tecermin dari aktivitas perdagangan di Indonesia. Nilai ekspornya terhitung kecil jika dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain, seperti kelapa sawit atau karet.
Tahun 2012-2016, nilai ekspor pala tercatat 107,8 juta dollar AS per tahun. Sementara ekspor produk karet sepanjang periode yang sama rata-rata 387,5 juta dollar AS per tahun dan minyak kelapa sawit bahkan rata-rata 4.654,6 juta dollar AS setiap tahun.
Nilai ekspor terhitung kecil jika dibandingkan dengan komoditas perkebunan kelapa sawit atau karet.
Produktivitas tanaman pala Indonesia terutama untuk perkebunan rakyat sebenarnya relatif stabil dari tahun ke tahun dan ada kecenderungan meningkat sejak tahun 2000. Namun, produktivitasnya masih relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara penghasil pala lainnya, seperti Guatemala.
Dengan luas areal tanam sekitar 72.400 hektar, Guatemala mampu memproduksi pala hingga 40.000 ton. Sementara dengan areal tanaman pala dua kali lebih luas (lebih dari 157.000 hektar) yang tersebar di Aceh, Maluku, Sulawesi Utara, Papua, Jawa Barat, Sumatera, dan beberapa produsen kecil, setiap tahun Indonesia hanya mampu menghasilkan kurang dari 33.000 ton pala.
Padahal, perkebunan pala dapat membuka kesempatan kerja bagi 146.000 petani yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia.
Produk pala yang dihasilkan Indonesia pun tidak sepenuhnya memenuhi standar kualitas perdagangan internasional. Data Food and Feed Safety Alerts (RASFF) Komisi Eropa menunjukkan bahwa selama periode 2011-2016, Indonesia mendapat 60 notifikasi dari Uni Eropa.
Terakhir tahun 2016 Indonesia menerima 24 peringatan. Penolakan ekspor pala asal Indonesia tersebut ditengarai karena tidak memenuhi standar mutu pasar Uni Eropa. Pala Nusantara yang dulu diburu bangsa Eropa kini justru ditolak masuk ke Eropa karena kandungan aflatoksinnya melebihi ambang batas aman.
Aflatoksin adalah racun yang berasal dari jamur yang tumbuh pada pala akibat kurang optimalnya higienitas, pengeringan, dan kondisi penyimpanan. Bukti ilmiah menunjukkan aflatoksin dapat menyebabkan penyakit kanker.
Mutu pala Indonesia yang tidak stabil tersebut berakibat pada harga jualnya lebih rendah daripada harga rata-rata pala Grenada yang secara keseluruhan tingkat produksinya hanya 20 persen dari produksi pala dunia. Pada saat permintaan tinggi, harga pala bisa berkisar 16.000 dollar AS hingga 21.000 dollar AS per ton di pasar internasional.
Dari segi mutu, kualitas pala asal Indonesia diakui kalah dibandingkan dengan pala asal Grenada di Kepulauan Karibia. Kualitas biji pala asal Grenada sedikit lebih baik karena teknologi pemetikan menggunakan jaring sehingga biji pala tidak jatuh ke tanah. Penanganannya juga dinilai lebih baik, antara lain, karena dilakukan fumigasi untuk mencegah timbulnya jamur.
Menurut Ketua Lembaga Indikasi Geografis Pala Siau Kabupaten Siau Tagulandang Biaro JR Kiwol, rendahnya kualitas pala tersebut berkaitan dengan sifat genetik tanaman, cara budidaya, dan penanganan pascapanen. Cara penanganan pascapanen yang masih tradisional dengan peralatan seadanya ditengarai menjadi salah satu penyebab pala menjadi kurang higienis.
Penanganan pascapanen yang masih tradisional menjadi penyebab pala Indonesia menjadi kurang higienis.
Nilai tambah
Indonesia juga belum mendorong lebih serius pengembangan produk turunan pala. Sebagian besar pala masih dijual dalam kondisi mentah di pasar internasional. Padahal, jika diolah menjadi produk tertentu, bisa memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Nilai tambah yang diperoleh Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan Grenada dan India. Bukan hanya biji dan fuli yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, daging buah pala yang selama ini terbuang ternyata berpotensi untuk diolah menjadi dodol, manisan, sirup, dan selai. Beragam produk olahan itu berpotensi meningkatkan nilai tambah secara ekonomi.
Berdasarkan ketersediaan potensi bahan baku, daerah-daerah yang potensial untuk pengembangan usaha produk turunan pala adalah daerah penghasil pala utama di Indonesia. Daerah-daerah tersebut antara lain Aceh, Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Papua Barat, Sumatera Barat, dan Jawa Barat.
Dengan penguatan nilai tambah, perbaikan kualitas, dan peningkatan produktivitas, mungkin Indonesia bisa mengubah posisi dalam peta perdagangan pala dunia. Indonesia tak hanya berposisi sebagai produsen bahan mentah yang tunduk kepada kebijakan harga, tetapi juga bisa menjadi penentu harga dan pesaing baru. (LITBANG KOMPAS)