Mekar Kuncupnya Produksi Cengkeh Indonesia
Hingga saat ini, cengkeh merupakan salah satu jenis rempah yang pengusahaannya paling banyak dilakukan oleh masyarakat dibandingkan negara atau perusahaan swasta.
Sekitar 98 persen perkebunan cengkeh merupakan perkebunan rakyat (PR) dan hanya masing-masing 1 persen yang dilakukan oleh perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS).
Perkebunan cengkeh rakyat mengalami perkembangan yang sangat signifikan sejak tahun 1969 dan mencapai puncaknya pada 1987. Kebijakan pemerintah yang mendorong petani untuk menanam cengkeh membuat luasan area tanamannya meningkat pesat.
Pada 1969, menurut catatan Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal tanaman cengkeh hanya 69.956 hektar dan meningkat menjadi 722.689 hektar pada 1987. Setelah tahun itu, terjadi penurunan secara gradual akibat penurunan harga cengkeh internasional.
Penurunan luas areal cengkeh pun langsung terasa. Dalam satu tahun setelah periode puncak terjadi pengurangan luas areal cengkeh sekitar 100.000 hektar.
Kebijakan pemerintah untuk menekan produksi cengkeh guna menahan penurunan harga dan lahirnya sistem tata niaga cengkeh lewat Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang diberlakukan tahun 1990 turut berpengaruh pada anjloknya produksi cengkeh petani.
Banyak petani yang frustrasi lalu membabat pohon cengkeh dan menggantinya dengan tanaman lain. Kondisi itu terus berlanjut sehingga tahun 1999 luas areal tanaman cengkeh tinggal 407.149 hektar.
Setelah Indonesia memasuki periode reformasi dan BPPC secara resmi dibubarkan tahun 1998, sistem perdagangan cengkeh tak lagi berada dalam monopoli kuasa negara, tetapi pada pasar bebas.
Perkebunan cengkeh rakyat mengalami perkembangan signifikan tahun 1969 dan mencapai puncaknya pada 1987.
Perlahan, kondisi ini justru membuat kestabilan harga tercapai dan petani kembali memperoleh rasa percaya diri untuk menanam cengkeh. Namun, belajar dari tragedi masa lampau, tampaknya petani lebih memilih mengembangkan perluasan secara gradual, seirima dengan kebutuhan pasar.
Maka, setelah 1999 terjadi perluasan areal tanaman cengkeh rakyat dan pada 2016 diperkirakan mencapai luasan 504.480 hektae. Berbeda dengan perkebunan rakyat, perkebunan besar negara ataupun perkebunan besar swasta yang jumlahnya tidak seberapa cenderung mengalami penurunan luas areal.
Saat ini, Indonesia merupakan produsen utama cengkeh dunia. Data dari FAO menyebutkan bahwa produksi cengkeh Indonesia tahun 2014 mencapai 98.700 ton atau empat kali lipat dari produsen terbesar kedua, yakni Madagaskar yang produksinya hanya 22.500 ton.
Selebihnya, dalam jumlah yang jauh lebih kecil, kebutuhan dunia akan cengkeh diisi oleh negara Tanzania, Sri Lanka, Komoro, Kenya, dan China. Direktorat Jenderal Perkebunan RI menyebutkan bahwa produksi cengkeh Indonesia tahun 2016 diperkirakan mencapai 123.687 ton.
Meski merupakan produsen terbesar, Indonesia bukanlah pengekspor cengkeh terbesar karena hasil produksi hampir terserap semuanya untuk konsumsi dalam negeri, terutama pabrik rokok. Indonesia hanya menjadi negara pengekspor peringkat kelima terbesar setelah Madagaskar, Singapura, Tanzania, dan Komoro.
Nilai ekspor cengkeh Indonesia pada 2012 sebesar 24.767 dollar AS. Sebaliknya, pada tahun yang sama Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara pengimpor cengkeh dengan nilai impor sebesar 110.793 dollar AS. Impor cengkeh yang tinggi disebabkan oleh permintaan bahan baku dari industri rokok kretek dalam negeri yang belum dapat dipenuhi.
Meski demikian, volume impor dan ekspor cengkeh Indonesia berfluktuasi. Kalau sedang panen besar maka cenderung melakukan ekspor lebih besar, sebaliknya kalau panen dalam negeri sedikit maka impor cenderung lebih banyak.
Negara tujuan ekspor Indonesia dengan volume terbesar adalah India (2.310.454 kilogram) dan Vietnam (1.287.343 kg). Namun, nilai ekspor terbesar bukanlah dari kedua negara tersebut, melainkan dari Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Tiga sentra utama
Sulawesi, Jawa, dan Maluku merupakan pulau-pulau utama penghasil cengkeh. Pulau Sulawesi menyumbangkan 43 persen dari total produksi nasional, sedangkan Jawa 23 persen, dan Kepulauan Maluku 20 persen.
Produksi cengkeh di Pulau Sulawesi terutama terletak di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah dan dalam jumlah yang lebih sedikit dijumpai di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara.
Di Sulawesi Selatan, areal tanaman cengkeh terbanyak berada di Kabupaten Luwu dan Sulawesi Tengah terletak di Kabupaten Toli-toli. Adapun di Sulawesi Tenggara areal tanaman cengkeh terbanyak terletak di Kabupaten Kolaka Utara, sedangkan di Sulawesi Utara terletak di Kabupaten Minahasa dan Minahasa Utara.
Di Pulau Jawa, wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menyumbang lumayan besar pada produksi nasional. Di Jawa Timur, tanaman cengkeh banyak dijumpai di Kabupaten Pacitan dan Malang, sedangkan di Jawa Tengah terutama di Kabupaten Wonogiri, Semarang, dan Pemalang. Selain itu, di Jawa Barat terbanyak di Kabupaten Sukabumi, Sumedang, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dan Kuningan.
Sementar, di Kepulauan Maluku, cengkeh lebih banyak dijumpai di Provinsi Maluku, produksinya lima kali lebih banyak daripada Maluku Utara. Wilayah Maluku juga tercatat sebagai daerah dengan tingkat produktivitas cengkeh paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Di sini produktivitas tahun 2014 mencapai 647 kg per hektar. Bandingkan dengan Jawa Timur yang hanya 406 kg per hektar. Wilayah Maluku yang menjadi sentra tanaman cengkeh adalah Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan Kabupaten Seram Bagian Barat.
Produksi cengkeh nasional sebetulnya dapat ditingkatkan jika tanaman-tanaman yang sudah tidak menghasilkan atau rusak segera digantikan dengan tanaman baru. Hingga saat ini, luas areal tanaman menghasilkan (TM) hanya 61 persen dari total luas lahan cengkeh yang 501.028 hektar, sedangkan lahan yang sudah tidak menghasilkan atau yang rusak (TTM/TR) mencapai 15 persen.
Sementara itu, luas lahan tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) mencapai 24 persen. Wilayah Aceh merupakan provinsi yang paling banyak terdapat areal tanaman yang sudah tidak menghasilkan atau rusak, mencapai 45 persen dari total luas lahan cengkeh.
Di Maluku, dengan luas lahan yang tingkat kerusakannya hanya 12 persen pun sudah cukup terasa memengaruhi produksi.
”Kalau dilihat dari kondisi saat ini, dari umurnya, cengkeh dan pala di Maluku sudah memasuki masa tua dan banyak yang terserang penyakit. Jadi produksinya sudah menurun. Cengkeh sudah banyak yang berumur 70 tahun sehingga tidak optimal lagi. Umumnya tanaman cengkeh berada dalam kondisi puncak produksinya pada umur 25-30 tahun. Setelah itu, menurun,” tutur Diana Padang, Kepala Dinas Pertanian Maluku.
Kerusakan ini juga dirasakan oleh petani di Saparua, salah satu sentra tanaman cengkeh di Kabupaten Maluku Tengah. ”Tanaman cengkeh masyarakat banyak sekali yang kering karena hama,” kata Raja Booi Rafel Pattiasina (68).
Problem panen
Persoalan terbesar dalam proses produksi cengkeh adalah belum adanya teknologi pemetikan buah cengkeh untuk memanen secara cepat. Pada umumnya masih dilakukan secara tradisional, yaitu memetik dengan tangan tangkai demi tangkai.
Di Pulau Saparua, jika panen raya, rata-rata keluarga akan kesulitan mencari tenaga kerja untuk memetik. Di Desa Booi, misalnya, jumlah anggota keluarga tidak akan mencukupi untuk bekerja memetik cengkeh saat panen besar. Mereka rata-rata memiliki lahan seluas 1 hektar, yang bisa berisi ratusan pohon. Padahal, satu pohon besar dapat menghabiskan waktu lebih dari sehari untuk memetiknya.
”Kalau semua masyarakat yang punya pohon cengkeh di sini berbuah, lalu siapa yang bisa disewa tenaganya untuk memetik? Itu persoalannya,” ungkap Rafel Pattiasina.
Agar bunga cengkeh tidak telanjur polong (merekah kembangnya), mereka hanya punya dua opsi untuk memutuskan: menyewa tenaga kerja atau terpaksa bagi dua hasil petik dengan siapa saja yang mau memetik. Jika ada tenaga kerja yang mau disewa, mereka harus mengeluarkan uang Rp 100.000 per hari per orang.
Sewa tenaga kerja umumnya terjadi jika pekerja sewaan itu tidak memiliki kelompok. Namun, jika mereka memiliki kelompok kerja, biasanya mereka lebih memilih bagi hasil karena jauh lebih menguntungkan buat pekerja.
Karena rata-rata saat panen raya semua keluarga di Desa Booi sibuk, maka kerap kali mereka mendatangkan orang-orang dari kampung lain untuk memetik di sini dengan sistem bagi hasil.
Dengan cara ini, pemilik pohon hanya akan menerima separuh dari keseluruhan hasil panen cengkeh yang sudah kering. ”Lebih untung panen pala karena ibu-ibu pun bisa naik. Lebih gampang memetiknya daripada pohon cengkeh,” kata Johan Pattiasina (67), Ketua Kelompok Tani di Desa Booi. (Bersambung) (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)