Meretas Peta Baru Produsen Indonesia
Upaya meretas jalur perdagangan rempah pada era liberalisasi pasar adalah sebuah ekspedisi membuka sosok bangun yang multidimensi. Diperlukan lensa multifaset untuk menelusuri rezim perdagangan yang lentur dan bermuara banyak ini.
Memetakan wilayah-wilayah produsen utama bahan-bahan rempah dan membentangkan lika-liku perdagangannya akan meletakkan sejumlah tanya pada bentang ikatan-ikatan sosial dan ekonomi yang merangkai susun bangun sebuah rezim perdagangan.
Rempah-rempah merupakan hasil (buah, bunga, biji, daun, batang, umbi, atau kulit) dari tanaman yang mempunyai rasa dan aroma yang sangat kuat, yang dibutuhkan sebagai bumbu makanan, minuman, bahan industri obat, kosmetik, dan banyak hal lain.
Indonesia memiliki kekayaan tanaman rempah yang sangat banyak, bahkan sebagian menjadi komoditas yang menguasai perdagangan rempah dunia.
Dari semua jenis rempah yang diproduksi di Indonesia, lima jenis rempah memiliki nilai ekonomi tinggi di perdagangan internasional, yaitu cengkeh (Syzygium aromaticum), lada (Piper Albi Linn), pala (Myristica fragrans), kayu manis (Cinnamomum burmannii), dan vanili (Vanilla planifolia).
Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Tjahja Widayanti dalam diskusi bertajuk ”Menggali Ulang Sejarah Rempah Nusantara” yang digelar harian Kompas (23/1), kelima jenis rempah ini memiliki posisi penting dalam memenuhi kebutuhan dunia.
Sepanjang 2015, rempah-rempah menyumbangkan surplus sebesar 805,8 juta dollar AS. Komoditas yang menyumbangkan surplus terbesar adalah lada, pala, dan kayu manis yang masing-masing mencapai 535,4 juta dollar, 106,97 juta dollar, dan 100,6 juta dollar AS.
Selama Januari-November 2016, lada, pala, dan kayu manis masih menjadi komoditas penyumbang surplus terbesar rempah-rempah. Indonesia banyak mengekspor rempah ke Vietnam (25,6 persen) dan Amerika Serikat (21,7 persen).
Sementara impor rempah terbesar untuk Indonesia berasal dari Vietnam (56,7 persen) dan Brasil (17,9 persen). ”Walaupun lada merupakan komoditas rempah yang paling banyak diimpor Indonesia, ekspor lada Indonesia nilainya jauh lebih besar,” ujar Widayanti.
Rempah-rempah merupakan hasil (buah, bunga, biji, daun, batang, umbi, atau kulit) dari tanaman yang mempunyai rasa dan aroma yang sangat kuat.
Indonesia merupakan produsen lada terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Produksi lada Indonesia pada tahun 2014, menurut catatan FAO, sejumlah 877.000 ton, sedangkan Vietnam 163.000 ton.
Tren ekspor lada dari Indonesia cenderung meningkat seiring dengan naiknya kebutuhan dunia akan rempah jenis ini. Di Indonesia, lada banyak dijumpai di Bangka Belitung, khususnya di Kabupaten Bangka Selatan. Umumnya jenis yang diproduksi adalah lada putih (Muntok white pepper).
Sentra berikutnya adalah Lampung, khususnya di Lampung Utara yang memproduksi jenis lada hitam (black pepper). Tanaman lada juga terdapat di Kalimantan Barat dan beberapa daerah lain, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit. Bahkan, di Jawa Barat perannya tidak lagi signifikan dalam perdagangan walaupun eksistensinya tertulis dalam sejarah kolonisasi Hindia Belanda.
Indonesia juga merupakan produsen pala kedua terbesar di dunia setelah Guatemala. Pala merupakan rempah utama yang sempat menghidupkan perekonomian kerajaan-kerajaan tradisional di Maluku dan Maluku Utara. Hingga kini, pala masih menjadi komoditas yang penting bagi kedua daerah itu, khususnya di Halmahera Tengah dan Maluku Tengah.
Di Halmahera Tengah, kecamatan penghasil pala terbanyak berada di Patani Utara, sedangkan di Maluku Tengah, Pulau Banda merupakan penghasil utama pala kelas satu. Namun, sekarang tampaknya ada perkembangan baru yang secara signifikan menggeser monopoli Indonesia timur.
Aceh, khususnya Aceh Selatan, kini menjadi kabupaten dengan produsen pala terbesar di Indonesia, lima kali lipat di atas produksi Halmahera Tengah. Selain itu, pala juga cukup besar diproduksi di Sulawesi Utara (Kabupaten Talaud, Sangihe, dan Kepulauan Siau Tagulandang Biaro) dan Papua Barat (Kabupaten Fakfak).
Cengkeh ditengarai mula-mula tumbuh secara liar di Pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta serta baru dibudidayakan mulai tahun 1450.
Kekayaan akan rempah-rempah tersebut telah menyebabkan pedagang China, Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Gujarat datang di daerah-daerah ini dengan membawa tekstil, beras, perhiasan, dan kebutuhan hidup lainnya untuk ditukar dengan rempah-rempah (M Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, 2010).
Kini, produksi terbesar cengkeh masih berada di kawasan kepulauan Maluku, terutama di Maluku Tengah (khususnya Pulau Saparua dan Seram) yang merupakan basis tradisional petani cengkeh.
Meski demikian, sekarang produksi cengkeh juga sangat menonjol di Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan), Kabupaten Tolitoli (Sulawesi Tengah), Minahasa dan Minahasa Selatan (Sulawesi Utara), serta Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara). Saat ini, produksi cengkeh Indonesia berada di posisi terbesar di dunia mengalahkan Madagaskar dengan selisih yang amat jauh.
Cengkeh ditengarai mula-mula tumbuh secara liar di Pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta.
Demikian juga untuk vanili, produksi Indonesia terbesar di antara semua negara di dunia. Vanili merupakan bahan rempah yang paling mahal harganya. Pada Oktober 2016, harganya mencapai Rp 3,7 juta per kilogram.
Sayangnya, produksi vanili masih terlalu sedikit dibandingkan dengan beberapa jenis rempah unggulan tersebut di atas.
Meski demikian, sebarannya cukup luas di wilayah Nusa Tenggara Timur dengan sentra terbesar ada di Ngada. Di Sulawesi Utara juga menjadi komoditas yang cukup banyak ditanam, khususnya di Bolaang Mongondow dan Bolaang Mongondow Utara.
Namun, sentra produksi vanili terbesar yang masih konsisten justru berada di Banyuwangi. Produksi vanili di salah satu kabupaten di Jawa Timur ini jumlahnya sebanding dengan jumlah total produksi dari Provinsi NTT ataupun Sulawesi Utara. Vanili juga menjadi tanaman yang cukup banyak dikembangkan di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Sukabumi.
Fenomena unik terjadi di rempah kayu manis, yang produksinya di Kabupaten Kerinci (Jambi) mengalahkan total produksi semua kabupaten di Indonesia jika dijumlahkan. Daerah produsen kedua terbesar setelah Kerinci adalah Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Solok.
Di pasar dunia, Indonesia merupakan pemasok 45 persen produksi kayu manis dunia. Negara tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat (46 persen) dan Belanda (11 persen). Namun, kejayaan kayu manis Indonesia tampaknya berada dalam ancaman yang cukup serius akibat makin berkurangnya luasan lahan untuk tanaman ini.
Sejak 2005 hingga 2014, misalnya, BPS mencatat penurunan areal lahan kayu manis mencapai 30 persen.
Alih fungsi lahan, sistem panen, tidak berkembangnya industri pengolahan, rendahnya mutu produk yang dihasilkan petani, rendahnya harga di tingkat petani, dan banyaknya lahan yang ditinggalkan turut menyumbang menyempitnya areal lahan produktif kayu manis (Ekwasita Rini Pribadi, Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 22 Nomor 2).
Masih rendahnya mutu kayu manis Indonesia membuat nilai ekspornya tidak setinggi produksinya. Sekalipun menjadi produsen terbesar rempah jenis ini, nilai ekspornya berada di bawah negara Sri Lanka yang mampu menghasilkan mutu terbaik.
Menelisik berbagai fenomena yang mengemuka pada paparan di atas akan membawa kita pada sejumlah pertanyaan. Mengapa di satu daerah perdagangan rempahnya bisa demikian pesat, produksi dan distribusi lancar, tetapi di sisi lain ada daerah yang stagnan bahkan cenderung merosot?
Bentuk konektivitas seperti apa, atau jejaring dengan mekanisme yang bagaimana, yang membuat perdagangan di satu daerah sangat aktif, tetapi di lain tempat berjalan lambat? Dalam perdagangan yang aktif, apa perangkat yang menunjang dan bagaimana pembagian keuntungan terjadi?
Sebaliknya, dalam sistem perdagangan yang tradisional atau stagnan, siapa pihak yang paling diuntungkan dan bagaimana hegemoni dijalankan agar capaian atas keuntungan tidak berkurang atau bahkan hilang?
Seberapa besar daya tahan petani rempah untuk tetap berusaha dengan tanaman tradisional mereka? Selain karena daya dukung alam, apa kondisi-kondisi yang dapat membuat mereka dapat menikmati keuntungan?
Sebaliknya, prasyarat seperti apa yang berkontribusi besar atau secara simultan berperan dalam meruntuhkan usaha pertanian rempah? Itu adalah sebagian dari banyak pertanyaan yang akan terus muncul dan berkembang guna memahami jalur perdagangan rempah. (LITBANG KOMPAS)