Kenaikan Tarif Listrik Mendorong ke Batas Kemiskinan
Setelah pemerintah mengambil kebijakan mencabut subsidi listrik bagi pelanggan rumah tangga golongan 900 volt ampere, praktis pengeluaran untuk rekening listrik kelompok daya ini menjadi naik.
Mulai 1 Januari 2017, pemerintah mencabut subsidi listrik bagi pelanggan rumah tangga golongan 900 VA yang tidak termasuk dalam rumah tangga miskin dan tidak mampu. Pemerintah beranggapan selama ini masyarakat mampu banyak yang sudah dimanjakan oleh subsidi listrik.
Padahal, alokasi subsidi bisa dialihkan untuk infrastruktur kelistrikan. Dengan tingkat elektrifikasi saat ini sekitar 88 persen, masih banyak masyarakat yang belum mendapat akses listrik yang harus diprioritaskan.
Dasar pencabutan subsidi ini adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).
Masih banyak masyarakat yang belum mendapat akses listrik yang harus diprioritaskan.
Permen ESDM tersebut menyatakan sepanjang tahun 2017 ini akan terjadi kenaikan tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga golongan 900 VA secara bertahap. Kenaikan terjadi tiga kali setiap dua bulan, yaitu 1 Januari, 1 Maret, dan 1 Mei, hingga akhirnya pada 1 Juli 2017 berlaku tarif keekonomian.
Per 1 Januari 2017, tarif listrik bagi golongan 900 VA yang dianggap mampu, terutama untuk pelanggan prabayar adalah Rp 791 per kwh. Per Maret 2017 naik menjadi Rp 1.034 per kWh dan pada Mei 2017 menjadi Rp 1.352 per kWh. Bagi pelanggan reguler (nonprabayar/token) tarifnya sedikit lebih rendah, tetapi dikenai biaya beban per kVA per bulan (abonemen).
Tarif keekonomian yang bakal mulai diterapkan per Juli 2017 mengacu pada tiga faktor yang memengaruhi biaya pokok penyediaan tenaga listrik, yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan inflasi. Tarif penyesuaian berdasarkan ketiga faktor ini menurut rencana akan dievaluasi setiap bulan dengan akibat, tarif listrik bisa naik, bisa juga turun.
Sejalan dengan kenaikan tarif listrik tersebut, alokasi subsidi listrik dalam APBN 2017 pun dikurangi menjadi Rp 44,98 triliun. Jumlah ini turun Rp 5,68 triliun (11,2 persen) dibandingkan APBN-P 2016 yang besarnya Rp 50,66 triliun.
Dampak kenaikan tarif listrik ini terlihat langsung melalui angka inflasi. Pada inflasi Januari, BPS menyebutkan inflasi terjadi karena kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya seluruh indeks kelompok pengeluaran.
Dampak kenaikan tarif listrik ini terlihat langsung melalui angka inflasi.
Pengeluaran kelompok yang di dalamnya terdapat komponen listrik menyumbang inflasi cukup besar, yakni 1,09 persen. Sebagai perbandingan, pengeluaran kelompok bahan makanan sumbangannya terhadap inflasi hanya berkisar 0,66 persen.
Inflasi Maret dan Mei setali tiga uang. Pada Maret, pengeluaran kelompok yang di dalamnya terdapat komponen listrik justru naik di tengah harga-harga kebutuhan lain yang cenderung turun. Sumbangannya terhadap inflasi tercatat sebesar 0,3 persen. Adapun pada Mei, pengeluaran komponen kelompok listrik menyumbang inflasi sebesar 0,35 persen.
Pengeluaran listrik
Hasil survei Litbang Kompas terhadap 1.200 responden yang dilakukan di 32 provinsi menunjukkan terjadi kenaikan pengeluaran untuk rekening listrik dalam kurun waktu enam bulan, dari Oktober 2016 hingga April 2017.
Jika pada Oktober 2016 pengeluaran listrik rata-rata responden lebih banyak di kisaran hingga Rp 100.000 per bulan (69,6 persen), pada April 2017 hanya tinggal 42,2 persen responden yang pengeluaran listriknya seharga satu lembar uang bergambar Soekarno-Hatta tersebut per bulan.
Kelompok yang pengeluaran rata-rata listriknya di atas Rp 100.000 per bulan pada April 2017 meningkat menjadi 57,8 persen dibandingkan enam bulan sebelumnya yang hanya sebanyak 30,4 persen.
Dilihat berdasarkan penggunaan daya listrik, rumah tangga pengguna daya 450 VA dan 900 VA adalah kelompok yang pengeluaran listriknya bertambah. Mayoritas rumah tangga (61,1 persen) pengguna daya 450 VA pada Oktober 2016 mengeluarkan biaya listrik hanya sampai Rp 50.000 per bulan.
Rumah tangga pengguna daya 450 VA dan 900 VA adalah kelompok yang pengeluaran listriknya bertambah.
Sebanyak 31,8 persen berikutnya mengeluarkan biaya berkisar Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan. Hanya 7 persen dari kelompok tergolong miskin ini yang pengeluaran listriknya lebih dari Rp 100.000 per bulan.
Pada April 2017, pengeluaran kelompok daya 450 VA ini berubah. Porsi yang mengeluarkan biaya listrik sampai Rp 50.000 per bulan menyusut menjadi 39,5 persen responden. Yang mengeluarkan biaya Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan bertambah menjadi 42,2 persen. Dan sisanya, 18,3 persen responden dengan daya 450 VA ini membayar listrik lebih dari Rp 100.000 per bulan.
Perubahan yang sama juga terjadi pada kelompok rumah tangga pengguna daya 900 VA. Jika pada Oktober 2016 pengeluaran untuk listrik kelompok ini lebih banyak pada kisaran Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan (46,3 persen), pada April 2017 pengeluarannya bertambah menjadi kisaran Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan (47,9 persn).
Tinggal hanya 6,9 persen responden pengguna daya 900 VA yang mengaku mengeluarkan biaya listrik kurang atau sampai Rp 50.000 per bulan.
Pada rumah tangga yang menggunakan daya listrik 1.300 VA ke atas, dalam rentang enam bulan terakhir memang cenderung mengeluarkan biaya rekening listrik minimal Rp 100.000 per bulan. Bahkan, lebih dari separuh pengeluaran untuk rekening listriknya di atas Rp 200.000 per bulan.
Hal ini bisa dipahami karena rumah tangga dengan daya listrik 1.300 VA ke atas biasanya menggunakan lampu penerangan lebih banyak dan berpendingin ruangan.
Golongan 1.300 VA
Berdasarkan Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016, pelanggan golongan 450 VA tetap menerima subsidi. Adapun pelanggan rumah tangga golongan 1.300 VA ke atas sudah terlebih dahulu dicabut subsidinya. Pada 2014, tiga golongan pelanggan rumah tangga telah diberlakukan kenaikan tarif listrik secara bertahap menuju keekonomiannya.
Pada pelanggan rumah tangga golongan 1.300 VA, kenaikan tarif listrik dilakukan secara bertahap rata-rata 11,36 persen setiap dua bulan. Pada pelanggan rumah tangga golongan 2.200 VA dan golongan 3.500 VA sampai dengan 5.500 VA kenaikan listrik secara bertahap masing-masing 10,43 persen dan 5,7 persen setiap dua bulan.
Selain kenaikan tarif listrik pada pelanggan rumah tangga, pada tahun yang sama juga berlaku kenaikan berkala terhadap pelanggan industri I-3 non go public dengan daya di atas 200 kVA, pelanggan pemerintah P-2 dengan daya di atas 200 kVA, dan pelanggan penerangan jalan umum P-3.
Kenaikan tarif listrik pada 2014 ini berdampak pada berkurangnya realisasi subsidi listrik pada tahun 2015 yang menjadi Rp 73,14 triliun atau turun 30 persen dibandingkan realisasi 2014. Untuk realisasi subsidi listrik 2016, diperkirakan juga bisa lebih rendah setelah APBN-P mematok subsidi listrik sebesar Rp 50,66 triliun.
Dengan disesuaikannya tarif listrik, konsumen dipaksa untuk hemat menggunakan listrik jika ia tak ingin membayar tagihan yang besar. Selain itu, pencabutan subsidi listrik terhadap pelanggan yang dianggap tidak tepat sasaran ini juga dimaksudkan sebagai upaya memenuhi prinsip keadilan bagi masyarakat.
Konsumen dipaksa untuk hemat menggunakan listrik jika ia tak ingin membayar tagihan yang besar.
Dengan pola subsidi yang berlaku selama ini, golongan pengeluaran yang lebih tinggi menerima subsidi listrik per bulan yang lebih besar. Sebagai contoh, kelompok pelanggan rumah tangga golongan 450 VA dengan pengeluaran terendah diduga hanya menerima subsidi rata-rata sebesar Rp 48.710 per bulan.
Sementara golongan daya yang sama dengan pengeluaran tertinggi menerima subsidi rata-rata sebesar Rp 140.835 per bulan atau hampir tiga kali lipat dari besaran subsidi yang diterima oleh kelompok pengeluaran terendah.
Meski demikian, penentuan rumah tangga pengguna daya 900 VA yang dianggap tidak termasuk dalam rumah tangga miskin atau tidak mampu pada praktiknya bisa jadi tidak realistis. Menurut pemerintah, terdapat 23 juta rumah tangga pengguna daya 900 VA yang tidak semestinya menikmati subsidi.
Hanya 4,1 juta rumah tangga yang berhak mendapat subsidi. Di antara rumah tangga pengguna daya 900 VA, cukup banyak yang memanfaatkan listrik untuk mendukung usaha yang menjadi sumber pendapatan, seperti di sektor makanan dan minuman.
Rumah tangga yang semula berada di ambang kemiskinan bisa masuk dalam jurang kemiskinan akibat pengeluaran yang bertambah untuk listrik. Pengeluaran yang bertambah ini akan memengaruhi daya beli masyarakat untuk pos pengeluaran lain. Pos pengeluaran untuk bahan makanan dan pendidikan bisa jadi dikorbankan. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)