Puasa Ramadhan tidak saja bernilai sebuah ibadah bagi umat Muslim. Bulan puasa juga memiliki nilai ekonomi tersendiri. Setidaknya, ini terlihat dari gejala semakin besarnya anggaran belanja di bulan ini, lebih dari bulan-bulan biasa. Bahkan, persiapan anggaran ini juga cenderung mendadak tanpa persiapan khusus.
Kesimpulan ini merupakan hasil dari jajak pendapat Kompas pekan lalu yang merekam bagaimana responden yang akan menjalankan ibadah puasa Ramadhan cenderung lebih konsumtif dibandingkan dengan bulan-bulan di luar bulan puasa.
Lebih dari separuh responden (68,73 persen) mengatakan anggaran belanja bulanan mereka membengkak pada bulan puasa. Hal ini tidak lepas dari tradisi atau kebiasaan yang menjadikan momentum bulan puasa sebagai sesuatu yang istimewa dan menyenangkan. Karena itu, banyak kegiatan yang dilakukan sepanjang Ramadhan yang membutuhkan tambahan anggaran.
Jika sebelumnya mungkin berbuka puasa dilakukan di rumah, tradisi buka bersama muncul sepanjang bulan puasa. Kebiasaan makan malam di rumah berganti menjadi makan malam di luar rumah, baik bersama keluarga maupun kolega/teman.
Akibatnya, alokasi anggaran lebih besar dibandingkan dengan hari-hari biasa. Akan tetapi, tanpa ada tradisi buka bersama itu pun, ada kebiasaan menyiapkan bahan makanan lebih banyak saat puasa.
Peningkatan anggaran tidak semata karena bertambahnya konsumsi. Menjadi hukum ekonomi, ketika permintaan semakin tinggi, harga barang kebutuhan melonjak pula. Hal ini biasanya berlangsung saat mendekati bulan Ramadhan hingga setelah Lebaran.
Jadi, tanpa menambah kebutuhan saat Ramadhan pun, sebenarnya anggaran belanja tetap akan lebih besar akibat kenaikan harga barang. Kenaikan harga barang menjelang dan sampai berakhirnya Lebaran sebagian besar kasusnya disebabkan oleh perilaku pedagang yang menaikkan harga.
Alasan utama pedagang menaikkan harga karena meningkatnya biaya logistik atau pengiriman. Akibat kenaikan harga inilah, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meminta pemerintah daerah mengawasi alur distribusi dan stok bahan kebutuhan pokok menjelang Ramadhan hingga Lebaran.
Tujuannya, mencegah lonjakan harga yang merugikan masyarakat. Jika menemukan fakta stok kurang dan harga melonjak, pemerintah daerah diminta segera berkomunikasi dengan pemerintah provinsi dan Kementerian Perdagangan supaya bisa segera dilakukan intervensi (Kompas, 5 Mei 2017).
Lonjakan harga setiap masa Lebaran rugikan konsumen.
Kenaikan harga akibat membengkaknya biaya distribusi logistik ini mau tidak mau memicu fenomena inflasi tinggi menjelang dan saat bulan Ramadhan. Rata-rata angka inflasi menjelang bulan puasa dan Lebaran berada di angka 1-2 persen. Harga barang-barang kebutuhan pokok yang berpotensi melonjak hampir dua kali lipat turut mempercepat gerak inflasi.
Konsumtif
Terlepas dari meningkatnya harga barang dan biaya distribusi, melonjaknya anggaran belanja di bulan puasa juga terkait dengan perilaku konsumtif masyarakat. Di tengah harga kebutuhan pokok yang melonjak, sebagian masyarakat justru cenderung lebih konsumtif.
Menariknya, dari kelompok responden yang mengakui bahwa kebutuhan belanja mereka lebih besar saat bulan puasa, sepertiga di antaranya tidak mempersiapkan secara khusus tambahan anggaran tersebut. Artinya, mereka tidak sejak jauh-jauh hari menyiapkan tambahan anggaran dan berjalan secara alamiah saja.
Momentum bulan puasa umumnya juga diiringi dengan tradisi silaturahim. Sebut saja tradisi buka bersama sebagai bentuk silaturahim yang diakui responden dalam jajak pendapat Kompas.
Penjaringan pendapat yang dilakukan merekam separuh lebih responden (67,6 persen) menyatakan berbuka puasa bersama keluarga merupakan momen istimewa. Momen berbuka bersama kerabat ini dinilai istimewa dan paling dinantikan meskipun hidangan yang disediakan sederhana.
Puasa juga membawa perubahan rutinitas kehidupan. Setidaknya, ini bisa dilihat dari pola aktivitas yang juga berubah. Hal ini juga didukung kebijakan sejumlah instansi yang menyesuaikan dengan bulan puasa, seperti pulang lebih sore dan pengurangan kegiatan-kegiatan yang ekstra berat.
Langkah-langkah ini setidaknya juga memengaruhi pola aktivitas individu, dari yang terbiasa aktif menjadi berkurang aktivitasnya. Tidak saja kegiatan individu, kegiatan sosial juga demikian. Kalaupun kegiatan sosial tetap marak, umumnya dibungkus dengan acara buka bersama.
Satu dari empat responden menyebutkan berniat mengurangi intensitas pekerjaan mereka. Sebagian responden, khususnya responden perempuan, biasa pulang kerja lebih awal untuk menyiapkan sajian buka puasa di rumah. Sejumlah perusahaan memang memberikan kelonggaran dan dispensasi berupa pengurangan jam kerja selama bulan Ramadhan.
Strategi belanja
Melonjaknya harga kebutuhan pokok selama bulan puasa dan Lebaran menjadikan masyarakat lebih hati-hati dalam mengelola pengeluaran. Jajak pendapat Kompas dua tahun lalu saat menjelang Lebaran juga menangkap strategi masyarakat menyiasati pemenuhan berbagai kebutuhan.
Di antaranya dengan cara menabung. Sebagian yang lain menyiasati dengan belanja kebutuhan pokok jauh-jauh hari sebelum harga-harga jauh meningkat. Tak kurang dari 60 persen responden menyatakan hal ini.
Strategi ini juga dilakukan dalam belanja nonpangan, seperti pakaian Lebaran dan aksesori lain. Belanja jauh sebelum puasa dan Lebaran lebih menguntungkan secara ekonomi karena harga belum dipengaruhi kenaikan harga saat puasa dan Lebaran.
Apalagi banyak pusat perbelanjaan memberikan harga promo menjelang puasa. Selain itu, tentu menyiapkan sejak dini anggaran puasa dan Lebaran menjadi langkah strategis agar masih bisa berhemat di bulan puasa dan Lebaran.
Tingkat konsumsi yang lebih tinggi sementara pendapatan cenderung tetap akan menimbulkan problem tersendiri. Ibaratnya, besar pasak daripada tiang. Hal ini seperti lumrah terjadi di bulan puasa. Daya beli dan perilaku konsumtif semakin meningkat.
Tunjangan hari raya biasanya langsung habis dibelanjakan.
Meskipun suatu keluarga mendapatkan tambahan anggaran dari tunjangan hari raya (THR), jarang sekali THR itu diperlakukan sebagai dana tabungan atau investasi. Tunjangan ini hampir dipastikan dibelanjakan langsung.
Pembelanjaan THR akan memicu lonjakan peredaran uang selama bulan puasa dan Lebaran. Catatan Bank Indonesia menyebutkan, bulan puasa dan Lebaran tahun lalu saja uang beredar mencapai Rp 160 triliun, meningkat 14,5 persen dibandingkan dengan puasa dan Lebaran tahun sebelumnya.
Hal ini menurut BI disebabkan masa puasa hingga Lebaran yang berbarengan dengan masa libur sekolah. Selain pemanfaatan dana THR untuk keperluan puasa dan Lebaran, juga ada peningkatan konsumsi untuk kebutuhan liburan dan membeli kebutuhan anak sekolah.
Praktis, hal ini memicu peningkatan penggunaan uang yang beredar di pasaran. Inilah potret masyarakat kita menjelang puasa Ramadhan dan Lebaran. Di satu sisi, momentum ini adalah momentum ibadah dan silaturahim. Namun, di sisi lain, juga menjadi momentum ekonomi. (LITBANG KOMPAS)