Tanpa perubahan pendekatan sistem penghukuman dan pemidanaan, lembaga pemasyarakatan di Indonesia akan terus berkutat pada persoalan yang sama. Persoalan tersebut adalah tahanan kabur, kerusuhan di dalam rutan, dan masalah peredaran narkoba di lapas.
Peristiwa kerusuhan yang berujung pada kaburnya 448 tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Sialang Bungkuk, Pekanbaru, Riau, menjadi salah satu catatan terburuk dalam sejarah lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada 5 Mei 2017 ini dipicu oleh aksi protes tahanan terkait pemerasan dan pungli oleh oknum petugas rutan.
Masalah kerusuhan dan tahanan kabur bukan hal baru terkait lapas di Indonesia. Hal ini merupakan persoalan klasik yang sudah berlangsung puluhan tahun dan belum berhasil dipecahkan oleh pemerintah yang telah berganti beberapa kali. Muara permasalahan lembaga pemasyarakatan dari dulu sebenarnya sangat jelas, jumlah tahanan yang meningkat tajam tidak sebanding dengan peningkatan infrastruktur pemasyarakatan.
Hingga saat ini, mayoritas lapas di Indonesia melebihi kapasitas. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah tahanan. Jika melihat data kapasitas lapas di setiap provinsi, tampak masalah overkapasitas ini berlangsung secara konsisten selama lima tahun terakhir (2012-2017). Bahkan, kondisi yang sama terlihat jika menilik data lapas 13 tahun lalu (2004). Di sejumlah provinsi, angka overkapasitas lapas peningkatannya sangat signifikan.
Dari 33 provinsi di Indonesia, tercatat hanya enam yang tidak mengalami masalah kelebihan tahanan. Sementara provinsi lain mengalami persoalan dengan tingkat hunian melebihi kapasitas lapas. Sedikitnya tercatat ada enam provinsi dengan tingkat hunian lapasnya melebihi kapasitas paling parah, yaitu Jambi, Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Tingkat hunian lapas/rutan yang melebihi kapasitas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya pengawasan terhadap tahanan atau narapidana. Lebih jauh, masalah tersebut juga menjadi kendala utama untuk mewujudkan fungsi ideal lembaga pemasyarakatan, yakni pelaksanaan pidana penjara dengan menonjolkan aspek pembinaan di dalam lembaga. Persoalan juga menjadi lebih berat dengan tidak dibarenginya peningkatan jumlah dan kualitas petugas lapas.
Masalah tersebut timbul akibat jumlah narapidana semakin hari semakin banyak. Sementara sarana dan prasarana lapas semakin hari justru semakin minim.
Padahal, pembinaan hukum hanya akan berhasil baik jika jumlah narapidana di penjara semakin sedikit. Longgarnya pengawasan akibat tidak berimbangnya penghuni rutan/lapas dengan kapasitas normal, ditambah jumlah petugas jaga yang juga tidak berimbang, meningkatkan risiko konflik atau kaburnya tahanan/narapidana.
Fungsi pemasyarakatan
Masalah jumlah tahanan yang melebihi kapasitas ini hanya menjadi satu dari beragam persoalan yang menyelimuti wajah lapas di Indonesia. Studi yang dilakukan tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada tahun 2007 menyimpulkan, setidaknya persoalan lapas terbagi dalam dua aspek utama. Kedua aspek tersebut terkait masalah kelembagaan serta masalah sarana dan prasarana.
Mengutip hasil penelitian yang diterbitkan dalam buku berjudul Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji (2007) tersebut, sistem peradilan pidana Indonesia mendorong semua tindak kejahatan berakhir di penjara. Padahal, ada opsi penghukuman lain, seperti restorative justice, terutama untuk kejahatan yang dianggap tidak berat menurut pengadilan. Dalam sistem ini, pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkan kepada korban, keluarga, dan masyarakat.
Selain itu, ada juga sistem penghukuman dengan model community based correction (CBD). Pada dasarnya, sistem penghukuman ini adalah penyediaan pembinaan dengan melibatkan masyarakat. Sistem pidana bersyarat dan pembebasan bersyarat adalah contoh dari CBD.
Penerapan dua model penghukuman tersebut dinilai bisa menjadi alternatif solusi dari problem jumlah tahanan yang melebihi kapasitas lapas. Apalagi, model penghukuman tersebut sebenarnya selaras dengan semangat pemasyarakatan yang ditetapkan sesuai undang-undang. Sistem pemasyarakatan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Filosofi penghukuman dilakukan dengan pendekatan rehabilitatif. Undang-undang tersebut menegaskan, pembinaan dan pembimbingan menjadi semangat utama dalam kegiatan pemasyarakatan.
Ide pemasyarakatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr Sahardjo pada tahun 1963. Gagasan Sahardjo memegang prinsip utama bahwa penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Karena itu, negara tidak berhak membuat orang menjadi lebih buruk daripada sebelum masuk lapas. Namun, persoalan anggaran dan kurangnya jumlah serta kualitas sumber daya manusia berujung pada lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan. Hal inilah yang menjadi sumbatan besar dalam realisasi pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang ideal tersebut.
Sistem peradilan pidana yang cenderung memberikan hukuman penjara untuk semua jenis tindak kejahatan menjadikan penjara cepat penuh. Overkapasitas lapas berdampak pada lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan. Kondisi ini berujung pada lemahnya sistem kontrol di dalam lapas. Gambaran ini jelas terlihat dari data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
Jumlah tahanan yang menghuni lapas meningkat 46 persen selama lima tahun terakhir. Sementara kapasitas lapas hanya meningkat sebanyak 16 pesen dalam periode yang sama. Demikian juga masalah jumlah tahanan yang tidak sebanding dengan jumlah petugas. Saat ini, rasio jumlah petugas dengan jumlah tahanan 1 berbanding 100, padahal rasio ideal 1 berbanding 25.
Tak heran, beragam persoalan terus bermunculan di dalam lapas. Hasil penelusuran terhadap pemberitaan media terkait permasalahan lembaga pemasyarakatan setidaknya terangkum dalam tiga jenis kasus yang paling sering muncul. Persoalan tahanan kabur, kerusuhan di dalam rutan, dan masalah peredaran narkoba di lapas menjadi isu yang paling sering diberitakan.
Persoalan jumlah penghuni lapas yang melebihi kapasitas akan terus melekat sebagai persoalan lembaga pemasyarakatan selama sistem penghukuman atau pemidanaan tidak berubah. Peningkatan jumlah tindak pidana yang terus melonjak tidak akan bisa diimbangi oleh pemenuhan sarana dan prasarana pemasyarakatan. Mekanisme ini berkorelasi langsung dengan pembengkakan anggaran negara.
Sebagai ilustrasi, biaya untuk makan satu tahanan sebesar Rp 15.500 per hari atau Rp 5,7 juta per tahun. Jumlah penghuni lapas saat ini sebanyak 219.671 tahanan. Artinya, negara mengeluarkan anggaran sekitar Rp 1,2 triliun per tahun hanya untuk biaya makan tahanan dan akan terus bertambah seiring dengan penambahan jumlah penghuni lapas.
Belum lagi anggaran untuk sarana dan prasarana lapas. Untuk masalah jumlah penghuni yang melebihi kapasitas itu, pemerintah mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk pembangunan lapas dan rutan pada tahun anggaran 2016.
Tanpa perubahan pendekatan sistem penghukuman dan pemidanaan, tampaknya lembaga pemasyarakatan di Indonesia akan terus berkutat pada persoalan yang sama. (LITBANG KOMPAS)