MIGRASI orang Tionghoa bisa ditelusuri dan dipetakan berdasarkan beberapa catatan sejarah. Pertama, adalah kedatangan bangsa China dari daratan Tiongkok secara alamiah, yang terjadi karena hubungan politik antarkerajaan dan perdagangan. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari wilayah tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku: Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, dan Tiochiu. Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quangzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Tiongkok, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok.
Gambar 1. Pola Migrasi Orang-orang China ke Asia Tenggara
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Lampung, Lombok, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
- Etnis Hakka atau Khek tersebar di Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka- Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat (Singkawang), Banjarmasin, Sulawesi
Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.
- Etnis Hainan di Pekanbaru, Batam, dan Manado.
- Etnis Hokkien - Sumatera Utara, Riau (Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja),
Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.
- Etnis Kantonis di Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
- Etnis Hokchia di Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
- Etnis Tiochiu atau Hok-Lo di Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Mereka disebut China Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Tionghoa, Jawa, Sunda dan Melayu.
Kedua, adalah gelombang migrasi yang datang sebagai tenaga kerja di sektor pertambangan dan perkebunan. Gelombang ini berjalan seiring dengan era globalisasi gelombang pertama yang ditandai dengan tumbuhnya Multi National Corporation(MNC) di berbagai negara lewat usaha pertambangan dan perkebunan yang masif dan hasilnya diperdagangkan dalam skala internasional. Terbentuknya VOC pada masa imperialisme Belanda di Indonesia adalah salah satu contoh. Periode ini berlangsung abad 18 hingga awal abad 20. Umumnya persebaran etnis China ke berbagai negara, selain didorong oleh usaha perdagangan dan kongsi, juga karena direkrut sebagai kuli di pertambangan atau perkebunan.
Di Kalimantan Barat, menurut JJ Groot (sejarawan Belanda) migrasi ini terutama dilakukan oleh kelompok etnik Hakka yang di daerah asalnya juga terbiasa melakukan aktivitas pertambangan dan perladangan berpindah. Mereka bermigrasi ke wilayah Montrado (Montraduk). Sekarang, mereka banyak terdapat di Singkawang, Bangkayang, dan Sambas. Meskipun jejaknya telah tampak pada temuan benda purbakala berasal dari abad ke-4 dan 16, namun kedatangan mereka mulai tergambar jelas ketika pada 1740 Panembahan Mempawah Opu Daeng Manambon mengundang 20 orang Tionghoa dari Brunei. Pada sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas ke-4, Sultan Abubakar Kamaluddin, juga mendatangkan orang-orang China ke wilayah Kesultanan Sambas untuk mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan Lara. Status orang-orang China ini adalah pekerja-pekerja tambang yang bekerja pada Sultan Sambas.
Sekitar tahun 1764 M gelombang besar-besaran orang-orang China didatangkan oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II menyusul begitu banyaknya ditemukan tambang emas baru. Tahun 1767-an jumlah orang-orang China yang mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau Kalimantan, khususnya di wilayah Kesultanan Sambas, sudah mencapai belasan ribu orang. Karena jumlah orang-orang China yang kian besar dan terkonsentrasi dalam kelompok-kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing, maka pada sekitar tahun 1768 kelompok-kelompok ini mendirikan semacam perkumpulan usaha tambang masing-masing yang disebut kongsi.
Hal yang sama juga terjadi di Bangka-Belitung. Timah yang dimonopoli perdagangannya oleh VOC itu, sebagian besar dengan mendatangkan para penambang China. Pada mulanya dari Batavia, Semenanjung Malaya, dan Siam, kemudian langsung dari China lewat Singapura dan Penang. Rekrutmen tenaga kerja pada mulanya dilakukan oleh Sultan Palembang dan kemudian oleh Inggris pada masa pemerintahannya yang singkat di Bangka, selanjutnya oleh agen-agen perekrut yang dibayar oleh perusahaan timah negara yang disebut Banka Tin Winning pada masa pemerintahan kolonial Belanda.[1]
Jumlah penduduk China di Karesidenan Bangka yang meliputi Pangkal Pinang, Sungaliat, Muntok, Bangka Utara, dan Bangka Selatan, menurut sensus penduduk (Volkstelling) pada tahun 1930 oleh pemerintahan Hindia Belanda, adalah 79.140 jiwa. Sedangkan jumlah orang China yang bekerja di tambang timah adalah 19.952 jiwa. Artinya, ada lebih banyak penduduk China yang bekerja di luar tambang. Mereka umumnya bekerja sebagai pedagang, tukang, petani, guru dan lain-lain. Meski demikian, kedatangan mereka lebih karena berkembangnya usaha penambangan timah di sini, yang membutuhkan pasokan barang-barang kebutuhan pokok dan aneka jasa.
Migrasi yang agak berbeda terjadi di wilayah Sumatera Timur (Deli dan sekitarnya). Di wilayah ini, orang-orang dari China berdatangan untuk bekerja sebagai kuli perkebunan tembakau, karet dan kelapa sawit. Pada tahun 1871 sekitar 3.000 orang China bekerja di perkebunan Tembakau Deli, sedangkan di seluruh Sumatera Timur pada tahun 1884 jumlah tenaga kerja asal China tercatat 21.136 orang. Jumlah tersebut jauh melampaui tenaga kerja asal Jawa yang hanya 1.771 jiwa dan India 1.528 jiwa (R.Z. Leissera, dkk., 1996).
Pola migrasi ketiga, berkaitan dengan persoalan politik dan keamanan. Dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, gelombang migrasi kembali ke negeri China dikarenakan ketegangan politik yang terjadi setelah melontarkan gagasan Pan-China, persatuan China di seluruh dunia. Dalam rangka memperkuat kekuasaan China dan menarik modal keturunan China di seluruh dunia, Pemerintah China menetapkan kebijakan ius sanguinis, yaitu mengakui semua orang Tionghoa di perantauan tetap sebagai warga negara China. Hal ini memicu ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dan China.
Pada tahun 1959 kemudian muncul Peraturan Pemerintah Nomor 10 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Kebijakan ini membuat orang-orang Tionghoa di Indonesia menghadapi pilihan yang sangat sulit, mengikuti kemauan pemerintah atau hengkang, kembali ke negeri China. Sebagian memilih bertahan, namun sebagian memilih kembali ke Tiongkok. Kebijakan diskriminatif ini segera terasa pengaruhnya kepada kondisi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Pembatasan bertempat tinggal dan berusaha bagi kalangan Tionghoa menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
[1] Erwisa Erman, “Politik Protes dan Etnisitas: Kasus Buruh China di Tambang Timah di Bangka-Belitung (1920-1950)”. Masyarakat Indonesia. Edisi XXXVI, No. 1, 2010, hlm. 4.
(LITBANG KOMPAS)