Puisi berjudul ”Agama Khong Guan” ditulis penyair Joko Pinurbo dalam buku ”Perjamuan Khong Guan”. Buku berisi 80 puisi tersebut diluncurkan di Jakarta, Minggu (26/1/2020).
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Mari kita buka apa isi kaleng Khong Guang ini: biskuit, peyek, keripik, ampiang, atau rengginang?// Simsalabim. Buka!// Isinya ternyata ponsel, kartu ATM, tiket, voucer, obat, jimat, dan kepingan-kepingan rindu yang sudah membatu.
Puisi berjudul ”Agama Khong Guan” ini ditulis penyair Joko Pinurbo dalam buku Perjamuan Khong Guan. Buku berisi 80 puisi tersebut diluncurkan di Jakarta, Minggu (26/1/2020). Sebelum diluncurkan, izin telah diberikan produsen Khong Guan kepada Joko dan pihak penerbit.
Ada selingan acara ngobrol santai di peluncuran buku tersebut. Joko, penyair Sapardi Djoko Darmono, penulis Ratri Ninditya, dan Editor Senior Bidang Sastra Gramedia Pustaka Utama Mirna Yulistianti hadir sebagai narasumber.
Ada meja kayu berlapis taplak putih di hadapan para pembicara. Di atasnya, ada kaleng Khong Guan, sepiring rengginang, teko, dan cangkir teh. Suasananya akrab seperti bertamu ke rumah kerabat dekat. Sekali kaleng biskuit dibuka, obrolan akan mengalir santai tak kenal waktu.
Obrolan soal Khong Guan tidak hanya menarik buat audiens, tetapi juga anak muda, pengagum senja, penikmat kopi, dan kaum rebahan di media sosial. Topik paling seru adalah mempertanyakan keberadaan sang bapak di kaleng Khong Guan. Pasalnya, kaleng itu hanya menampilkan gambar seorang ibu dan kedua anaknya di meja makan. Benar saja. Bapaknya mana?
Ada yang berseloroh bahwa sang bapaklah yang memotret sehingga dirinya tidak ada di gambar. Ada lagi yang bergurau bahwa sang bapak ibarat Bang Toyib: tahu-tahu pergi dan tak pulang-pulang.
Khong Guan kadang kala dicap sebagai kaleng jebakan. Jika yang membuka kaleng beruntung, isinya adalah biskuit aneka bentuk ditambah sebungkus wafer cokelat isi dua. Jika tidak beruntung, ya, isinya bisa rengginang, kunci rumah, pulpen, atau perlengkapan menjahit.
Ia menganalogikan kaleng biskuit tersebut sebagai simbol inklusivitas. Sebab, isinya bisa beragam ketika isinya habis. Kaleng umpama wadah yang terbuka dan siap menampung barang apa saja.
”Khong Guan adalah kudapan yang populer dan selalu hadir di setiap hari raya. Orang tidak pernah mempermasalahkan latar belakangnya. Khong Guan seakan-akan menjadi simbol cinta yang menjangkau semua lapisan masyarakat,” kata Joko.
Pandangan Joko soal Khong Guan ia perkaya dengan imajinasi dan referensi. Kegelisahannya akan cinta kasih antarmanusia dalam kehidupan sosial dinarasikan dalam bentuk puisi berbalut Khong Guan.
Kelakar Gus Dur
Tulisan di internet tentang (Abdurrahman Wahid) Gus Dur dan kelakarnya telah menginspirasi Joko. Di artikel tersebut, Gus Dur sedang berkisah tentang kunjungannya ke Madura. Presiden Indonesia keempat itu menguji audiens tentang nama-nama agama di Indonesia.
Saat tiba giliran untuk menjawab agama Konghucu, audiens malah menjawab ”Khong Guan”. Gus Dur tertawa dan terciptalah guyonan soal agama Khong Guan.
Kelakar tersebut memantik Joko untuk mengutarakan banyak hal lewat biskuit dalam kaleng itu. Ia ingin agar para pembaca ikut memikirkan persaudaraan dan cinta kasih antarumat manusia. Khong Guan dinilai sebagai media bercerita yang tepat karena sederhana dan melekat di benak masyarakat.
”Saya mau ajak orang memperhatikan isu-isu yang mungkin mencakup wilayah negara. Namun, saya tidak mau bikin bahasan ini jadi menyeramkan,” katanya.
Ratri Ninditya mengatakan, Perjamuan Khong Guan merupakan buku yang lucu dan kritis. Puisi di dalamnya ia nilai mewakili masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Ia juga menilai bahwa buku tersebut menggugat kebenaran akan gambaran keluarga yang bahagia.
Menurut Mirna Yulistianti, Khong Guan tidak hanya bermakna sebagai sebuah merek. Ketika diolah dalam rasa, Khong Guan berubah menjadi cerita kolektif masyarakat Indonesia. Biskuit dalam kaleng ini juga mewakili perubahan zaman dari masa ke masa.
Pendek dan singkat
Puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan relatif pendek. Sebuah puisi bisa dibaca dalam waktu kurang dari semenit. Bahasanya ringan, tetapi isinya kritis nan menyentil.
Bagi sang penulis, panjang atau pendeknya sebuah puisi bukan masalah. Ia percaya bahwa kekuatan kata bisa melekat di ingatan pembaca, tanpa peduli panjang puisinya.
Adapun istilah-istilah kekinian pada tubuh puisi, seperti ”bro”, ”ponsel”, dan ”markipul” (mari kita pulang). Ada juga kata makian yang sering digunakan dalam percakapan antarteman dekat. Kata itu terdiri dari tiga kata.
Joko mengatakan, penggunaan bahasa pop adalah caranya untuk terhubung dengan anak muda milenial dan generasi Z. Ia menilai bahwa penyair harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman agar karyanya terus hidup. Itu juga bentuk kesadaran diri bahwa ia hidup di zaman yang terus berevolusi. Puisi-puisi di buku ini juga kental dengan permainan bahasa.
Penyair Sapardi Djoko Darmono berpendapat, perubahan dan permainan bahasa yang dilakukan Joko adalah hal yang alami. Menurut dia, bahasa akan terus berubah karena diaplikasikan dengan lisan. Tulisan sang penulis pada akhirnya akan mengikuti lisan. Ia juga menilai bahwa cara menulis Joko ”berbeda”.
”Cinta ditulis oleh banyak orang dari zaman Adam hingga sekarang, termasuk oleh Joko. Namun, cara menulisnya dia berbeda. Ini membuat saya tertarik. Yang penting bukan isi puisi, melainkan caranya menulis puisi,” kata Sapardi.
Puisi-puisi Joko dibagi dalam empat bagian: Kaleng Satu, Dua, Tiga, dan Empat. Kaleng Satu berisi puisi yang merespons beragam topik acak selama beberapa tahun terakhir, misalnya pemilihan presiden.
Kaleng Dua banyak mengandung puisi yang eksperimental akan istilah-istilah bahasa Indonesia. Bagian ini digunakan sang penulis untuk mengulik kapasitas dan kekayaan bahasa Indonesia.
Kaleng Tiga berisi hubungan antara orang bernama Minnah dan buku. Nama Minnah diambil dari selebritas Korea Selatan bernama Min Ah. Sementara itu, Kaleng Empat berisi puisi bertajuk Khong Guan. Mungkin, sebenarnya Khong Guan memang bukan sekadar biskuit belaka.