PUISI
Di Atas Payogan
– Widi S Martodiharjo
Ingatlah langit pagi ini: sebelum
Subuh mencipratkan luh
Bintang berkerumun membentuk
rasi yang tak kukenal
Beralas teras pura, kita beralih asana
: sesaji paling suci bagi yang
memandang dari loka tinggi
Ada ihwal, mengapa dingin terbang
lebih awal. Sebab yang ingin kulampaui
tidak semata usia
Kenanglah rumah kecil ini: selepas
gelap direnggut cakar fajar
Goresan yang membuat luka tampak
sempurna – luput dari fana
2019
Happa
Akan kucuci namamu, sebelum
berendam dalam lumpur
Akan kukremasi asal-usulmu
di pawon yang sudah penuh debu
Pada wujudku yang baru, tak
ada lagi kenangan tentangmu
Hendak kuhapus semua sidik jari pada
tubuhmu – yang tak pernah kusentuh
Kini Tuhan melucuti semua yang
kumiliki hingga raga tinggal duri
Tetapi tak perlu cemas, sebab meditasi
hanya selisih waktu antara jiwa mati
dan pemilik mata sepi
Seorang pelukis mengekalkan sisa
panas abuku pada kanvas
– yang kelak menjauhi rumahnya
Dan ia akan melambai dengan
caranya sendiri. Ia – yang hampir – tak
pernah tahu: kami berpisah sejak gugur
ditiup angin sore itu
2019
Vredeburg
Ada yang memanggil dari selasar
benteng lengang itu. “Di sini
letak ruang sinema.”
Dalam gema musik sayup: yang bermain
di layar adalah sepasang bayang-bayang
Engkau datang dari masa lalu dan
aku kembali dari masa nanti
Ruang kembali dipenuhi aroma kopi
Di antara catatan yang terserak, aksara
berlepasan dari halaman buku. Ingin
berziarah pada makam penulisnya
“Di sini sarang pelurunya, dekat rusuk
ketiga.” Suara itu seperti milik sutradara
Memberi tahu tentang akhir yang
tak mudah dianggap mungkir
Benteng mulai mengenakan topeng
(Bukan jubah yang hanya membuatnya gerah)
Sebelum senja menciptakan labirin
seperti kemarin
2019
Mardi Luhung
Seteguk Lagi
Seteguk lagi. Maka waktu pun habis. Tapi tetap ada yang berdebat.
Tentang cuaca yang berposisi tusuk sate. Sampai pada sebait madah
yang tak datang di malam hari. Serta indra kelelawar yang merasa
kota penuh dengan tiang-tiang kelabu. Tiang-tiang yang menjulang.
Tiang-tiang yang ingin dijadikan tetanda. Bagi penghuni planet lain
yang akan menyerbu bumi. Sambil menyaru sebagai Semar, Gareng,
Petruk, dan Bagong. Para pelaksana goro-goro. Yang menertawakan
maut sebagai pemuda tampan yang baru bekerja. Dan yang baru tahu,
meski sisa napas bisa dikhatamkan, hidup mesti berlanjut. Getir atau
manis. Gelap atau terang. Lalu, sekian simpulan beterjunan dari balkon
gedung lantai sebelas. Tapi tak remuk. Malah melenting balik ke langit.
Menjadi bebintang yang baru. Bebintang yang lebih mungil. Yang akan
ditunjuk dan dirawikan oleh para perawi sebagai bukti atas apa yang
telah ditandaskannya: “Jika tak segera ikut edan, tak akan kebagian.”
Lihat, kabut berpusaran. Kabut bergumpalan. Lelangkah terseok-seok.
Dan waktu itu, tiada yang lebih nyata. Kecuali, melihat, bagaimana
sehasta demi sehasta, mata hati memasuki lubang biawak yang kusam.
Lubang biawak yang segera menenggelamkan segalanya tanpa sisa.
(Gresik, 2019)
Pulas
Pulas seperti si mati. Tahu-tahu subuh.
(Gresik, 2019)
Menyapa Insomnia
Jari-jarinya begitu lentur. Kuku-kukunya begitu tipis dan menyala.
Matanya begitu bulat dan tajam. Pikirannya begitu tak bisa jenak.
Dan gerakannya, mengingatkan pada goyang rerumput ketika hujan
ketujuh tumpah. Dan ketika sekian ekor kodok bersembulan di antara
daun teratai dan batu kolam. Lalu, sambil menatap, dikatakan, bahwa
dirinya dulu adalah seekor gantrung. Gantrung oranye yang bersayap
biru. Gantrung yang pernah dipukat si putri dan dimasukkan ke dalam
toples. Yang keesokan harinya mati. Dan si putri pun menangis sampai
air matanya habis. Sampai setiap tabib yang didatangkan tak mampu
menanganinya. Seterusnya, kisah pun berakhir dengan kesedihan. Dan
dia menggelengkan kepala. Sebelum memasuki pikirannya yang lain.
(Gresik, 2019)
Tusuklah Mataku
: lewat Oedipus
Tusuklah mataku. Biar tak lagi aku lihat perawakanmu yang meninggi di waktu siang. Dan merendah di waktu malam. Di
taman ini, hanya daun puring yang aku pilih. Sebab aku tertawan oleh kerumitan lekuk dan warna mencolok yang dipancarkannya.
Dan lewat kerumitan lekuk dan warna mencolok daun puring itu, aku akan memberimu nama baru: “Ingatan yang Tak Terduga.” Ingatan yang memanjang dan terus memanjang. Seperti
memanjangnya hasrat yang tak letih-letih menembusi celah.
Celah dari sebaris kabar, bahwa di antara gelap yang
bergumpalan, terselip jalan lain menuju batas. Batas? Ya, itulah tempat yang selalu diburu oleh para penyimak. Para penyimak yang telah melepaskan seluruh miliknya.
Agar tak terikat pada satu titik. Pada yang semestinya selesai.
Tapi malah jadi bersambungan. Sampai-sampai apa yang telah digenggam pun dibuang balik. Hanya untuk mendapatkan hal
yang dirasa baru. Meski itu masih tetap sama.
Wahai, mendekatlah padaku yang matanya telah kau tusuk ini.
Aku ingin meraba sebagian wajahmu. Juga sebagian lengan dan kakimu. Sebab, aku ingin tahu, apakah perawakanmu tetap
meninggi di waktu siang. Dan merendah di waktu malam.
Atau segalanya kau biarkan seperti tebak-tebakan yang rahasia. Yang tak tersentuh. Tebak-tebakan yang setia mengusungi pintu bagi kelahiran, kematian, jodoh, dan rezeki itu. “Sungguh, aku percaya padamu, maka percayalah juga padaku.”
(Gresik, 2019)
Kurung
Puisi tentang kehijauan ditulis oleh penyair yang hijau.
Berbicara tentang soal-soal yang memang begitu hijau.
Sehijau daun-daun yang bergoyang dengan serempak.
Yang kerap kita lihat di hutan-hutan. Hutan-hutan yang
dibelah sungai-sungai. Dan dikurung kabut-kabut tipis.
(Gresik, 2019)
Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, 20 Oktober 1960. Mencari Raden Saleh adalah buku puisinya yang beroleh penghargaan dari Perpustakaan Nasional pada 2019.
Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya antara lain Cumcum Pergi ke Akhirat (2017).