Puisi
Dodoku Ali
Kutulis gazal untuk pagi terakhir
Dan kuberikan padamu sebagai amsal
Tiba-tiba angin berhenti menderu
Dermaga lengang di antara kita
Kutulis rubaiyat untuk camar kecil
Kutulis di atas permukaan selat
Darahku yang beku kembali mencair
Ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi
2014
Siapakah
Siapakah yang menyiramkan hijau
Ketika punuk bukit kembali bersemi
Siapakah yang menumpahkan biru
Ketika ombak berkejaran dengan sunyi
Siapakah yang menggambari langit
Dengan kuas sehalus awan pagi
Siapakah yang mengukir udara
Dengan pahat selentur jemari
2015
Sesungguhnya
Andai jemariku mengelus rambutmu
Aku hanya mengelus rambut waktu
Andai hanya mengelus rambut waktu
Sesungguhnya aku mengurai rahasia rindu
Andai mengurai rahasia rindu
Aku hanya mengungkapkannya lewat lagu
Andai hanya mengungkapkannya lewat lagu
Sesungguhnya aku telah memeras seluruh jiwaku
2015
Anjung Cahaya
Ketika sunyi menyeberangi selat
Aku sendiri di dermaga biru
Ketika angin mengirimkan isyarat
Aku melihat sampan meninggalkanku
Ketika rembang menebarkan kesumba
Aku menjengkal jarak ruang dan waktu
Ketika senja mematangkan cahaya
Aku tenggelam di palung rindu
2015
Tapulaga
Langkahku berujung di sebuah dermaga yang menjorok
Ke dalam teluk. Tak ada kata-kata yang menggambarkan
Bahwa kehilangan merupakan bentuk lain dari penyerahan
Tiang kayu hanya menunjukkan di mana aku mesti berdiri
Sebuah pulau nampak seperti bangkai perahu di tengah laut
Pondok-pondok terapung di antara keheningan dan kebisuan
Jejak sunyi yang kautinggalkan berupa riak yang memanjang
Dan lenyap di kejauhan. Suaramu tersimpan di balik ombak
Aku berusaha mengingatmu dalam jarak yang masih terjengkal
Selat demi selat tidak pernah mengantarkan kita ke mana-mana
Hatilah destinasi paling akhir dari semua persinggahan di dunia
Kekasihku, tulisan di atas pasir ibarat artefak percintaan kita
Hikayat yang terpahat di udara akan segera dihapus cuaca
Sebagaimana pertemuan langit dan bumi yang selalu tertunda
2016
Bukan Destinasi Akhir
Pelan-pelan langkah fajar mendekati tembok dermaga
Menjelang subuh tiba. Perahu-perahu mulai berlabuh
Ufuk yang kemerahan menggeraikan rambutnya ke udara
Dan udara menyisir rambut itu dengan hembusan angin
Dari ujung teluk menyembul matahari yang berawan
Tirai-tirai cahayanya membayang pada permukaan laut
Seorang penyair telah berlayar dan lenyap di balik ombak
Tapi waktu tak pernah menyebutnya sebagai kehilangan
Kehilangan hanyalah jeda dari sebuah perjalanan panjang
Persinggahan di antara keberangkatan dan kedatangan
Yang terus berulang. Kematian bukan destinasi akhir
Seorang penyair adalah nelayan yang mengarungi malam
Dan bertarung melawan sunyi. Epitaf tak menulis namanya
Tak ada artefak yang mengisahkannya sebagai pemberani
2017
Sancang
Tanpa alas kaki aku berjalan memasuki hutan terlarang
Batu-batu padas menjadi nubuat yang berasal dari sunyi
Sebuah ukiran nampak pada tebing yang ditoreh belati
Ada lelehan darah. Tahun kelahiran kita tertulis di sana
Lalu kita berpisah dan menjadi bagian dari kitab semesta
Bagian dari buku yang tak henti-hentinya mendedahkan
Keajaiban rindu. Aku membacamu hingga lubuk bahasa
Sebelum kau menghilang ditelan keremangan kata-kata
Aku berjalan menanjak dan menurun sepanjang hutan itu
Ingatan ibarat sulur-sulur pohon yang berjatuhan ke bumi
Dan kenangan adalah bunyi serangga menjelang subuh tiba
Di sebuah muara aku melihat waktu mengalir begitu lambat
Menit-menit mengambang di antara cabang-cabang bakau
Yang rapat. Aku tahu kematian menunggu kita di dermaga
2017
Batupacakop
Bibirku hanya mendarat di kening batu karang
Ketika angin mengabarkan seseorang pergi ke selatan
Dan menghilang di balik ombak. Maka kecupanku
Kecupan pertamaku sebatas menyentuh jejak
Jejak sunyi yang kemudian menjadi sangat panjang
Dalam ingatanku. Di sinilah akhirnya aku membuang diri
Menjadi layar bagi perahu, menjadi jaring bagi nelayan
Menjadi petunjuk jalan bagi peziarah yang kebingungan
Bertahun-tahun kurenungi waktu sambil memejamkan mata
Kuhayati kesementaraan dengan menyumbat kedua telinga
Terus berlari mengejar bayangan yang sebenarnya tidak ada
Utara dan selatan adalah satu dalam napas panjang waktu
Hulu dan muara adalah rangkaian niat, ucapan serta perilaku
Berabad-abad menunggu hingga rinduku sematang terumbu
2017
Sagaraanakan
Aku melihat ujung cahaya di balik keremangan
Sebutir bintang jatuh dan tenggelam di muara
Perahu-perahu yang berlayar menghilang
Di seberang nusa. Tumpahan tinta menodai segara
Aku memasuki celah di antara dua karang besar
Menyelinap ke dalam kerumunan sulur-sulur kiara
Rembang telah menjadi titik yang tak terjangkau
Oleh kata-kata. Lalu mataku padam bersama senja
Di manakah jalan setapak yang menuntun masa kecilku
Ke arah sendang? Setiap pengembaraan selalu melahirkan
Berbagai kemungkinan yang sulit untuk digambar ulang
Di manakah tembang asmarandana yang menenungku
Menjadi batu? Goa-goa seperti menyembunyikan masa lalu
Namun semadiku adalah perjalanan lain di luar waktu
2017
Karangtawulan
Sambil mengingatmu aku berjalan menuju perbukitan
Menapaki undakan batu yang menanjak dan berkelok
Seperti tangga usia. Kudengar angin bersahutan di udara
Dan pelahan-lahan rembang menurunkan layar petang
Di atas hamparan samudera nampak titik-titik cahaya
Langit tanpa mega bagaikan lukisan yang belum selesai
Tapi permukaan ombak seakan menunjukkan tekstur lain
Selalu ada ruang bagi sunyi. Bagi siapa pun yang menanti
Sambil mengenangmu aku memaknai setiap perubahan
Sebagai kehilangan. Di antara ketapang, bunut dan randu
Bayang-bayang menegaskan bahwa jarak kita bukan waktu
Mungkin setiap kehilangan menyisakan jejak yang dalam
Semacam luka yang tak kunjung kering, Tapi pulau karang
Adalah kesendirianku yang tegak di tengah ganasnya musim
2018
Acep Zamzam Noor, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Death Approaching and Other Poems (2015) merupakan antologi puisinya dalam terjemahan Inggris dan Jerman, sedangkan Ailleurs des Mots (2016) adalah antologi puisinya dalam terjemahan Perancis.