Kisah Sukses Negara Maju di Olimpiade
Negara-negara yang banyak meraih prestasi di olimpiade memiliki kesamaan latar belakang ekonomi yang mapan.
Negara-negara maju mendominasi pencapaian juara dan perolehan medali di ajang olimpiade. Kemakmuran negara, orientasi keolahragaan, dan jejak prestasi bangsa turut berperan dalam mendorong keberhasilan sebuah negara di olimpiade.
Berbicara tentang sukses prestasi olahraga di ajang olimpiade, tidak bisa dilepaskan dari nama Amerika Serikat. Keberhasilan AS menjadi juara umum Olimpade Rio de Janeiro 2016 menjadi salah satu cerita sukses dari sebuah negeri yang dijuluki “Paman Sam”. AS tampil sebagai juara umum dengan meraih 46 medali emas, 37 perak, dan 38 perunggu. Atlet-atlet AS yang dominan di cabang renang dan atletik, mampu mengungguli Inggris, China dan Rusia.
Sepanjang penyelenggaraan Olimpiade sejak 1896 hingga 2016, AS sudah berhasil merebut 17 kali gelar juara umum. Di tingkat dunia belum ada satu pun negara yang bisa menyamai rekor negara AS tersebut. Satu-satunya negara yang sempat membayangi prestasi AS adalah Uni Soviet. Sebagaimana persaingan kedua negara di era perang dingin, Soviet menjadi kompetitor AS di ajang Olimpade sejak 1958.
Soviet tercatat enam kali memenangkan juara umum. Olimpade Seoul 1988 menjadi ajang terakhir keberhasilan Soviet meraih gelar juara umum. Di Olimpiade Barcelona 1992, setahun setelah pecahnya Soviet dan berganti nama dengan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS), atlet-atlet mantan negara Uni Soviet masih terlalu perkasa bagi AS.
Sayangnya, setelah Soviet bubar belum muncul satu negara yang mampu bersaing dengen AS. Di luar Soviet, hanya ada empat negara yang pernah meraih gelar juara umum Olimpiade. Perancis, Inggris, Jerman, dan China, masing-masing pernah satu kali merebut juara. Bersama AS, negara-negara tersebut merupakan peraih medali terbanyak sepanjang sejarah Olimpiade.
Berdasarkan data yang disusun The Washington Post, ada lima negara terbanyak yang mengumpulkan medali olimpiade sejak 1896. Dua terbanyak adalah AS dan Uni Soviet. Disusul kemudian oleh Inggris, Perancis, dan Jerman. Dominasi AS dan Uni Soviet terlihat pula dari daftar atlet yang meraih medali terbanyak di ajang olimpiade. Perenang AS, Michael Phelps dan atlet senam Uni Soviet Larisa Latynina merupakan dua atlet pengumpul medali terbanyak.
Selain Inggris, Perancis, dan Jerman, pesaing-pesaing baru seperti China, Australia, Jepang, serta Rusia mulai unjuk gigi di olimpiade. Sejak 1996, Rusia mulai meramaikan bursa pengumpul medali terbanyak. Sedangkan China berhasil menjadi juara umum di Olimpiade Beijing 2008. Di dua olimpiade berikutnya yaitu 2012 dan 2016, China selalu berada di tiga besar urutan teratas.
Negara makmur
Mencermati peta negara-negara yang langganan juara dan menjadi pengumpul medali terbanyak di olimpiade, setidaknya ada dua aspek yang dapat ditelusuri lebih jauh untuk melihat pencapaian prestasinya, terutama dari sisi ekonomi.
Aspek pertama adalah faktor kemapanan ekonomi. Negara-negara yang banyak meraih prestasi di olimpiade memiliki kesamaan dari latar belakang negara nilai perekonomian besar. Menggunakan indikator gross domestic product atau produk domestik bruto (PDB) dapat terlihat kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode.
Mapannya negara-negara tersebut terlihat dari data PDB yang disusun Bank Dunia. Salah satu contoh ialah data PDB pada 2015. Menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016, produk domestik bruto paling besar pada tercatat dimiliki AS yaitu 18,23 triliun dollar AS, diikuti China, Jepang, Jerman, Inggris, dan Perancis. Dominasi serupa juga terlihat pada 1995, menjelang digelarnya Olimpiade Atlanta 1996.
Kajian yang dilakukan Andrew Bernard dan Meghan Busse, dua profesor ekonomi dari Yale University dan Dartmouth College, AS, mengungkapkan hubungan antara capaian ekonomi suatu negara dengan prestasi di olimpiade. Melalui riset “Who Wins The Olympic Games: Economic Resources and Medal Totals (2000)” keduanya meneliti pencapaian negara-negara peserta dalam mendapatkan jumlah medali Olimpiade sepanjang 1960-1996.
Dari beberapa faktor yang diteliti seperti jumlah populasi, PDB per kapita, PDB, hingga faktor tuan rumah, nilai PDB menjadi salah satu unsur penting pendorong prestasi. Faktor-faktor lain seperti tuan rumah dan jumlah populasi tidak terlalu berpengaruh dengan capaian prestasi sebuah negara.
Faktor tuan rumah, misalnya, hanya dimenangkan oleh tiga dari 10 kali penyelenggaraan olimpiade pada 1960-1996. Jika ditelusuri sejak awal, total baru sembilan negara tuan rumah yang memenangkan olimpiade sepanjang 28 penyelenggaraannya (1896-2016).
Demikian pula dengan jumlah populasi. China, AS, dan Rusia yang superior di olimpiade juga dikenal sebagai negara padat penduduk. Namun negara-negara lain yang memiliki populasi besar seperti India, Indonesia, Brasil, Pakistan, Bangladesh, serta Meksiko tidak menunjukkan capaian prestasi yang sama.
Tidak serta merta memiliki jumlah penduduk banyak dapat menambah jumlah medali yang dipertandingkan. Aturan pertandingan di olimpiade memberikan batas keikutsertaan jumlah peserta dari tiap negara. Misalnya di cabang bola basket. Masing-masing negara hanya boleh mengirimkan satu tim untuk kategori pertandingan bola basket putera.
Di sini terlihat kuota tim peserta dibuat bukan berdasarkan jumlah populasi dan pendapatan per kapita. Jika tidak dibatasi, bisa jadi negara yang memiliki tradisi prestasi bola basket seperti AS dapat mengirim dua hingga tiga tim, sehingga memperbesar peluang mendapatkan medali lebih banyak baik itu medali emas, perak, hingga perunggu.
Memiliki jumlah penduduk besar tentu merupakan keunggulan tersendiri bagi suatu negara untuk mendapatkan atlet-atlet yang lebih banyak sebelum diseleksi dan dikirim ke olimpiade. Namun, tanpa didukung tingkat kesejahteraan yang mapan, jumlah penduduk tetaplah hanya merupakan sebuah potensi yang terpendam.
Orientasi pembinaan
Selain kemapanan dari aspek ekonomi, aspek kedua yang ikut mendorong prestasi sebuah negara di olimpiade adalah orientasi pembinaan olahraga. Aspek ini menjadi daya dukung kedua setelah memiliki posisi mapan secara ekonomi. Memiliki pondasi ekonomi yang kokoh merupakan modal dasar untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia termasuk pembinaan atlet.
Bekal sebagai negara kaya saja tidaklah cukup untuk bersaing di olimpiade. Karenanya dibutuhkan tekad yang kuat dari pemerintah untuk memberikan dukungan bagi kemajuan olahraga. Tekad ini perlu diwujudkan dalam kebijakan anggaran dan program pengembangan.
Dukungan ini diperlukan untuk mendirikan pusat-pusat pelatihan, mengatur kompetisi yang rutin bagi para atlet, serta mengirim tim untuk berlaga di berbagai kompetisi internasional. Belum lagi jika ditambah dengan menyiapkan program seleksi dan pembinaan bagi atlet-atlet usia dini.
Yang tidak kalah penting adalah memberikan jaminan kelayakan hidup bagi para atlet melalui gaji atau bonus yang dapat digunakan sebagai tumpuan hidup setelah melewati usia emas sebagai atlet. Itu semua perlu dilakukan untuk menjaga tradisi prestasi bagi sebuah negara.
Tradisi prestasi tersebut merupakan unsur yang tidak kalah penting yang digarisbawahi oleh Andrew Bernard dan Meghan Busse. Keduanya melihat potensi suatu negara mempertahankan dan mengembangkan prestasinya di olimpiade dipengaruhi pula oleh rekam jejak di olimpiade sebelumnya.
Rekam jejak itu pulalah yang menjelaskan mengapa Australia belum berhasil meraih juara di Olimpiade Sidney 2000 atau Brasil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Walaupun keduanya berada dalam daftar negara dengan PDB besar, tapi belum memiliki jejak juara di olimpiade.
Di tiga olimpiade terakhir, China selalu berada di tiga besar urutan teratas pengumpul medali terbanyak
Prestasi terbaik Australia adalah mendapatkan 17 medali emas di Olimpiade Athena 2004. Namun capaian emas tersebut menurun di tiga olimpiade sesudahnya. Sedangkan Brasil yang menjadi tuan rumah Olimpiade Rio de Janeiro 2016, belum mampu masuk deretan 10 negara pengumpul medali terbanyak.
Untuk dapat mempertahankan prestasi, dibutuhkan orientasi dan manajemen pembinaan olahraga yang bertujuan menyiapkan regenerasi atlet. Di titik inilah kombinasi kemampuan negara dari sektor ekonomi dan orientasi pembinaan olahraga menjadi konsep penting bagi sebuah negara untuk berprestasi di olimpiade.
Menjelang Olimpiade Tokyo 2021, komposisi negara-negara maju belum banyak berubah. Tiga negara dengan PDB terbesar di dunia adalah AS, Cina, dan Jepang. Sesudahnya ada Jerman, Inggris, dan Perancis. Melihat tren yang selama ini terjadi, persaingan memperebutkan gelar juara umum diprediksi tidak terlepas dari enam negara tersebut.
Dominasi negara-negara maju tersebut di satu sisi menjadi gambaran puncak pencapaian pembangunan ekonomi dan pembinaan olahraga di masing-masing negara. Namun, di sisi lain meninggalkan kesenjangan prestasi olahraga bagi negara-negara miskin di ajang olimpiade.
Baca juga: Membangun Harapan dan Masa Depan Melalui Olahraga
Sebagaimana bantuan pendidikan global dan donasi vaksin Covid-19, peningkatan peluang pelatihan bagi para atlet dari negara-negara miskin seharusnya menjadi perhatian negara-negara maju dan Komite Olimpiade Internasional. Melalui bantuan ke negara-negara yang masih tertinggal secara ekonomi, harapan kesetaraan pembangunan di negara miskin dapat dilakukan melalui jalur olahraga.
Dengan kualitas sumber daya atlet yang semakin banyak dari berbagai negara, gairah kompetisi dan munculnya rekor-rekor baru di ajang olimpiade akan terus dinantikan sebagai bagian dari kemajuan olahraga dunia. (LITBANG KOMPAS)