Konten Negatif Mudah Direkayasa, Media Massa Jadi Pegangan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konten negatif di media sosial bisa didapatkan dengan modal minimal ratusan ribu rupiah. Oleh karena itu, kehadiran media massa berfungsi sebagai pegangan informasi yang benar, terutama selama pemilihan kepala daerah atau pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Modal untuk merekayasa konten negatif di media sosial minimal Rp 600.000. Penggagas Social Media Fest dan pegiat media sosial, Shafiq Pontoh, mengatakan, biaya untuk membeli pengikut (follower) pada akun berkisar Rp 100.000 untuk 10.000 pengikut. Biaya membeli jasa topik terkenal (trending topic) kira-kira Rp 500.000-Rp 1 juta.
Kedua komponen tersebut merupakan komponen dasar dalam menciptakan dan menyebarluaskan konten negatif. ”Karena itu, di sinilah tanggung jawab dan peran media massa menjadi sumber informasi yang benar dan terverifikasi,” kata Shafiq dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (3/3).
Strategi penyebarluasan konten negatif lainnya dapat melalui grup pada aplikasi pengiriman pesan, seperti layanan pesan Whatsapp dan Line. Caranya, membentuk sebanyak-banyaknya grup dengan lingkaran alumnus sekolah, keluarga, atau tetangga. Dalam grup itu, terdapat minimal 3-5 orang yang akan menggiring opini agar anggota grup dapat percaya pada konten negatif yang mereka sebarkan.
Data survei yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada pertengahan Februari 2018 menyatakan, dari sekitar 262 juta penduduk Indonesia, tingkat penetrasi internetnya pada 2017 sebesar 54,68 persen.
Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berkisar 51,8 persen. Lebih dari 80 persen menggunakan internet untuk berkirim pesan atau chatting dan bermedia sosial.
Menurut Wahyu Setiawan, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), media sosial telah menjadi instrumen politik, khususnya dalam masa kampanye, sejak Pilkada DKI Jakarta 2012.
Pada saat itu, media sosial yang sebagian besar berfungsi untuk reuni dan membagikan foto pemandangan, fesyen, atau saat makan bersama digunakan juga untuk menyampaikan gagasan politik.
”Ini bukan soal benar atau salah, tetapi menang atau kalah,” ujarnya dalam kesempatan yang sama, Sabtu.
Oleh sebab itu, KPU juga menjadikan media sosial sebagai salah satu instrumen untuk mendapatkan dan membagikan informasi yang memadai bagi pemilih.
KPU memperbolehkan calon kepala daerah berkampanye di lima akun media sosial.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas yang melibatkan 774 responden, 84,5 persen dari mereka menilai kampanye melalui media massa efektif. Sejumlah 68,9 persen responden merasa kampanye melalui media sosial juga efektif.
Survei ini dilakukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Aceh, Medan, Palembang, Pontianak, Samarinda, Manado, Makassar, Ambon, Jayapura, dan Denpasar dengan usia minimal 17 tahun (Kompas, 19/2).
Dalam survei yang sama, kekhawatiran responden terhadap mobilisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) selama pilkada. Lebih dari 60 persen responden khawatir hal tersebut akan menyulut kebencian di antara kelompok pendukung calon dan memicu konflik terbuka.
Untuk menghindari konten-konten negatif yang disebarluaskan, KPU bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membentuk gugus tugas media sosial.
Gugus tugas ini merekomendasikan akun-akun media sosial yang terindikasi menyebarkan konten negatif untuk ditangani Bawaslu dan Kementerian Kominfo.
Pada pilkada di Kuningan, polres setempat menemukan tiga akun yang mengandung ujaran kebencian terkait isu SARA, politik dinasti, dan persoalan pribadi calon kepala daerah. Konten-konten itu bertujuan untuk menjatuhkan calon (Kompas, 6/2).
Akibat menyebarkan konten negatif di media sosial, enam orang yang tergabung dalam jaringan The Family Team (MCA) ditangkap Polres Majalengka, Jawa Barat, Selasa (27/1).
Konten dalam media sosial perlu dipantau agar tidak menimbulkan perpecahan. Dosen Ilmu Komunikasi Paramadina Graduate School, Putut Widjanarko, menyatakan, pengendalian diri seseorang dalam media sosial cenderung berkurang. Akibatnya, pengguna media sosial cenderung impulsif dalam menyebarkan informasi dan kukuh mempertahankan pendapatnya.
Waspadai ”platform”
Menurut Shafiq, masing-masing platform atau jasa media sosial memiliki pengguna pada segmen masing-masing.
Contohnya, anak-anak muda berusia 18-35 tahun lebih cenderung menggunakan Line, Instagram, dan Blackberry Messenger.
Anak muda di perkotaan lebih banyak yang menggunakan Line dan Instagram. Anak muda di perdesaan cenderung menggunakan Blackberry Messenger.
Sementara orang-orang yang berusia di atas 35 tahun lebih banyak yang menggunakan Facebook dan grup Whatsapp. Shafiq mengatakan, wadah-wadah media sosial ini rentan penyebaran konten negatif selama tahun politik.
Dalam pemberitaan sebelumnya (Kompas, 1/2), sepanjang 2017, ada 528.396 konten negatif yang ditindaklanjuti penyedia jasa media sosial, seperti Twitter, Facebook, Youtube, Instagram, dan Line.
Jumlahnya meningkat dari 2016 yang menangani 5.732 konten negatif. Penanganan terbanyak terdapat di Twitter, yakni 524.741 konten negatif.
Di posisi kedua ada Instagram dan Facebook yang total berjumlah 2.232 konten negatif. (DD09)