Baru 3 Hari, Lebih dari 150.000 Warganet Dukung Petisi Penolakan UU MD3
Oleh
Ryan Rinaldy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada Senin (12/2), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 telah disetujui Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi undang-undang. Keputusan itu dengan cepat mengundang respons netizen atau warganet. Mereka menolak UU MD3 hasil revisi.
Sejak Rabu (14/2), muncul petisi daring (online) di change.org bertajuk ”Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Memidanakan Kritik!”. Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan klik dukungan dari warganet. Hingga Jumat (16/2) pukul 15.00 saja, petisi tersebut telah mendapat dukungan dari 152.030 warganet.
Direktur Komunikasi change.org Desmarita Murni, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat, mengatakan, capaian tersebut terbilang besar dan pertumbuhan aliran dukungannya cepat untuk ukuran petisi daring. Dalam waktu kurang dari 24 jam setelah petisi itu muncul, jumlah dukungan tembus angka 100.000.
”Kami melihat ini sebagai representasi kekecewaan masyarakat terhadap keputusan DPR terkait UU MD3,” ujar Desmarita.
Petisi daring belum digunakan secara efektif sebagai alat advokasi kebijakan.
Perolehan dukungan tersebut dinilai menyerupai sebuah petisi daring di change.org pada 2014. Pada saat itu, muncul petisi yang menolak RUU Pemilihan Kepala (Pilkada). RUU tersebut dinilai merampas hak rakyat memilih langsung gubernur dan wali kota/bupati.
Sebanyak 118.992 dukungan diperoleh petisi tersebut. Hasilnya, semua fraksi di Komisi II DPR pada 19 Januari 2015 sepakat menyetujui pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang (Kompas, 20/1/2015).
Timbulkan masalah demokrasi
Petisi terkait penolakan UU MD3 hasil revisi diinisiasi Koalisi Masyarakat Sipil, yang merupakan kumpulan berbagai lembaga nirlaba di Indonesia. Di antaranya Imparsial, Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin menyatakan, banyaknya aliran dukungan dalam petisi penolakan UU MD3 hasil revisi menandakan bahwa masyarakat sadar bahwa keputusan yang diambil DPR terkait UU itu berpotensi menimbulkan permasalahan besar di kehidupan demokrasi Tanah Air di masa mendatang.
”Besarnya angka dukungan di petisi itu diharapkan bisa menyadarkan politisi dan partai politik (yang mendukung pengesahan UU MD3) bahwa elektabilitas mereka terancam,” ucap Usep.
Dalam deskripsi petisi terkait penolakan UU MD3 hasil revisi, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa UU yang menambah kekuasaan wakil-wakil di DPR kembali direvisi dalam waktu yang terbilang cepat dan mendadak.
Penolakan UU MD3 hasil revisi ditekankan terhadap tiga pasal, yakni Pasal 245 yang mengatur adanya pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) jika penegak hukum ingin memeriksa atau minta keterangan anggota DPR terkait tindak pidana.
Selain itu, Pasal 122, yang menyatakan MKD berwenang mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, juga memicu perdebatan publik. Juga terhadap Pasal 73 di mana DPR dapat melakukan pemanggilan paksa dengan ancaman sandera.
Petisi tersebut pun langsung dibanjiri komentar dari warganet yang mendukung. Mereka membeberkan alasan ”menandatangani” petisi itu. Vera Herlina Sihono, salah satu yang mendukung petisi tersebut, berkomentar, ”(UU MD3 hasil revisi) Membatasi hak suara rakyat. Suka mengkritik tetapi tidak ingin dikritik. Miris.”
Adapun Dwi Saputra, yang juga mendukung petisi itu, menyatakan bahwa kekuasaan DPR menjadi terlalu absolut dengan keberadaan UU MD3 hasil revisi. ”Ketika wakil rakyat antikritik serta dapat membungkam kebebasan berpendapat rakyat, ini berbahaya bagi kehidupan bernegara,” tulisnya dalam kolom komentar petisi.
Usep menambahkan, petisi tersebut juga dijadikan media untuk menyosialisasikan polemik UU MD3 kepada masyarakat. Tak hanya memberi dukungan, masyarakat didorong mengambil tindakan dengan menagih ketegasan pemerintah dan Mahkamah Konstitusi terkait UU MD3 hasil revisi.
Akan tetapi, menurut hasil penelitian tim Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CFDS UGM), petisi daring belum digunakan secara efektif sebagai alat advokasi kebijakan. Dari petisi daring di change.org dalam kurun Februari 2016 hingga Februari 2017, dari total 1.521 petisi, hanya empat petisi yang berhasil memberi dampak perubahan (Kompas, 24/3/2017) .
”Kesamaan dari keempat petisi tersebut adalah sama-sama terdapat upaya advokasi langsung di dunia nyata terhadap pihak sasaran petisi. Hal ini menunjukkan, demokrasi digital di Indonesia tidak bisa bergerak sendiri dalam upaya advokasi,” ujar peneliti CFDS UGM, Chiara Anindya.
Pakaian serba hitam
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna DPR pada Rabu (14/2), Ketua DPR Bambang Soesatyo memakai pakaian serba hitam. Dia menyatakan, pemakaian baju hitam-hitam bukan tanpa makna (Kompas, 15/2).
”Saya berkabung karena, ketika kita membuka diri, transparan kepada publik, kita dituding membunuh demokrasi dan antikritik. Untuk itu, pidato penutupan (masa persidangan DPR) kali ini saya beri judul kami butuh kritik,” katanya.
Persetujuan pengesahan revisi UU MD3 menjadi UU diperoleh dalam Rapat Paripurna DPR Senin lalu. Pada saat itu, Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memutuskan keluar dari ruang rapat karena usulan mereka agar pengesahan revisi ditunda ditolak (Kompas, 13/2).
Sementara itu, delapan fraksi lain di DPR, yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Hanura, memutuskan agar revisi UU itu segera disahkan menjadi UU.