Yakin Pak Ketua Mau Transparan?
Ketua DPR Bambang Soesatyo yang baru dilantik 15 Januari lalu memiliki mimpi untuk menjadikan DPR sebagai parlemen yang modern. Salah satu indikatornya adalah transparansi. Satu hal yang sering kali mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan.
Senin (12/2), Bambang bersama pihak Sekretariat Jenderal DPR meluncurkan sejumlah situs dan aplikasi DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta. Dari situs dan aplikasi tersebut, politisi Partai Golkar ini bermimpi semua hal di DPR bisa diakses oleh masyarakat di mana pun mereka berada.
”Jadi, segala hal yang menjadi perdebatan di DPR bisa langsung terdengar oleh publik,” katanya.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi, Bambang terkesan serius untuk mewujudkan mimpinya. Hanya saja keseriusan ini masih perlu dibuktikan. Pasalnya, selama ini janji transparansi sudah sering digaungkan di DPR tetapi tak terbukti.
Segala hal yang menjadi perdebatan di DPR bisa langsung terdengar oleh publik.
Lihat saja selama pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Hingga disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, Senin (12/2), rapat-rapat pembahasan selalu tertutup. Ini tak hanya saat masih dibahas di internal Panitia Kerja (Panja) DPR yang dibentuk Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk merevisi UU MD3 tetapi juga saat panja membahasnya dengan pemerintah.
Untuk memperoleh materi draf revisi juga bukan perkara mudah. Kebanyakan anggota panja enggan memberikannya dengan dalih pembahasan revisi belum tuntas. Kemudian untuk sekadar bertanya poin-poin yang direvisi, kebanyakan hanya mengatakan revisi itu untuk menambah pimpinan DPR, DPD, dan MPR. Kalaupun ada jawaban lain, jawabannya revisi untuk memperkuat DPR.
Padahal, transparansi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di Pasal 5 disebutkan, dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan salah satunya pada asas keterbukaan.
Yang dimaksud dengan keterbukaan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan.
Lagi pula materi pasal-pasal di UU MD3 tidak ada yang menyangkut rahasia negara. Tidak ada pula, misalnya, pasal yang pembahasannya berpotensi memicu konflik di masyarakat. UU MD3 itu sebatas mengatur kewenangan dan tugas MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan juga rumah tangga keempat lembaga tersebut.
Oleh karena itu, sulit menemukan alasan logis pembahasannya selalu dibuat tertutup. Tertutupnya pembahasan justru menuai kecurigaan akan ada pasal-pasal lain yang diselundupkan yang tujuannya hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Kecurigaan ini terbukti saat rapat pengambilan keputusan tingkat I antara Baleg DPR dan pemerintah, Kamis (8/2). Saat itu, untuk pertama kali, materi revisi diungkap seluruhnya.
Pasal yang direvisi ternyata tidak sebatas menambah pimpinan. Melalui revisi, Baleg DPR dan pemerintah terkesan ingin melindungi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana (Kompas 8/2). Melalui revisi, mereka juga terkesan ingin melindungi DPR dari kritik publik (Kompas, 9/2).
Pasal penambahan pimpinan MPR pun dibuat dengan melabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, tiga pimpinan tambahan ditetapkan langsung diberikan kepada tiga fraksi, yaitu PDI-P, Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa, sedangkan putusan MK menegaskan pimpinan MPR harusnya dipilih oleh seluruh anggota MPR, bukan ditetapkan begitu saja.
Terkejut
Minimnya transparansi dalam proses pembahasan RUU MD3 tidak hanya dirasakan oleh publik, tetapi juga anggota DPR sendiri.
Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem Johnny G Plate, misalnya, mengaku terkejut saat mengetahui isi draf RUU MD3 yang terakhir.
Jangankan publik, kami saja pimpinan fraksi ada yang tidak tahu. Saya baru tahu pada saat-saat terakhir.
Pasalnya, dalam forum lobi antarpimpinan fraksi selama ini, pasal yang dibahas hanya soal penambahan kursi pimpinan DPR/MPR/DPD. Pasal-pasal lain yang beberapa hari terakhir memicu kontroversi, menurut Johnny, tidak diungkit.
”Jangankan publik, kami saja pimpinan fraksi ada yang tidak tahu. Saya baru tahu pada saat-saat terakhir,” kata Johnny.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menampik anggapan bahwa pembahasan RUU MD3 berlangsung tertutup dan tidak transparan. Pasal-pasal itu sebenarnya sudah lama dibahas di Baleg. Menurut Supratman, pasal-pasal itu sudah muncul dan dibahas sejak 2016.
”Tidak ada pasal yang ujug-ujug baru muncul. Kami juga tidak sembunyi-sembunyi. Dari dulu kalau teman-teman tanya, saya selalu bilang ada usulan tambahan. Tapi tidak ada yang pernah tanya detail usulan tambahannya,” ujarnya.
Terkait pasal-pasal ”superbodi” dalam revisi UU MD3, Baleg dan MKD pun saling tuding mengenai pihak pengusul pertama. Supratman mengatakan, Pasal 122 mengenai kewenangan MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan martabat DPR merupakan usulan MKD. ”Resmi usulan MKD sebagai lembaga, jadi usulannya dari berbagai fraksi,” katanya.
Begitu pula Pasal 245 yang mengharuskan adanya pertimbangan MKD selain izin Presiden untuk pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana oleh aparat penegak hukum.
Namun Ketua MKD dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membantahnya. Dia justru menuding itu usulan Baleg. ”Bukan dari kita, buat apa MKD menambah-nambah kerjaan,” katanya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, yang ikut pembahasan revisi UU MD3 juga menyampaikan bahwa Pasal 245 usulan dari pimpinan Baleg DPR. Bahkan semula, usulannya bukan atas pertimbangan MKD, melainkan harus izin dari MKD. Usulan itu kemudian ditolak karena bertentangan dengan putusan MK.
”Setelah ditolak, pimpinan Baleg bilang, karena tidak signifikan lagi, lalu tidak mengikat lagi, maka dalam pasal ditulis, dengan pertimbangan MKD saja,” ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR Reni Marlinawati mengatakan, saat rapat Baleg sebelum keputusan diambil, terjadi perdebatan alot saat membahas kedua pasal itu.
”Hanya saja suasana rapat seperti tergesa-gesa ingin revisi cepat selesai. Jadi sejujurnya ruang waktu untuk membahas materi-materi revisi itu tidak cukup,” katanya.
Tidak hanya revisi UU MD3, saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Badan Anggaran DPR juga kerap menutup ruang publik untuk mengikuti pembahasan. Padahal, APBN notabene uang rakyat sehingga seharusnya rakyat berhak mengetahui akan digunakan untuk apa uang mereka.
Terkait ini, Ketua KPK Agus Rahardjo menyinggungnya pula saat peluncuran situs dan aplikasi DPR, Senin. ”Mumpung ketua DPR-nya baru, mudah-mudahan ini bisa terwujud. Salah satu yang sangat diharapkan rakyat sebetulnya transparansi saat menyusun anggaran. Kalau Bapak bisa membudayakan hal itu, akan sangat baik,” katanya.
Akhirnya, kerja untuk mendorong transparansi di DPR masih panjang. Sebagai wakil rakyat yang bekerja untuk rakyat, transparansi harusnya sebuah keniscayaan karena rakyat berhak tahu apa yang wakil mereka lakukan sekaligus memberikan masukan. Jadi, yakin Pak Ketua mau transparan?