Soal Revisi UU MD3, Pemerintah: Kami Merespons Dinamika Politik
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski diwarnai aksi walk out dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Nasdem, revisi Undang-Undang Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) tetap disahkan oleh DPR hari ini, Senin (12/2). Penambahan satu kursi pimpinan DPR dan tiga kursi pimpinan MPR menjadi perhatian utama dalam undang-undang tersebut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang menjadi wakil pemerintah menolak pandangan bahwa penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR membebani anggaran belanja negara. Hal itu karena pada masa jabatan 2019-2024, komposisi pimpinan DPR dan MPR akan kembali sebelum adanya penambahan saat ini, yaitu lima kursi pimpinan DPR dan lima kursi pimpinan MPR. Pimpinan MPR dan DPR nantinya akan ditentukan secara proporsional sesuai dengan hasil Pemilu 2019.
”Ini hanya sampai 2019. Hanya merespons dinamika publik tentang perlunya keadilan representasi pimpinan. Dahulu (2014) pembahasan UU MD3 boleh dikatakan tidak akomodatif. Di mana pun di dunia ini, pemenang pemilu minimal pasti masuk unsur pimpinan DPR. Karena itulah, kami koreksi UU ini,” ujar Yasonna.
Yasonna juga tidak melihat jangka waktu 1,5 tahun bagi pimpinan DPR dan MPR yang baru bertugas sebagai kepentingan politik jangka pendek. ”Kami merespons dinamika politik,” kata Yasonna.
Pengesahan revisi UU MD3 dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon. Laporan hasil kerja DPR terkait revisi UU MD3 pun dibacakan oleh kader Partai Gerindra yang menjabat sebagai Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas.
Sebelum disahkan terdapat dua fraksi yang meminta pengesahan revisi UU MD3 ditunda. Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Johny G Plate menyampaikan, masih banyak pasal-pasal lain dalam UU MD3 yang perlu diperhatiakan, selain tentang penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR. Oleh karena itu, pengesahan UU MD3 perlu untuk ditunda.
“Kami Fraksi Partai Nasdem memilih untuk walk out dari pengesahan revisi UU MD3,” ujar Johny saat rapat paripurna di Kompleks DPR RI, Jakarta.
Sementara itu, Reni Marlinawati, Ketua Fraksi PPP, menyampaikan penundaan pengesahan UU MD3 perlu dilakukan untuk menjamin hak konstitusional anggota MPR. PPP menghendaki penambahan pimpinan MPR dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung anggota MPR karena terdapat anggota DPD dalam susunan anggota MPR.
Pengesahan revisi UU MD3 menghendaki pimpinan DPR dan MPR pada masa jabatan 2014-2019 mengalami penambahan. Kursi pimpinan DPR bertambah satu untuk Fraksi PDI-P, sementara penambahan kursi pimpinan MPR diperuntukan bagi Fraksi Partai PDI-P, Gerindra, dan PKB. Hal itu sesuai urutan perolehan suara pada Pemilu 2014.
Dengan demikian, komposisi pimpinan DPR terdiri dari Fraksi PDI-P, Gerindra, PAN, Demokrat, PKS, dan Golkar sebagai ketua. Sementara itu, susunan pimpinan MPR terdiri dari Fraksi PDI-P, Golkar, Demokrat, PKS, Gerindra, PKB, unsur DPD, dan PAN sebagai ketua.
Praktis hanya PPP dan Nasdem partai yang tidak memiliki perwakilan di kursi pimpinan baik di DPR maupun MPR. Total jumlah kursi kedua partai itu di DPR, yaitu 74 kursi dari total 560 kursi anggota DPR. Partai Hanura secara tidak langsung telah terwakili oleh ketua umumnya, Oesman Sapta Odang yang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD.
Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari Fraksi PDI-P, menilai, aksi walk out yang dilakukan dua fraksi pada rapat paripurna disebabkan revisi UU MD3 tidak memberikan keuntungan secara politik bagi dua partai tersebut. Alasan kedua partai tersebut untuk menunda pengesahan revisi UU MD3 dinilainya lemah.
”Misalnya, Partai Nasdem yang menginginkan UU MD3 mengatur hal yang fundamental yang sifatnya struktural, hidupnya kembali BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara) menurut saya itu luar biasa positif, sudah menjawab keinginan partai Nasdem,” ujar Eva.
Nama-nama
Beberapa nama muncul sebagai calon pimpinan MPR dan DPR. Untuk pimpinan MPR, Wakil Sekretaris Jenderal PKB Lukman Edy sebelumnya menyebut partainya menghendaki Muhaimin Iskandar sebagai sosok yang dipercaya menjadi Wakil Ketua MPR.
Muhaimin yang merupakan Ketua Umum PKB dinilai sosok yang tepat untuk mewarnai MPR, apalagi saat ini Muhaimin mulai mempromosikan diri sebagai calon wakil presiden saat Pilpres 2019.
Adapun nama Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani disebut sebut bakal menjadi perwakilan Partai Gerindra di kursi pimpinan MPR. Bahkan, sebelumnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menganggap Muzani telah memenuhi persyaratan dari segi kapabilitas.
Sementara itu, Eva Kusuma Sundari mengatakan, siapa nama kader PDI-P yang akan mengisi kursi pimpinan DPR dan MPR bergantung dari keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
”Kalau mengikuti logika, paling tinggi hierarkinya ya ketua fraksi di sini, kan, yaitu Mas Utut Adianto. Apalagi mas Utut itu juga pengurus Dewan Pimpinan Pusat (Wasekjen Bidang Internal). Itu di atas kertas itu. Akan tetapi, ibu (Megawati) mungkin nanti punya pertimbangan lain. Intinya semua kembali ke ibu,” ujar Eva.
Selain nama Utut, menurut Eva, nama lain yang berpeluang menjadi Wakil Ketua DPR adalah yaitu Bambang Wuryanto. Bambang saat ini menjabat Sekretaris Fraksi PDI-P di DPR. Dalam struktur kepengurusan partai, Bambang tercatat sebagai Ketua DPD PDI-P Provinsi Jawa Tengah. (DD14)