Usulan Pati Polri Jadi Penjabat Gubernur Harus Sesuai Aturan
JAKARTA, KOMPAS - Usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk dua perwira tinggi kepolisian untuk menjadi penjabat gubernur pada masa pemilihan kepala daerah serentak Juni mendatang harus sesuai dengan aturan yang ada. Netralitas para penjabat gubernur nantinya harus dapat dipastikan guna memastikan kualitas demokrasi.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Letjen (Purn.) Lodewijk F Paulus mengatakan, penunjukan penjabat gubernur di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada harus sesuai dengan regulasi yang ada.
“Kalau dalam UU itu dibolehkan, ya silakan. Akan tetapi, jika UU menyatakan tidak, maka kami tentu menyarankan ke Mendagri untuk mempertimbangkan lagi wacana itu,” tutur Lodewijk yang ditemui di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (29/1).
Kalau dalam UU itu dibolehkan, ya silakan. Akan tetapi, jika UU menyatakan tidak, maka kami tentu menyarankan ke Mendagri untuk mempertimbangkan lagi wacana itu
Sebelumnya, Tjahjo mengusulkan Asisten Operasional Kapolri Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan menjadi pelaksana tugas gubernur Jawa Barat dan Kepala Divisi Provesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Martuani Sormin sebagai penjabat Gubernur Sumatera Utara. Keduanya ditunjuk karena masa jabatan gubernur di dua daerah tersebut akan berakhir beberapa hari sebelum pilkada serentak dimulai, yaitu 27 Juni 2018.
Pengusulan tersebut menurut Tjahjo dilakukan karena Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Mendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah yang menyebutkan, penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.
Penunjukan pejabat Polri juga didasari oleh jumlah pejabat eselon 1 di Kemendagri yang jumlahnya terbatas. Selain itu, potensi gejolak keamanan saat pilkada juga menjadi alasan lain penunjukan pati polri di dua daerah tersebut.
Akan tetapi, UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya menghendaki anggota Polri menduduki jabatan di luar institusinya setelah mengundurkan diri sebagai anggota Polri.
Tjahjo masih meyakini langkah yang diambilnya sudah memiliki landasan hukum yang kuat. Selain itu, penunjukan itu juga didasarkan pemetaan kerawanan pilkada yang dilakukan oleh Polri.
Namun demikian, menurut Tjahjo, hingga kini Polri masih menyerahkan dua nama tersebut (Irwan dan Sormin) secara lisan, belum secara tertulis. Keputusan penunjukan tersebut juga nantinya masih harus disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
“Jika dianggap gaduh, menimbulkan hal yang pro dan kontra, saya hargai semua pendapat. Saya sudah melakukan hal yang sama sebelumnya. Saya siap salah kalau memang dianggap salah, kalau dianggap bikin gaduh ya siap menerima sanksi dari Pak Presiden, Siap ditegur,’ tutur Tjahjo.
Ketua DPP Bidang Hukum Partai Gerindra Habiburokhman menilai, usulan Mendagri terkait penunjukan pati polri menjadi penjabat gubernur tidak tepat. Menurutnya, istilah pejabat tinggi madya (PTM) yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2018 tentang pilkada hanya dimiliki oleh PNS.
“Nomenklatur PTM itu hanya ada di PNS gak bisa disetarakan dengan di instansi lain, misalnya bintang tiga di kepolisian, karena tidak ada istilah sederajat dalam UU tersebut,” kata Habib.
Netralitas
Usulan Mendagri terkait pengisian jabatan penjabat gubernur menjadi perhatian publik, karena berkaitan dengan isu netralitas Polri. Seperti yang diketahui, di Pilkada Jawa Barat terdapat mantan perwira tinggi Polri yang mendaftar sebagai peserta pilkada, yaitu Irjen Anton Charliyan yang menjadi calon wakil gubernur dari TB Hassanudin, cagub yang juga mantan perwira tinggi TNI. TB-Anton diusung oleh PDI-P. Sementara itu, di pilkada Jabar Partai Gerindra juga mengusung cagub yang berasal dari institusi militer, yaitu Mayor Jenderal (Purn.) Sudrajat.
Untuk Pilkada Sumut, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) Letnan Jenderal (Purn) Eddy Rahmayadi merupakan satu-satunya calon peserta pilkada dari kalangan aparat negara. Eddy menjadi cagub yang diusung oleh Partai Gerindra, Golkar, Hanura, PKS, PAN, dan Nasdem.
Habiburokhman menilai, usulan Mendagri akan menimbulkan prasangka masyarakat bahwa Polri tidak netral secara politik. “Kalau begini kan jadi “peluru” untuk orang menduga-duga motif di balik penunjukan ini. Kalau pun secara hukum misalnya ada pembenaran, tetapi pendapat publik bisa berbeda,” kata Habib.
Ihwal isu netralitas Polri terkait penunjukan patinya sebagai penjabat gubernur, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyerahkannya ke publik. “Saya kira rakyat akan menilai,” ujar Prabowo.
Adapun Sekjen Partai Golkar Lodewijk F Paulus menilai, saat ini Polri telah dewasa. Oleh karena itu, ia yakin Polri akan tetap bertindak netral dalam pilkada.
Polisi kan sudah dewasa. Sudah semakin matang, sehingga sudah bisa menjaga netralitas, agar ke depan kehidupan demokrasi kita semakin baik. Kita terus meminta teman-teman Polri menjaga netralitas
“Polisi kan sudah dewasa. Sudah semakin matang, sehingga sudah bisa menjaga netralitas, agar ke depan kehidupan demokrasi kita semakin baik. Kita terus meminta teman-teman Polri menjaga netralitas,” tutur Lodewijk.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan partainya tidak pernah melakukan intervensi secara personal terhadap orang per orang, termasuk kepada Mendagri yang tercatat sebagai kader PDI-P.
“Berkaitan dengan nama-nama pejabat Polri untuk penjabat gubernur, kami serahkan sepenuhnya ke pemerintah. Kami serahkan sepenuhnya ke pemerintah dan kami yakin itu dilakukan sesuai ketentuan UU. Kami juga meyakini pemerintahan Pak Jokowi merupakan pemerintahan yang mendengarkan berbagai aspirasi dari masyarakat,” tutur Hasto.
Djarot Saiful Hidayat, salah satu calon peserta pilkada di Sumut tidak mempermasalahkan siapa pun penjabat gubernur nantinya. Menurutnya, hal terpenting, yaitu penjabat gubernur di Sumut harus dapat menjaga netralitas dan kondusifitas pilkada.
“Lagi pula waktu penjabat nanti tidak lama, hanya sekitar dua minggu,” kata Djarot.
Sementara itu, Pengajar Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing justru berpendapat, penjabat gubernur dari institusi Polri justru lebih dapat menjamin netralitas pilkada.
Lagi pula waktu penjabat nanti tidak lama, hanya sekitar dua minggu
“Relasi sosial antara pelaksana tugas gubernur dari pejabat kementerian atau pejabat daerah dengan gubernur terpilih dipastikan lebih dekat dibandingkan relasi PLT dari intansi Polri atau TNI,” tutur Emrus.
“Langkah Mendagri sudah tepat, mereka yang menolaknya tidak lepas dari agenda politik dan bisa saja berada pada posisi mendukung paslon cagub-cawagub tertentu yang boleh jadi merasa tidak diuntungkan jika ditunjuk plt dari Pati Polri,” lanjut Emrus.
Kapasitas
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar TB Ace Hasan Syadzily menilai, selain isu netralitas, isu kapasitas penjabat gubernur dari Polri juga perlu diperhatikan. Menurutnya, Polri tidak dilatih menjalankan fungsi pemerintahan, melainkan dilatih menjalankan fungsi menjaga keamanan.
“Walaupun cuma sebentar, bagaimana melayani publik dan menjaga keamanan itu kan berbeda prespektifnya,” kata Ace.
Menurut Ace, penunjukan dua pati dari institusi militer dan kepolisian sebagai penjabat gubernur pada proses pilkada sebelumnya berbeda konteksnya dengan saat ini. Mayjen (Purn) Soedarmo pernah menjabat sebagai plt Gubernur Aceh saat pilkada 2017.
Soedarmo saat itu menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri. Sementara itu, Irjen Carlos B Tewu yang ditunjuk sebagai Gubernur Sulawesi Barat pada akhir 2016 saat itu menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
“Kalau mereka (Soedarmo dan Tewu) kan sebelumnya sudah berpengalaman di bidang birokrasi,” kata Ace. (DD14/SAN)