Irawan Soejono, Laskar Suropati yang Gugur Melawan Nazi di Belanda
Semangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga diperjuangkan di sejumlah negara, termasuk di Belanda, yang diduduki Nazi Jerman yang fasis dan rasis. Pada masa pendudukan fasis Nazi di Belanda, periode Mei 1940-September 1944, para pemuda Indonesia yang memperjuangkan gagasan Indonesia merdeka ikut menentang fasisme Nazi yang antidemokrasi dan antikesetaraan ras.
Penulis Daradjadi Gandasuputra, seusai perjalanan panjang di Belanda pada akhir tahun 2017, berbagi cerita tentang salah satu sosok pemuda Indonesia yang melawan Nazi hingga namanya diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota di Belanda. Pemuda tersebut adalah RM Irawan Soejono, anggota Perhimpunan Indonesia yang aktif dalam Pasukan Untung Suropati pada tahun 1940-1944.
”Kebetulan, saya bertemu dosen Universitas Leiden bernama Henk Kallenberg di makam Irawan Soejono di Belanda. Setelah mengetahui saya masih kerabat jauh Irawan, dia mengundang saya dan memberikan buku biografi singkat Irawan Soejono yang ketika masa pendudukan Nazi adalah mahasiswa Universitas Leiden,” kata Daradjadi, yang aktif menulis sejumlah buku sejarah tentang pembentukan kebangsaan Indonesia.
Irawan dalam catatan Lodewijk Kallenberg pada buku Henk van Bevrijding Verzetheld van Indonesische Ankomst - Irawan Soejono 1920-1945 (Henk Sang Pembebas, Pejuang Perlawanan Asal Indonesia, Irawan Soejono 1920-1945) mengisahkan dirinya kelahiran 20 Januari 1920.
Dalam diri Irawan mengalir darah Mangkunegara IV. Ayah Irawan adalah Raden Adipati Ario Soejono, mantan bupati di Pasuruan, Jawa Timur. RAA Soejono pernah menjadi anggota Volksraad atau Dewan Perwakilan Rakyat era kolonial Hindia Belanda. Kemudian, RAA Soejono menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi menteri pada Kabinet Belanda di pengasingan di London, Inggris, semasa Nazi menduduki Belanda.
Menurut Kallenberg, setelah menamatkan sekolah di Bataviaasch Lyceum di Jakarta, Irawan pada Desember 1934 bertolak ke negeri Belanda. Dia menuntaskan sekolah di Den Haag. Sambil belajar, Irawan bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI) yang sebelumnya bernama Indonesische Vereniging, tempat Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara berkiprah pada tahun 1913.
Dari Eropa pula, tahun 1925, PI mengusulkan gagasan persatuan Indonesia lintas suku, agama, dan kelompok. Ketika itu, Ketua PI Sukiman Wiryosanjoyo mendeklarasikan suatu tekad perjuangan yang menyatakan, ”bahwa hanya melalui persatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan golongan, Indonesia dapat mengalahkan kekuasaan penjajah”.
Selanjutnya, PI mengingatkan bahwa ”unsur yang paling berpengaruh dan bersifat inti dalam masalah politik kolonial ialah pertentangan kepentingan antara yang terjajah dan yang penjajah”.
Butir kedua manifesto PI tahun 1925 itu menjadi dasar pertimbangan Irawan Soejono dan teman-teman seperjuangannya untuk melawan fasisme di Belanda yang diduduki Nazi. Menurut Daradjadi, Irawan dan kawan-kawan memilih tidak aji mumpung dan berkolaborasi dengan Nazi Jerman yang berideologi fasis dan rasis.
Sikap serupa ketika itu dipegang oleh Mahatma Gandhi. Dalam Ensiklopedia Perang Dunia II terbitan Time and Life, disebutkan bahwa Mahatma Gandhi yang memperjuangkan kemerdekaan India menilai kaum fasis di Jerman, Italia, dan Jepang lebih berbahaya jika dibiarkan menguasai dunia.
Pertimbangan serupa yang mendorong kesepakatan di antara para anggota PI, bahwa mereka akan membantu Belanda dalam menghadapi Nazi Jerman. Mereka pun bersemboyan, ”Eerst Nederland bevrijden dan Indonesia” (Bebaskan Belanda terlebih dahulu kemudian Indonesia merdeka).
Pasukan Untung Suropati
PI pun membentuk suatu pasukan pembebasan. Beberapa tugas utamanya, antara lain, melakukan perlawanan fisik terhadap tentara Nazi, melindungi orang Belanda ataupun orang Yahudi yang akan dikirim untuk kerja paksa atau dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, serta menyebarkan informasi kepada semua gerakan bawah tanah yang melawan Nazi.
Dalam bergerilya, pasukan bentukan PI itu diberi nama Pasukan Untung Suropati. Mereka adalah bagian dari Binnenlandsche Strijdkrachten atau kekuatan perang dalam negeri di Belanda. Ironis apabila mengingat Untung Suropati merupakan nama pejuang yang melawan Belanda dan gugur pada tahun 1706 di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Ironis karena nama seorang musuh bebuyutan kolonial Belanda dipakai sebagai nama pasukan yang membela Belanda untuk melawan musuhnya, yakni Nazi.
Pasukan itu menjadi bagian dari gerakan verzet atau perlawanan terhadap Nazi di Belanda. Ini setara dengan gerakan resistance atau maquis di Perancis yang bergerilya melawan Nazi. Mereka menjalin komunikasi dengan intelijen Sekutu, terutama Special Operation Executive (SOE), yang dibentuk Inggris pada Juli 1940 untuk beroperasi di wilayah Eropa yang diduduki Nazi.
Persenjataan pasukan itu disuplai oleh pesawat-pesawat militer Inggris, Royal Air Force (RAF), yang menjatuhkan senjata dan amunisi di berbagai wilayah sepi di Belanda. Pesawat Mosquito yang terbuat dari kayu dan memiliki kemampuan meredam deru mesin menjadi andalan operasi pengiriman bantuan dan agen dari Inggris ke Belanda dan wilayah Eropa lain yang diduduki Nazi.
Aktivis Indonesia di Leiden
Kallenberg menulis, awal kiprah Irawan Soejono di Pasukan Untung Suropati diawali dengan perjalanan hidupnya di Belanda, yakni setelah Irawan tamat pendidikan di Den Haag, pada tahun 1938, dia pindah ke Leiden untuk kuliah di Universiteit Leiden di Jurusan Sosiologi.
Di kota Leiden, Irawan mengenal lebih dekat para mahasiswa Indonesia, antara lain Suripno, Yusuf Muda Dalam, Kusumobroto, dan Alex Ticoalu. Irawan pun memilih bergabung dengan PI walau ada organisasi kepemudaan Indonesia lain, yakni Rukun Pemuda Indonesia yang disingkat Roepi.
Untuk keperluan organisasi, PI menyediakan suatu gedung di Hugo de grootstatt sebagai gedung pertemuan. Di gedung yang diberi nama ”Roemah Indonesia” tersebut, para anggota PI sering menggelar rapat hingga kegiatan sosial lainnya, seperti pesta dan pergelaran musik.
Menurut Suripno dalam testimoninya, Irawan memiliki sifat tertutup, rendah hati, dan mengerjakan segala tugas yang diberikan tanpa banyak bicara. Irawan merupakan pribadi cerdas yang ingin mengatasi sendiri semua persoalan yang dihadapi dan berani mengambil alih tanggung jawab.
Hal ini tampak dalam caranya mengelola majalah De Bevrijding semasa perlawanan terhadap Nazi. Irawan bekerja serabutan dengan sepenuh hati. Dia mengurus mesin tik, mesin stensil, hingga menjadi distributor. Namun, jika diperlukan, dia siap menyandang senjata sten gun atau karaben untuk melawan Nazi.
Irawan selalu menjadi tumpuan harapan kawan-kawannya apabila mereka lapar. Tanpa memedulikan diri sendiri, dia selalu menyediakan makanan supaya kawan-kawannya tidak kelaparan. Sejarah mencatat, Belanda mengalami tragedi kelaparan pada musim dingin 1944-1945 yang dikenal sebagai Winter Honger. Ketika itu, di wilayah Belanda yang masih diduduki Nazi terjadi kelaparan hebat. Adapun wilayah selatan Belanda ketika itu telah dibebaskan oleh pasukan Sekutu.
Terkadang, Irawan memasak dan memaksa kawan-kawannya makan jika rekan seperjuangannya harus begadang dalam kedinginan. Irawan mempunyai sifat yang lembut walau bukan berarti lemah. Terkadang, dia menghardik temannya apabila ada yang salah. Suatu hardikan yang hangat, bukan yang mematahkan. Suripno melihat Irawan adalah orang yang selalu menyimpan cita-cita untuk segera kembali ke tanah airnya. Dia ingin hidup bagi negeri dan bangsanya yang merdeka.
Nazi semakin kejam
Setelah pendaratan Sekutu—ketika itu di Indonesia disebut sebagai Serikat—di Normandia, 6 Juni 1944, Nazi dan kaum fasis bertindak semakin kejam di daerah pendudukan terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Tidak jarang terjadi kekerasan dan pembunuhan terhadap kaum Yahudi, orang Slavia, kelompok strata bawah di masyarakat daerah pendudukan.
Tindakan represif pun ditingkatkan oleh Nazi. Pemimpin gerakan bawah tanah ditangkap. Orang Yahudi dimusnahkan sebagai bentuk teror mental.
Menghadapi tindakan brutal Nazi, pasukan perlawanan makin bersemangat. Apalagi, berita kekalahan Jerman di berbagai front makin menyebar. Pasukan Untung Suropati pun makin giat menerbitkan surat-surat selebaran yang berisi berita-berita tentang jalannya perang di Benua Eropa. Berita-berita tersebut semakin membangkitkan semangat pembebasan Belanda dan Eropa dari cengkeraman Nazi.
Daradjadi menjelaskan, salah satu dari sekutu PI, yaitu Amsterdam Student Group, berhasil menyebar brosur dan pamflet sebanyak lebih kurang 100.000 lembar dan telah dibaca sekitar 8 juta penduduk. Tentang penerbitan brosur dan pamflet ini, PI juga tidak mau ketinggalan dengan rekan seperjuangannya di atas.
Mereka mula-mula menerbitkan majalah yang bernama Feiten, yang berarti ’fakta’. Kemudian, berganti nama dengan De Bevrijding yang berarti ’pembebasan’. Bertindak sebagai redaktur, antara lain, Sutan Pamuntjak, Alex Ticoalu, Suripno, Kusumobroto, dan FKN Harahap.
Majalah De Bevrijding terbit tiga kali seminggu dengan tiras 3.500-20.000 eksemplar. Sampai September 1944, majalah ini terbit di Amsterdam dan dikelola penerbitannya oleh Tamzil, Muwaladi, Soe Giang, dan Oelan Simatupang.
Namun, sejak Oktober 1944, produksi majalah De Bevrijding pindah ke Rotterdam. Nama De Bevrijding pun terus dipertahankan dengan redaktur terdiri dari Yusuf Muda Dalam—kelak menjadi Menteri Keuangan era Soekarno—dan Gondo Pratomo.
Karena terlibat aktif dalam majalah De Bevrijding, Irawan pun dijuluki Henk van Bevrijding atau Henk Sang Pembebas di kalangan aktivis perlawana terhadap Nazi.
Para ”pejuang” di majalah De Bevrijding kemudian menyewa rumah di Katheder, Rotterdam, yang dipakai sebagai tempat persembunyian para aktivis gerakan perlawanan anggota PI.
Tukar-menukar informasi pun terus dilakukan PI dengan organisasi-organisasi lain di Belanda ataupun di luar Belanda. Organisasi yang dimaksud antara lain Sociale Demokratische Studie Club (SDSC), Studente Vredesactie (SVA), dan Anti Fasische Aktie (ANTIFA).
Perlawanan semakin memuncak, di sisi lain Nazi juga semakin mengganas. Razia demi razia Gestapo—Geheim Staat Polizei—atau Polisi Rahasia Nazi yang kejam, seperti Kempetai Jepang di Asia, menangkap para pejuang dan aktivis anti-Nazi.
Para pejuang yang aktif membuat selebaran dan menyebarkan informasi anti-Nazi juga menjadi sasaran. Tidak ketinggalan para pejuang yang menerbitkan majalah De Bevrijding.
Malang tak dapat ditolak, pada sebuah penggerebekan oleh Gestapo, 13 Januari 1945, Irawan Soejono, yang melarikan mesin stensil untuk mencetak materi propaganda, ditembak mati oleh Nazi. Irawan pun dimakamkan di Leiden berselang beberapa hari kemudian.
Sebagai penghargaan atas pengorbanan dan perjuangan para pemuda Indonesia melawan Nazi dan fasisme, nama Irawan Soejono kemudian diabadikan sebagai nama jalan di kota Osdorp di dekat Amsterdam dan Leiden. Fasisme Nazi yang bersifat rasis, antidemokrasi, dan mau menang sendiri memang sangat berbahaya bagi demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan umat manusia.
Dalam sebuah kesempatan pemasangan plakat untuk menghormati pengorbanan Irawan Soejono di Leiden tahun 2016, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja turut hadir. Bendera Merah Putih yang diperjuangkan Irawan Soejono dan kawan-kawan turut dikibarkan bersama Rod Wit en Blauw atau triwarna Merah-Putih-Biru, bendera kebangsaan Belanda. Setelah 70 tahun lebih, cita-cita Irawan Soejono dan kawan-kawan soal pembebasan Belanda dan kemerdekaan Indonesia akhirnya mendapat pengakuan....