Menerka Alasan Politik dan Rasional di Balik Perombakan Kabinet Jokowi
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo hari Rabu (17/1) sekitar pukul 09.30 kembali melakukan perombakan posisi menteri di Kabinet Kerja dan jabatan setara menteri, yaitu Kepala Staf Kepresidenan. Perombakan tersebut ditengarai didasarkan alasan rasional Jokowi menghadapi tahun politik, sekaligus kompromi politik di kalangan internal partai koalisi pendukung Jokowi.
Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dilantik Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Jakarta menjadi Menteri Sosial, menggantikan Khofifah Indar Parawansa.
Selain Idrus, Presiden Jokowi menunjuk mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan, menggantikan Teten Masduki.
Presiden juga menunjuk mantan jenderal TNI Angkatan Darat, Agum Gumelar, sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, menggantikan Hasyim Muzadi yang meninggal beberapa waktu lalu.
Pengangkatan Marsekal Yuyu Sutisna yang mengisi jabatan lowong Kepala Staf TNI Angkatan Udara yang ditinggalkan Marsekal Hadi Tjahjanto, yang kini menjabat Panglima TNI, juga dilakukan secara bersamaan pada pagi ini.
”Kalau masuknya Idrus, jelas ini kompromi politik. Idrus adalah bagian dari rezim lama Partai Golkar, yang kemudian saat munaslub kemarin secara aklamasi menerima kemunculan Airlangga (rezim baru) menjadi ketua umum,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya saat dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu.
Kalau masuknya Idrus, jelas ini kompromi politik. Idrus adalah bagian dari rezim lama Partai Golkar, yang kemudian saat munaslub kemarin secara aklamasi menerima kemunculan Airlangga (rezim baru) menjadi ketua umum.
Pilihan menunjuk Idrus diambil Jokowi mempertimbangkan soliditas Partai Golkar agar mampu mendukung setiap kebijakannya hingga masa jabatannya selesai.
Soliditas Partai Golkar juga dibutuhkan untuk mendukung langkah Jokowi pada Pemilu Presiden 2019. Keputusan Golkar saat munaslub terakhir di pengujung 2017 dengan tegas mengusung kembali Jokowi menjabat presiden 2019-2024.
Masuknya Idrus menggantikan posisi Khofifah juga tidak lepas dari keputusan Khofifah yang menjadi peserta dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur pada Juni mendatang. Khofifah mengatakan telah memberikan surat pemberitahuan kepada Presiden terkait keputusannya.
Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Mahyudin mengatakan, tidak ada kesepakatan secara khusus antara hasil munaslub dan masuknya Idrus dalam kabinet. Ia yakin, penunjukan Idrus juga didasari pertimbangan kemampuannya yang dinilai cocok dengan tugas di Kementerian Sosial.
Meski begitu, Mahyudin tidak menampik, dengan jabatan Menteri Sosial, Idrus hampir tidak mungkin merangkap jabatan sebagai Sekjen Partai Golkar.
”Beliau menerima jabatan Menteri Sosial artinya beliau menyiapkan waktunya untuk mengabdi kepada negara. Tentu dengan jabatan baru itu pasti tidak punya banyak waktu untuk menjadi sekjen karena sekjen adalah salah satu jabatan yang sangat sibuk di partai. Jadi, saya kira, Pak Airlangga akan mencari sekjen baru,” tutur Mahyudin saat ditemui di Kompleks DPR, di Jakarta.
Mahyudin menyebut beberapa nama calon sekjen Partai Golkar, antara lain Happy Bone Zulkarnaen, Lodewijk Freidrich Paulus, dan Ibnu Mundzir.
Saat ini, Partai Golkar masih dalam masa transisi kepengurusan. Airlangga Hartarto yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar diberi mandat saat munaslub untuk menjadi formatur tunggal atau satu-satunya yang berwenang menyusun struktur kepengurusan partai yang baru.
Airlangga rangkap jabatan
Salah satu yang menjadi perhatian publik dalam pergantian kabinet hari ini ialah masih amannya posisi Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian. Padahal, sejak awal menjabat, Jokowi telah menyebutkan tidak menginginkan menterinya merangkap jabatan strategis di partai demi menghindari konflik kepentingan.
Hingga saat ini, praktis hanya Airlangga menteri di Kabinet Kerja yang merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik.
”Ini bisa memancing menteri yang lain untuk rangkap jabatan. Selain memang di sistem presidensial baiknya tidak dilakukan (rangkap jabatan), ini kan juga janji Jokowi juga sejak awal,” ucap Yunarto.
Menurut Yunarto, posisi rangkap jabatan Airlangga juga tidak menguntungkan Partai Golkar saat ini. Hal itu karena pada waktu yang hanya dua tahun dan di tengah tahun politik, Airlangga harus membagi waktu dengan pekerjaannya sebagai Menteri Perindustrian.
Posisi rangkap jabatan Airlangga juga tidak menguntungkan Partai Golkar saat ini.
Konteks profesionalitas, seperti Kementerian Perindustrian sebagai instansi yang sifat pekerjaannya cenderung teknis, juga diperkirakan menjadi faktor Jokowi hingga kini mempertahankan Airlangga.
Yunarto menilai, adaptasi pergantian kepemimpinan lebih sulit dilakukan di kementerian yang sifatnya teknis dibandingkan instansi yang bersifat strategis, misalnya Kantor Staf Kepresidenan.
”Mungkin juga karena belum ditemukan orang yang tepat (pengganti Airlangga di Kementerian Perindustrian) atau berhitung dari sisi waktu yang sudah mepet untuk adaptasi perubahan kepemimpinan di kementerian itu,” lanjut Yunarto.
Menanggapi Airlangga yang rangkap jabatan, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Hendrawan Supratikno meminta publik menunggu sikap akhir. Ia mengatakan, saat ini pergantian kabinet masih dalam masa transisi.
”Kita harus menunggu sikap akhir. Ini semua sedang dipertimbangkan. Presiden selama ini dikenal sebagai sosok yang konsisten, berani, dan tegas. Sabarlah, ini kan semuanya lagi transisi. Kita kan tidak tahu, misalnya sudah mau pilkada tiba-tiba dikejutkan dengan munaslub (Golkar),” kata Hendrawan.
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy menuturkan, sesuai ketentuan UU Kementerian Negara, tidak ada larangan bagi menteri untuk menjabat ketua umum partai politik.
Meski demikian, ia mengakui adanya kesepakatan pada awal pemerintahan Jokowi bahwa menteri tidak boleh merangkap jabatan ketua umum partai.
”Silakan saja kita menafsirkannya. Apakah berdasarkan UU Kementerian Negara atau visi Presiden tiga tahun yang lalu. Penentuan menteri itu juga, kan, hak Presiden,” ujar Lukman.
Rasional
Sementara itu, penunjukan Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan dinilai Yunarto jauh dari unsur pertimbangan konsolidasi politik Partai Hanura. Moeldoko sampai saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura.
”Kita lihat penunjukan Moeldoko ini konteksnya karena dia representasi tentara, dia juga representasi AD karena panglima saat ini kita tahu berasal dari AU. Jadi, memang penunjukan ini murni pertimbangan rasional untuk pemantapan posisi Presiden sampai 2019,” kata Yunarto.
Penunjukan Moeldoko ini konteksnya karena dia representasi tentara, dia juga representasi AD karena panglima saat ini kita tahu berasal dari AU. Jadi, memang penunjukan ini murni pertimbangan rasional untuk pemantapan posisi Presiden sampai 2019.
Dalam tahun politik, menurut Yunarto, Presiden dinilai membutuhkan seseorang di jabatan Kepala Staf Kepresidenan yang memiliki jaringan kuat dan dapat leluasa melakukan lobi-lobi politik. Moeldoko menjadi sosok yang tepat mengisi posisi tersebut.
”Masuknya Moeldoko juga dapat merapatkan barisan politik pendukung Jokowi di tengah isu mantan Panglima TNI yang juga berasal dari AD, yaitu Gatot Nurmantyo, sebagai salah satu pesaing Jokowi di Pilpres 2019 nanti,” lanjut Yunarto.
Adapun Hendrawan menilai, kinerja Teten Masduki selama ini sudah baik. Namun, Teten kurang dapat memublikasikan hasil kinerjanya.
”Justru kalau kami kritik, dia kurang mampu mengomunikasikan hasil kerjanya. Padahal, kerjanya banyak dia. Dia berbeda dengan politisi. Dia tetap sepi ing pamrih,” ujarnya.
Hendrawan menolak isu bahwa dasar pergantian Teten karena dinilai kerap memberikan informasi yang tidak akurat kepada Presiden.
Meski demikian, Hendrawan berharap, Kepala Staf Kepresidenan yang baru dapat memberikan target-target pembangunan yang lebih realistis. Hal itu agar Presiden dalam kinerjanya tidak dipersalahkan publik jika targetnya tidak tercapai. (DD14)