Ketua MK Hanya Diberi Sanksi Teguran Lisan, Putusan Dewan Etik Mengecewakan
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi yang hanya memberikan sanksi ringan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dinilai mengecewakan. Arief dinyatakan melakukan pelanggaran etik ringan karena bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR terkait pencalonannya sebagai hakim konstitusi.
Pelapor dugaan pelanggaran etik terkait lobi politik yang dilakukan Arief ke DPR, yakni Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, mengaku kecewa dengan putusan Dewan Etik yang hanya memberikan teguran lisan kepada Arief.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, Lalola Easter, Selasa (16/1) di Jakarta, mengatakan, putusan Dewan Etik itu mengecewakan. Dewan Etik MK seharusnya bisa lebih tegas menjatuhkan sanksi kepada Arief. Terlebih lagi, dugaan pelanggaran yang dilakukan Arief tergolong persoalan besar bagi seorang hakim konstitusi.
”Jangankan melakukan lobi-lobi politik, hanya bertemu dengan pihak lain yang berpotensi untuk mengajukan perkara ke MK saja sudah merupakan pelanggaran etik,” ujar Lalola.
”Saat hal itu terjadi, Arief adalah hakim konstitusi dan DPR merupakan salah satu pihak yang beperkara dalam uji materi UU MD3 terkait hak angket. Dengan menilik pada pertimbangan itu saja, jika standar etikanya tinggi, seharusnya Ketua MK tidak melakukan pertemuan itu,” lanjut Lalola.
Dengan menilik pada pertimbangan itu saja, jika standar etikanya tinggi, seharusnya Ketua MK tidak melakukan pertemuan itu.
Sebagai hakim konstitusi, standar moral dan etika tinggi menjadi tuntutan publik. Kekuasan dan kekuatan besar yang dimiliki MK seharusnya direpresentasikan dengan sikap hakim konstitusi yang memegang teguh kode etik.
Lalola menyebutkan, setelah kasus Akil Mochtar yang terlibat dalam kasus suap perkara di MK, lalu penangkapan terhadap Patrialis Akbar, publik sebenarnya belum lupa pada problem yang ada di tubuh MK. Artinya, kredibilitas MK sudah tidak seperti dulu lagi.
”Kepercayaan publik kepada MK pun bisa dipahami jika terus turun karena ternyata standar etika hakimnya tidak tinggi,” ucap Lalola.
Belajar dari pengalaman negara lain, seperti Jepang, pejabat publik yang diduga melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran pun langsung mengundurkan diri. Menurut Lalola, standar etika dan moral hakim konstitusi seharusnya setinggi itu.
Menurut catatan koalisi, bukan kali ini saja Arief Hidayat melakukan pelanggaran etik. Pada 2016, Arief dijatuhi sanksi berupa teguran lisan karena memberikan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ketika itu, Widyo Pramono, terkait seorang jaksa muda asal Trenggalek, Jawa Timur. Dewan Etik MK saat itu juga menyatakan Arief melakukan pelanggaran kode etik ringan.
Selain itu, pada 2017, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK juga mengadukan Arief dan sejumlah hakim konstitusi kepada Dewan Etik lantaran tidak menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan rekam jejak dugaan pelanggaran yang dimiliki Arief itu, Dewan Etik MK seharusnya memberikan sanksi lebih berat kepada Arief.
Kendati demikian, diakui Lalola, ada sejumlah kendala dalam kewenangan Dewan Etik MK yang hanya dibatasi memberikan dua macam sanksi, yakni teguran lisan dan pemberhentian. Satu sanksi dinilai sangat ringan dan sanksi lainnya sangat berat.
”Selama ini, memang pilihannya hanya dua, yakni sanksi ringan berupa teguran lisan dan sanksi berat dengan pemberhentian. Tidak ada sanksi lain di antara kedua kutub sanksi yang ekstrem itu,” ujarnya.
”Namun, terlepas dari alasan itu, seharusnya Dewan Etik juga menimbang hal lainnya, termasuk rekam jejak Arief yang pernah dikenai sanksi etik sebelumnya,” lanjutnya.
Dewan Etik MK menyatakan Arief melakukan pelanggaran etik ringan karena bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR terkait pencalonan hakim konstitusi.
Ketua Dewan Etik MK Achmad Roestandi mengatakan, pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui proses pembentukan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). MK juga pernah membentuk MKMK ini saat memberhentikan Patrialis Akbar dari jabatan sebagai hakim konstitusi karena perkara suap perkara.
”Ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi Pak Arief. Kalau sekali lagi melanggar, langsung dibentuk MKMK untuk memproses sanksi berat,” ucapnya.
Anggota Dewan Etik MK, Salahuddin Wahid, menyebutkan, sebagai Ketua MK, Arief seharusnya memiliki standar etika yang lebih tinggi.
”Putusan MK tidak bisa dibanding, berbeda dengan putusan pengadilan. Wewenangnya juga sangat besar dan memiliki kekuatan yang besar. Segala kekuatan itu seharusnya diiringi dengan etika hakim yang berstandar tinggi,” katanya.
Dalam putusan yang diumumkan, Selasa siang, Dewan Etik MK menyatakan Arief melakukan pelanggaran etik ringan karena bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR terkait pencalonan hakim konstitusi. Pertemuan itu dilakukan di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, sekitar November 2017.
MK tidak pernah menerima surat undangan resmi dari Komisi III DPR terkait pertemuan di Hotel Ayana Midplaza tersebut.
”Tidak ada undangan. Hanya telepon langsung kepada Pak Arief. Hal itulah yang menjadi alasan Dewan Etik MK menilai pertemuan itu melanggar kode etik hakim konstitusi,” kata Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso.