Keterlibatan Perempuan dalam Politik Membantu Upaya Penyetaraan Jender
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat keterlibatan kaum perempuan di dunia politik masih rendah. Perempuan harus terus disertakan dalam membuat kebijakan dalam berbagai bidang. Selain untuk mendorong kesetaraan jender, keterlibatan mereka juga akan memperluas perspektif pembangunan bangsa Indonesia.
Data dari Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 2017 menunjukkan, secara keseluruhan Indonesia adalah negara di Asia dengan tingkat partisipasi perempuan tertinggi pada tingkat eksekutif, yaitu 25,7 persen. Angka itu di atas rata-rata yang berada pada 11 persen.
Akan tetapi, pada hasil Pemilu 2014, jumlah perempuan yang duduk di tingkat legislatif hanya sekitar 17,3 persen dari total jumlah anggota DPR 560 orang. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kuota perempuan di parlemen ditetapkan sebesar 30 persen.
Deputi Menteri Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Subandi Sardjoko mengatakan, pemerintah terus berusaha menambah kapasitas kelembagaan pengarusutamaan jender di tingkat nasional dan daerah.
”Kalau ditarik mundur, posisi perempuan lemah, padahal peran perempuan di berbagai bidang harus ada,” ujar Subandi dalam Dialog Publik Nasional dengan tema ”Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan dalam Upaya Penghapusan Pelanggaran HAM dan Kekerasan terhadap Perempuan”. Dialog tersebut diadakan oleh Solidaritas Perempuan di Jakarta, Senin (8/1).
Menurut Subandi, bertambahnya peran perempuan dalam bidang politik dapat membantu proses pengambilan keputusan yang pada gilirannya dapat membantu upaya penyetaraan jender di berbagai bidang. Semakin tinggi keterlibatan perempuan dalam politik, menurut Subandi, juga ikut menekan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan.
Semakin tinggi keterlibatan perempuan dalam politik juga ikut menekan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan.
Pemerintah, lanjut Subandi, telah membuat berbagai landasan hukum yang menjamin kesetaraan, seperti UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Selain itu, sejumlah peraturan perundangan lainnya juga lahir antara lain karena keterlibatan perempuan secara politik, baik di parlemen maupun di tingkat gerakan masyarakat sipil.
Peraturan perundangan tersebut antara lain UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol, serta UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPD.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik menyatakan, hak perempuan masih terus diabaikan hingga sekarang karena mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Penyertaan perempuan dalam membuat kebijakan perlu terus didorong.
”Peran perempuan penting karena ini tidak hanya terkait mereka, tetapi juga pembangunan nasional,” ucap Taufan yang juga menjadi salah satu pembicara dialog.
Ia mencontohkan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), pengambil keputusan dalam lembaga tersebut didominasi oleh laki-laki. Mereka membuat program integrasi untuk laki-laki. Padahal, eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka juga ada yang perempuan. Mereka juga mengalami masalah di berbagai dimensi setelah konflik selesai. BRA adalah lembaga pemerintah untuk mengurus masalah reintegrasi dalam proses perdamaian di Aceh.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menyebutkan, memasuki tahun politik 2018, pemerintah tidak boleh melupakan permasalahan mendesak lainnya.
Masyarakat saat ini menghadapi tiga tantangan dalam dunia politik. Tantangan tersebut adalah mengintegrasi pengarusutamaan jender di lembaga politik dan publik, mengimplementasi ketetapan pengarusutamaan jender, serta melakukan komunikasi dan koordinasi antarkader perempuan dari partai politik.
”Yang harus dilihat bukan sekadar kuantitas, tetapi juga dari segi kualitas (perwakilan perempuan),” ucap Hemas.
Indonesia sebenarnya masih memiliki banyak masalah kesetaraan jender di bidang politik kendati pernah memiliki presiden perempuan pertama, yaitu Megawati Soekarnoputri, presiden ke-5 RI, ataupun menteri dan anggota DPR perempuan.
Perempuan perlu terus didorong untuk terjun ke dunia legislatif karena merekalah yang memahami perjuangan perempuan lainnya.
Perempuan perlu terus didorong untuk terjun ke dunia legislatif karena merekalah yang memahami perjuangan perempuan lainnya. Mereka dapat membantu untuk memperjuangkan alokasi anggaran bagi perlindungan dan pembangunan perempuan.
Ditambah lagi, sentuhan perempuan dalam mengambil kebijakan di tingkat lokal masih belum banyak. Pemegang jabatan dalam rembuk desa, misalnya, masih terus didominasi oleh laki-laki.
”Perempuan tidak diberi kesempatan sehingga harus merebutnya,” kata Hemas. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan untuk terus bekerja sama dengan sejumlah pihak, seperti pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat.
Meningkatnya keterlibatan perempuan secara politik di Indonesia dinilai ikut menyebabkan penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, terdapat penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan mencapai 259.150 kasus pada 2016. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2015, yaitu 321.752 kasus. Kekerasan seksual di ranah publik dan privat masih menduduki peringkat teratas.
Kekerasan seksual di ranah publik dan privat masih menduduki peringkat teratas.
Dalam Catatan Tahunan 2017, Komnas Perempuan menemukan kekerasan di ranah komunitas mencapai 3.092 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat pertama (2.290 kasus), diikuti kekerasan fisik (490 kasus) dan kekerasan lain, yaitu kekerasan psikis (83 kasus), buruh migran (90 kasus), dan perdagangan orang (139 kasus).
Ketua Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy menambahkan, perempuan tidak boleh hanya dilihat sebagai korban. Mereka juga dapat menjadi agen untuk menyuarakan pembangunan dengan mengembangkan kearifan lokal. ”Hal itu masih luput di mata pemerintah ketika membuat kebijakan,” ujarnya.
Usulan pasal
Pemerintah juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Hemas menyatakan, pembahasan RUU belum selesai karena masih banyak aspek yang harus didiskusikan. DPD terus mendorong legislasi RUU PKS karena kebutuhannya sudah mendesak. Awalnya, RUU tersebut ditargetkan selesai pada 2017.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan dalam Rumah Tangga Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Usman Basuni mengatakan, pemerintah sementara berada dalam posisi menunggu konfirmasi dari DPR. Namun, ia meragukan RUU PKS dapat diselesaikan pada akhir tahun karena bukan merupakan agenda prioritas.
”Sebaiknya RUU diterima dulu untuk segera disahkan. Nanti baru isi pasalnya sambil jalan direvisi lagi kekurangannya dengan masukan berbagai pihak,” ujar Usman.
Subandi juga setuju peraturan perundangan harus memberikan keadilan. Masyarakat dapat memberikan masukan undang-undang dan pasal mana yang harus diperbaiki. Pemerintah akan berusaha sebisa mungkin untuk responsif pada perubahan hukum yang dibutuhkan masyarakat. (DD13)