Politik Identitas, Kontestasi Politik, dan Kohesi Sosial
Oleh
·3 menit baca
Kondisi ini meluas dengan gencarnya dinamika media sosial meramaikan hiruk pikuk politik, yang semakin mengkristal seusai Pilkada DKI Jakarta. Apalagi momentum pilkada serentak 2018 yang menjadi titik pijak pertarungan pemilu legislatif dan presiden serentak 2019 sudah mulai dirasakan di pengujung tahun ini. Fenomena media sosial yang semakin riuh dengan isu-isu perbedaan pilihan politik juga kembali memengaruhi kohesi sosial publik meski hasil jajak pendapat Kompas menyebut modal sosial bangsa masih kuat dengan acuan Pancasila sebagai nilai-nilai bersama.
Namun, publik yang terbelah memang tidak bisa dihindari. Hal ini pun berdampak pada sorotan terhadap kinerja pemerintah. Sejumlah langkah pemerintah pada tahun ini melahirkan ketegangan yang cukup kuat antara pihak yang menolak dan yang mendukung. Lihat saja pada penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Regulasi ini memberikan wewenang bagi pemerintah membubarkan ormas yang dinilai melanggar aturan tanpa melalui proses pengadilan. Perppu ini sontak memancing perdebatan sengit antara publik yang pro dan kontra. Intensitasnya meningkat ketika pemerintah mengimplementasikan aturan ini untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menyatukan
Namun, tidak selamanya publik terbelah. Sejumlah isu cenderung menyatukan publik dalam satu suara meski perbedaan sikap tetap saja muncul. Hal ini bisa dilihat dari sikap publik dalam pengajuan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berkukuh meminta pimpinan KPK menjelaskan tentang penyi-
dikan kasus dugaan korupsi
proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang menyeret sejumlah anggota DPR, termasuk Ketua DPR Setya Novanto.
Perkembangan penanganan kasus Novanto oleh KPK kemudian menjadi ”titik temu” yang menyatukan publik, terutama yang terekam dalam media sosial. Upaya Novanto untuk menghindari jeratan hukum KPK juga diamini publik sebagai langkah tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang Ketua DPR. Titik inilah yang menguatkan persepsi publik bahwa isu-isu korupsi cenderung direspons tunggal oleh masyarakat. Adapun isu-isu terkait kontestasi politik direspons berbeda oleh publik. Pilihan politik yang berbeda di tingkat masyarakat menjadi satu faktor yang melahirkan diskursus politik.
Diskursus tentang ini pun selalu hangat diperbincangkan, terutama di media sosial.
Tahun 2018 menjadi titik awal kontestasi politik, terutama bagi partai politik menghadapi pilkada serentak yang ditengarai menjadi ajang pemanasan mesin politik partai sebelum menghadapi kontestasi puncak politik nasional, yakni Pemilu 2019. Pesta demokrasi tahun 2019 akan menjadi pemilu serentak pertama dalam sejarah untuk memilih anggota legislatif sekaligus presiden dan wakil presiden. Tentu kohesi sosial masyarakat yang cenderung terpecah akan membayangi dinamika politik lokal dan nasional ini. Dinamika yang sudah mulai berlangsung tahun ini. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)