JAKARTA, KOMPAS — Salah satu calon kuat pengganti Setya Novanto di kursi Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, mengaku akan menampung kepentingan semua pihak di Partai Golkar. Airlangga yang mengaku telah mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo menyampaikan, harapan Presiden agar soliditas Partai Golkar tetap terjaga meski terjadi pergantian kepemimpinan.
Airlangga mengaku dirinya akan mengupayakan agar semua pihak dapat tetap bergabung di Partai Golkar. ”Seluruhnya (kubu) kami dekati. Tentu kalau hal-hal mengenai kepentingan itu bisa dikompromikan,” ujar Airlangga kepada Kompas di Jakarta, Selasa (28/11).
Presiden Joko Widodo berharap agar Partai Golkar tetap menjadi partai yang besar. Kejadian di masa lalu seperti dualisme atau perpecahan diharapkan tidak terulang.
Menurut Airlangga, Presiden berharap agar Partai Golkar tetap menjadi partai yang besar. Kejadian di masa lalu seperti dualisme atau perpecahan diharapkan tidak terulang.
Ihwal kemungkinan hanya akan ada satu calon ketua umum saat musyawarah nasionalisme luar biasa (munaslub), Airlangga mengatakan, semua kemungkinan dapat terjadi. ”Itu terpulang kepada pemegang hak suara (DPD),” ujar Airlangga.
Airlangga menyampaikan, saat ini, dua pertiga dari 34 DPD I Golkar telah menyetujui digelarnya munaslub. Penyelenggaraan munaslub hanya tinggal menunggu keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar dari usulan-usulan yang masuk dari DPD.
Dua pertiga dari 34 DPD I Golkar telah menyetujui digelarnya munaslub.
”Kami masih meminta waktu atau tenggang. Akan tetapi, dalam waktu dekat akan disampaikan ke DPP (terkait munaslub),” tambah Airlangga.
Dua kubu
Sementara itu, J Kristiadi, pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan, Airlangga adalah sosok yang tepat untuk menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Kristiadi mengungkapkan, Airlangga tidak berada dalam kubu mana pun dalam dualitas yang dinilainya terjadi saat ini di Golkar. Airlangga dianggap tidak memiliki kepentingan terhadap hal tersebut.
Airlangga sosok yang tepat untuk menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Airlangga tidak berada dalam kubu mana pun dalam dualitas yang terjadi saat ini di Golkar.
”Pilihan ini menghindari perkubuan yang ada. Artinya, dulu itu ada perkubuan antara Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Itu mau diterobos dengan seseorang yang juga bisa diterima,” kata J Kristiadi saat dihubungi Kompas, Selasa. ”Ini momentum yang tepat supaya tidak lagi terjadi tarik menarik antara dua kubu di Golkar itu.”
Kristiadi beranggapan, Airlangga termasuk orang yang memiliki kompetensi untuk menjabat sebagai ketua umum. ”Dia adalah orang yang punya legitimasi karena sudah cukup lama di Golkar juga. Dia juga sudah pernah menjadi unsur pimpinan selama beberapa tahun. Selain itu, dia termasuk orang yang profesional. Zone of acceptance dia juga sepertinya luas,” papar Krisitadi.
Profesional yang dimaksud oleh Kristiadi adalah, dalam berpolitik, Airlangga cenderung berprinsip untuk mengindahkan kepentingan masyarakat. ”Dia bukan politisi murni yang hanya bersiasat, melainkan ada bobot profesionalismenya. Jadi, siasat itu dia gunakan untuk mengindahkan prinsip-prinsip demokrasi, merangkul semua, dan tidak sektarian,” kata Kristiadi yang sudah mengenal Airlangga sejak masih berorganisasi di Keluarga Universitas Gadjah Mada (Kagama).
Langkah yang harus segera dilakukan Airlangga jika ditetapkan sebagai Ketua Umum Golkar adalah segera merevitalisasi gagasan-gagasan terkait dengan kebangsaan dan Pancasila yang mulai ditinggalkan partai itu. Kristiadi menjelaskan, hal itu penting dilakukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.
Airlangga harus memprakarsai gagasan yang mulai kering di parpol, seperti kebangsaan dan Pancasila. Orang-orang parpol yang sudah terjerumus dalam kasus-kasus korupsi juga harus segera dikikis habis.
”Airlangga harus memprakarsai gagasan yang mulai kering di parpol, seperti kebangsaan dan Pancasila. Orang-orang parpol yang sudah terjerumus dalam kasus-kasus korupsi juga harus segera dikikis habis,” kata Kristiadi. ”Tujuannya agar masyarakat tidak skeptis kepada institusi politik dan mencegah mereka terjerumus ke dalam paham sektarianisme yang mampu memecah belah bangsa.” (DD14/DD16)