MATARAM, KOMPAS – Semangat Nahdlatul Ulama dalam menjaga semangat nasionalisme tidak akan pernah pudar, sejak dahulu, di masa kini, dan di masa mendatang. Hal ini dikarenakan Nahdlatul Ulama berpegang pada prinsip perjuangan nasionalisme religius dan religius nasionalis.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj saat memberi sambutan pada pembukaan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di halaman Masjid Raya Hubbul Wathan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (23/11), menuturkan, semangat perjuangan NU yang religius nasionalis itu, kata Said Aqil, terlihat dari syair lagu “Yaa Lal Wathan” yang diciptakan oleh KH Wahab Hasbullah atas perintah KH Hasyim Asy’ari.
Itu merupakan pengakuan pemerintah dan negara terharap peran santri dan kiai dalam merebut kemerdekaan dari penjajah
Dalam semangat itu, nasionalisme dan religius bisa menjadi satu keutuhan. Di Timur Tengah, ia membandingkan, dua hal itu tidak bertemu. “Yang nasionalis tidak religius, yang religius tidak nasionalis,” kata Said Aqil.
Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi dalam sambutannya juga mengungkapkan hal yang relatif serupa. Dia menggunakan contoh nama Masjid Raya Mataram. Menurut dia, pada saat masjid raya dinamakan Hubbul Wathan (cinta tanah air), banyak orang bertanya, mengapa masjid raya itu tidak dinamakan dengan nama lain yang lebih jamak untuk nama masjid. Namun, dia dan para tuan guru menjawab bahwa masjid ini dinamakan Hubbul Wathan untuk menunjukkan bahwa keislaman dan keindonesiaan adalah dalam satu tarikan nafas.
“Kita berislam ada dalam ruang dan waktu. Ruang itu namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, waktu itu sekarang dan mendatang. Ini pula yang saya rasa menjadi semangat para pendiri Nahdlatul Ulama,” tuturnya.
Kita berislam ada dalam ruang dan waktu. Ruang itu namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, waktu itu sekarang dan mendatang. Ini pula yang saya rasa menjadi semangat para pendiri Nahdlatul Ulama
Meluruskan Sejarah
Masih dalam sambutannya, kepada Presiden Joko Widodo yang hadir dalam pembukaan Munas dan Konbes NU, Said Aqil juga mengutarakan rasa terima kasihnya atas kebijakan pemerintah yang sudah meluruskan sejarah dengan menetapkan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, yakni mengambil tanggal penggeloraan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
“Itu merupakan pengakuan pemerintah dan negara terharap peran santri dan kiai dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Ini sekaligus meluruskan sejarah bahwa kiai dan santri banyak memberikan kontribusi, selain kaum nasionalis dan tentara,” kata Said Aqil. (GAL/NUT/RUL)