Panglima TNI Baru Jangan Lagi Berpolitik Praktis
JAKARTA, KOMPAS — Tentara Nasional Indonesia dinilai masih terlibat dalam urusan politik praktis. Keterlibatan ini, antara lain, bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan para perwira yang bernuansa politis. Untuk itu, Panglima TNI yang baru diharapkan tidak melakukan hal yang sama.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menyatakan, kecenderungan tersebut dapat terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo selama beberapa tahun terakhir.
”Sekitar 290 dari 300 pernyataan yang dia buat berkaitan dengan politik praktis,” ujar Muradi dalam diskusi publik yang diadakan Setara Institute, yang bertajuk ”Pergantian Panglima dan Akselerasi Reformasi TNI”, di Jakarta, Kamis (23/11).
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Tubagus Hasanuddin, TNI dalam berpolitik perlu dibedakan. Terdapat dua jenis politik, yaitu politik praktis dan politik negara. Politik praktis adalah upaya untuk memegang kekuasaan negara. Sementara politik negara berkaitan dengan mempertahankan kedaulatan negara. TNI seharusnya masuk dalam ranah politik negara.
Masyarakat atau khususnya partai politik, ujar Hasanuddin, juga tidak boleh memberikan ruang bagi anggota TNI untuk terlibat dalam politik karena anggota tersebut akan menyalahi perundangan.
Pasal 39 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, anggota TNI tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Pasal 47 Ayat 1 UU TNI juga menyatakan, anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menilai, fenomena mengajak anggota TNI ikut berpolitik terjadi karena kemalasan partai politik untuk mencari atau mengajukan kader yang baik. ”Kalau terjadi (anggota TNI berpolitik praktis), jabatan di TNI harus dilepas,” ucap Connie.
Dengan demikian, pemerintah dinilai perlu segera menetapkan calon Panglima TNI berdasarkan syarat tertentu untuk menghindari hal serupa kembali terjadi. Apalagi, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan segera memasuki masa pensiun tahun 2018 sejak menjabat pada Juli 2015.
Direktur Imparsial Al Araf mengajukan beberapa syarat bagi calon panglima yang dirasa ideal. Syarat-syarat tersebut antara lain calon merupakan hasil dari rotasi matra, yang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), dan Angkatan Laut (AL).
Selama ini, Panglima TNI kebanyakan berasal dari AD. Dalam UU TNI No 34/2004 Pasal 13 Ayat 4 tertulis, Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap angkatan yang sedang atau tengah menjabat kepala staf angkatan.
Calon Panglima TNI harus bebas pelanggaran HAM dan korupsi berdasarkan masukan dari Komnas HAM dan KPK.
Syarat lain, menurut Araf, calon harus bebas pelanggaran HAM dan korupsi berdasarkan masukan dari Komnas HAM dan KPK. Calon juga perlu menjamin komitmen untuk mereformasi TNI dan mendorong proses modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Selain itu, lanjutnya, calon Panglima TNI juga diharapkan netral secara politik dan patuh pada otoritas sipil yang berlegitimasi.
”Pada dasarnya, Panglima TNI harus melakukan kebijakan politik negara. Dia merupakan pelaksana kebijakan yang berasal dari Presiden,” kata Araf.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menambahkan, pergantian Panglima TNI tidak hanya dimaknai perpindahan tongkat komando, tetapi juga harus mengenai mereformasi TNI. Hal tersebut diharapkan menjadi perhatian DPR saat melakukan tes kelayakan. Dengan demikian, pemilihan Panglima TNI bukan sekadar formalitas untuk menghormati calon pilihan presiden.
TNI AU
Muradi mengatakan, konsolidasi internal perlu didorong dalam mendukung TNI menjadi instrumen negara. Ada tiga tahapan yang patut dikembangkan. Pertama, konsolidasi setiap matra yang terdiri dari AD, AU, dan AL. Kedua, konsolidasi antarmatra. Terakhir, konsolidasi TNI dan Kementerian Pertahanan.
”Tidak masalah apakah calon harus dari matra tertentu kecuali dalam kondisi tertentu seperti perang. Yang penting adalah integrasi,” ujar Muradi.
Dia menambahkan, kali ini calon panglima dari AU dilihat lebih tepat karena selama ini Panglima TNI dominan berasal dari AD.
Walaupun Indonesia berkomitmen menjadi poros maritim dunia, lanjut Muradi, Panglima TNI tidak wajib berasal dari AL karena visi tersebut tidak terbatas pada masalah kelautan. Namun, lebih pada pengintegrasian kelautan dan daratan.
Hasanuddin menambahkan, alasan pengangkatan Panglima TNI harus dilakukan bergantian adalah untuk menjaga kohesi di antara ketiga matra tersebut. Dalam undang-undang, ketiga angkatan itu sama dan tidak berbeda sehingga tersedia ruang yang cukup bagi calon dari ketiga matra untuk menjadi Panglima TNI. Kesetaraan matra diperlukan agar kekuatan militer tidak bergantung pada satu matra.
Pekerjaan rumah panglima baru
Hasanuddin menyebutkan, ada beberapa poin yang dilihat DPR penting untuk ditelaah kembali mengenai TNI. Beberapa di antaranya mengenai peraturan tentang operasi militer yang masih menjadi wilayah abu-abu. Lalu, peran militer dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang harus dibahas lebih detail.
”Penugasan TNI ke daerah perlu ditentukan berdasarkan wilayah, jumlah pasukan yang dikerahkan, klasifikasi tugas, durasi penugasan, dan kerja sama dengan instansi apa saja,” ujar Hasanuddin.
Connie menambahkan, TNI juga harus berani mengubah cara Indonesia dalam mengamankan kedaulatan negara, mulai dari mengubah gaya defensif menjadi negara yang ofensif. Dia menilai, Indonesia lebih baik mencegah ancaman masuk ke wilayah ketimbang menunggu ancaman telanjur masuk, baru ditangani. (DD13)