Periode Kepemimpinan Komnas HAM Disepakati 2,5 Tahun
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tujuh anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022 bersepakat untuk memiliki ketua dan wakil ketua yang menjabat dalam periode kepemimpinan selama 2 tahun 6 bulan sebelum terjadi rotasi. Hal ini untuk menghindari persoalan internal.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan, ketua dan wakil ketua saat ini dapat dipilih lagi jika anggota lain menilai layak untuk kembali terpilih setelah menjabat selama 2,5 tahun. Dengan demikian, selama lima tahun anggota Komnas HAM menjabat hanya akan terjadi dua rotasi kepengurusan.
”Ada masa setelah 2,5 tahun kemudian di-review. Ini menjadi jawaban atas masukan selama ini karena sebelumnya dalam periode satu tahun itu menimbulkan masalah di internal,” ujar Ahmad di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (14/11).
Selain periode kepemimpinan, Ahmad menyebutkan, semua anggota Komnas HAM juga menyepakati bahwa ketujuh anggota Komnas HAM yang terpilih memperoleh fasilitas yang setara, tidak bergantung pada jabatan. Selain Ahmad yang terpilih menjadi Ketua Komnas HAM dalam rapat paripurna pada Senin (13/11), ada Hairansyah yang didapuk menjadi Wakil Ketua Bidang Internal dan Sandrayati Moniaga yang menjadi Wakil Ketua Bidang Eksternal.
Kemudian, terdapat Beka Ulung Hapsara yang menjadi Komisioner Subkomisi Pemajuan HAM, Mochamad Chirul Anam menjadi Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Amiruddin Al Rahab sebagai Komisioner Subkomisi Penegakan HAM, dan Munafrizal Manan menjadi Komisioner Subkomisi Mediasi.
Pelanggaran HAM berat
Ahmad menjelaskan, semua komisioner juga sepakat membangun komitmen agar tetap independen dan imparsial dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, khususnya saat memasuki tahun politik dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018 dan pemilihan presiden tahun 2019.
Selain itu, Ahmad memastikan anggota Komnas HAM juga siap menjawab tantangan untuk memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat baik yang penyelidikannya tuntas maupun yang masih dalam penyelidikan oleh tim bentukan Komnas HAM. Kepengurusan Komnas HAM yang baru akan berupaya optimal.
Sandrayati menambahkan, terdapat sembilan perkara pelanggaran HAM berat yang kasusnya sudah diselidiki dan didalami kembali oleh Komnas HAM, antara lain peristiwa pembunuhan massal 1965, tragedi Semanggi I dan Semanggi II, tragedi Trisakti, peristiwa Talangsari-Lampung 1989, peristiwa Wamena dan Wasior, penghilangan paksa berikut penembakan misterius 1982-1985, dan kasus Rumoh Geudong Aceh. ”Kami juga mendapatkan balasan dari Kejaksaan Agung dan harus ditanggapi bolak-balik,” kata Sandrayati.
Sandrayati mengakui Komnas HAM dan Kejaksaan Agung memiliki pandangan dan rujukan yang berbeda dalam penyusunan berita acara pelanggaran HAM. Komnas HAM merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, sedangkan Kejaksaan Agung mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Padahal, ini, kan, extraordinary crime, jadi belum sepakat. Kami harus berdiskusi kembali dengan kejaksaan agung,” ucap Sandrayati.
Choirul Anam memastikan persoalan HAM masa lalu tetap akan diingat dan tidak boleh hilang begitu saja. ”Prinsip kami menyelesaikan kasus itu dengan kecepatan tinggi,” kata Choirul yang berlatar belakang aktivis di Human Rights Working Group. (ILO)