Penting Mengatur Peran Militer dan Polisi di Era Transisi Demokrasi
Oleh
Iwan Santosa
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di negara yang masih berada pada masa transisi demokrasi seperti Indonesia, sangat penting mengatur dengan tegas peran militer dan kepolisian. Soliditas antara TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bisa tercapai jika peran kedua institusi tersebut diatur secara tegas dan tak terjadi tumpang tindih di antara keduanya dalam menjalankan kewenangan.
Meski demikian, menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Wuryanto, saat ini, hubungan solid antara TNI dan Polri berlangsung di tingkat pusat hingga desa. ”Kalau di desa atau kelurahan, Babinsa itu harus bersama Babinkamtibmas Polri dan kepala desa bersama-sama menyelesaikan persoalan dan mengantisipasi masalah di masyarakat,” kata Wuryanto di Jakarta, Selasa (10/10).
Menurut dia, hal sama berlaku di tingkat koramil, kodim, korem, hingga satuan atas. Ada hubungan erat pejabat TNI dengan polisi serta pimpinan daerah setempat. Itu sejalan dengan politik negara yang menjadi haluan TNI yang menggariskan soliditas TNI dan Polri.
Untuk mencapai soliditas, hubungan TNI dan Polri harus tegas dijelaskan rambu-rambu bagi institusi dalam menjalankan tugas.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengingatkan, untuk mencapai soliditas hubungan TNI dan Polri harus tegas dijelaskan rambu-rambu bagi TNI dan Polri dalam menjalankan tugas. Banyaknya keterlibatan TNI di luar tugas utama, yakni berlatih dan berperang, harus diatur jelas dengan landasan hukum perbantuan sesuai diamanatkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Sementara peneliti LIPI, Sarha Nuraini Siregar, yang membuat kajian Meninjau Kembali Hubungan TNI-Polri, mengingatkan pentingnya mengatur soliditas militer dan kepolisian dalam negara yang mengalami transisi demokrasi seperti Indonesia. Ini dilihat dari perspektif hubungan sipil dan militer di era transisi.
Banyaknya keterlibatan TNI di luar tugas utama, yakni berlatih dan berperang, harus diatur jelas dengan landasan hukum.
”Ini menyoroti dilema kewenangan yang dialami oleh negara transisi tatkala menghadapi ancaman non-militer dalam negeri. Untuk konteks Indonesia, ancaman non-militer ini terindikasi pada tiga bentuk, yakni konflik horizontal, separatisme, dan terorisme. Bentuk ancaman tersebut juga masuk dalam kategori gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Sarah Siregar.
Dia mengingatkan, berbagai kajian yang dilakukan LIPI menunjukkan, hubungan TNI-Polri kerap bermasalah saat melakukan pengelolaan keamanan. Permasalahan timbul karena tidak jelasnya penataan hubungan dua institusi yang berdampak pada tataran kewenangan personel di lapangan saat menangani keamanan dalam negeri.
Ini menyoroti dilema kewenangan yang dialami oleh negara transisi tatkala menghadapi ancaman non-militer dalam negeri.
Peneliti LIPI lainnya, Diandra Megaputri Mengko, yang dihubungi mengatakan, menjelang Pilkada 2018, potensi konflik meningkat terutama di daerah-daerah yang sudah dinyatakan sebagai daerah rawan konflik.
”Oleh karena itu, perlu bagi pimpinan TNI dan Polri untuk fokus mempersiapkan pasukan dalam menjaga keamanan. Dari pengalaman sebelumnya, institusi militer dan polisi kerap bekerja sama dalam pengamanan pemilu. Meski demikian, sesuai UU TNI, akan lebih tepat jika Presiden membuat landasan politik negara yang menjadi dasar pelibatan TNI dalam mengamankan pilkada dan pemilu serentak. Ini penting agar dapat memberi kejelasan dari tujuan pelibatan, konteks pelibatan, batas waktu, hingga anggaran yang dibutuhkan,” kata Diandra.
Akan lebih tepat jika Presiden membuat landasan politik negara yang menjadi dasar pelibatan TNI dalam mengamankan pilkada dan pemilu.
Kondisi tersebut akan memenuhi prinsip supremasi sipil dalam tata kelola pertahanan dan keamanan di negara demokrasi.