Nilai-nilai Kebangsaan Belum Sepenuhnya Tertanam Kuat
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai-nilai kebangsaan belum sepenuhnya tertanam kuat dalam diri masyarakat. Hal tersebut terlihat dari munculnya kebencian dan perpecahan akibat perubahan peradaban yang terjadi.
Saat ini, dunia sedang dihadapkan pada sebuah perubahan peradaban dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi dan jejaring. Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, kebencian dan perpecahan yang terjadi di Indonesia muncul karena fragmentasi digital.
”Perubahan peradaban yang terjadi sekarang juga memunculkan kebudayaan baru di lingkungan masyarakat,” ujar Imam di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Selasa (19/9).
Hal itu disampaikan Imam dalam Seminar Nasional Peserta Pendidikan Reguler Angkatan 56 Tahun 2017 yang diikuti 114 orang, berasal dari berbagai instansi sipil, militer, dan kemasyarakatan. Seminar yang digelar mengambil tema di bidang sosial dengan judul ”Penguatan Nilai-nilai Kebangsaan guna Merajut Kebinekaan dalam Rangka Ketahanan Nasional”.
Selain Imam B Prasodjo, seminar tersebut menghadirkan dua pakar lain untuk membahas tema yang disajikan, yaitu Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno.
Para pakar tersebut mengatakan, kebinekaan sebagai aktualisasi nilai-nilai kebangsaan mulai luntur dalam diri masyarakat, khususnya generasi milenial. Untuk mengatasi tantangan tersebut, Sultan Hamengku Buwono X merangkum paparannya ke dalam tiga poin utama.
Pertama, penguatan fungsi dan peran Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kedua, merajut dan aktualisasi nilai-nilai kebangsaan. Ketiga, peningkatan daya antisipatif melalui metode sesuai tuntutan kebutuhan generasi milenial.
”Nilai kebangsaan kian luntur. Kecepatan globalisasi memperparah lunturnya nilai-nilai tersebut. Ditambah tidak adanya filter yang kuat, menjadikan kerentanan bagi ketahanan nasional,” tutur Sultan.
Turut hadir dalam seminar tersebut Direktur The Wahid Foundation Yenny Wahid dan peneliti pada Centre for Strategic and International Studies, Josep Kristiadi, sebagai penanggap utama. (DD15)