logo Kompas.id
PolitikPembahasan Dimulai pada...
Iklan

Pembahasan Dimulai pada Oktober

Oleh
· 2 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pandangan pihak yang mendukung ataupun menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan akan didengar oleh DPR sebelum memutuskan akan menolak atau menerima perppu tersebut. Komisi II DPR dijadwalkan mengagendakan pembahasan perppu mulai pertengahan Oktober. Untuk mendengar pandangan pro dan kontra terhadap Perppu Ormas, Komisi II DPR dalam rapat internal di Jakarta, Kamis (7/9), memutuskan tiap fraksi mengusulkan nama-nama yang akan diundang ke Komisi II. Selain memanggil tiga kementerian terkait, Komisi II DPR juga akan mengundang perwakilan organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya masyarakat, serta pakar hukum tata negara, dan akademisi."Apakah sikap fraksi akan menolak atau menerima Perppu Ormas, acuannya bisa diambil dari pendapat yang berkembang di masyarakat yang diwakili unsur itu," kata anggota Komisi II DPR, Yandri Susanto. Menurut dia, naskah Perppu Ormas itu sudah diterima Komisi II DPR. Awal pekan depan, kata Yandri, Komisi II akan membuat matriks usulan nama-nama yang akan dipanggil untuk didengar pandangannya. Pembahasan dijadwalkan berlangsung pada 16 Oktober dan ditargetkan rampung 24 Oktober, jelang reses DPR. "Harapan kami bisa selesai pada masa sidang ini, tetapi kalau lewat masa sidang juga tidak melanggar. Kalau tidak cukup waktu, bisa dibahas pada masa sidang berikutnya," kata Yandri. Sementara itu, saat yang sama, Perppu Ormas juga tengah diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (MK). MK menerima setidaknya delapan perkara, baik berupa uji formil maupun materiil. Dalam sidang terakhir yang digelar Rabu (6/9), salah satu pemohon uji materi mempersoalkan asas contrarius actus yang dijadikan salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perppu Ormas. Penerapan asas tersebut di perppu dinilai menghilangkan peran peradilan di dalam pembubaran Ormas. Salah satu ahli yang dihadirkan pemohon uji materi, yaitu Abdul Gani Abdullah yang juga mantan hakim agung, menilai, pemberlakuan asas tersebut bukan berarti pemerintah bisa meniadakan proses pengadilan. (GAL/AGE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000