Perbatasan Indonesia semakin “gemerlap”. Bangunan pos yang megah berarsitektur ciamik, berpendingin ruangan, dan diterangi ratusan lampu, mengundang decak kagum warga. Bangga, sudah tentu. Namun, di tengah gemerlap itu, masih ada warga di sekitar pos perbatasan yang bahkan untuk hidup layak pun tak mudah.
Malam jatuh di Motaain, salah satu dusun terakhir sebelum memasuki wilayah negara tetangga, Timor Leste. Lampu-lampu neon di tepi jalan tersentak dari tidur seharian, menyala benderang. Terlebih, kompleks Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain di Desa Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang terang bukan kepalang. Listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah bisa mencukupi kebutuhan energi PLBN itu.
Sejumlah pemuda terlihat di warung-warung kelontong yang mulai menjamur, beberapa meter dari pintu gerbang utama PLBN Motaain, Kamis (3/8). Nongkrong istilah orang Jakarta. Lipat kaki istilah pemuda Atambua. Saat itu Motaain mulai sepi setelah dari pagi hingga sore hari, orang-orang ramai berdatangan. Sekadar hendak menuntaskan hasrat berswafoto.
Berjarak kurang satu kilometer dari PLBN, Paulinu (67) menjaga agar lampu minyak dari kaleng vernis di depannya tidak padam tertiup angin. Ayah tiga anak ini tengah menjaga warung kecil di dalam rumah berlantai tanah itu. Makanan ringan, samar-samar terlihat berjejer di belakangnya. Di atas lemari, di ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah berukuran 7x6 meter itu, sebuah lampu minyak lain bertengger. Hanya ada dua penerangan di rumah yang ditempatinya sejak 1999 itu.
"Sudah biasa gelap-gelapan di sini,” katanya.
Rumah Paulinu berlokasi sekitar 200 meter dari jalan baru Atambua-Motaain. Dari 30 rumah di gang tempat tinggal Paulinu, baru empat rumah yang teraliri listrik dari PLN. Namun, sebagian warga akhirnya menyambung kabel listrik dari rumah tetangga.
Jorse Mau (40) tetangga Paulinu sudah setahun terakhir “meminjam” listrik dari rumah tetangga sekadar untuk lampu penerangan. Untuk itu, ia membayar Rp 50.000 per bulan ke sang tetangga.
Menurut Sekretaris Desa Silawan, Yacobus Berek sebagian rumah warga memang belum terjangkau listrik. Di Desa Silawan, dari total 850 rumah warga, masih ada 126 rumah yang belum teraliri listrik. Pemasangan instalasi masih bertahap. Hal ini disebabkan keterbatasan alokasi penyambungan listrik gratis, rata-rata hanya 35 rumah per tahun. Sementara terlalu berat bagi warga untuk membayar sendiri biaya instalasi awal pemasangan listrik PLN yang bisa mencapai Rp 3,3 juta.
“Selain itu, untuk masuk ke dalam lingkungan warga PLN butuh biaya pemasangan tiang listrik yang tidak sedikit. Jadi, ada warga yang mungkin mampu bayar, tetapi tidak bisa menikmati listrik karena belum bisa terlayani resmi,” katanya.
Di PLBN Motamasin, Kabupaten Malaka, sekitar dua jam berkendara dari Atambua, ironi yang sama juga terjadi. Hanya dalam radius 700 meter dari gerbang pos, sedikitnya ada lima rumah yang belum teraliri listrik. Gradus Bere (42), warga yang tinggal di dekat PLBN Motamasin mengatakan keramaian pendatang ke PLBN bisa mendatangkan berkah bagi orang yang punya modal untuk membuka toko. “Tapi yang tidak punya uang bagaimana? Rumah saja belum dialiri listrik,” kata Gradus.
Di Skouw, Kota Jayaputa perbatasan Papua-Papua Niugini, PLBN juga telah dibangun megah. Pembangunan ke kampung-kampung sudah lebih baik. Listrik telah dirasakan sejak 2015 lalu. Namun, sebagian kampung masih tetap hidup dalam keterbatasan.
Di Kampung Mosso, permukiman warga yang terdekat dari PLBN Skouw, penghubung antara jalan raya dan kampung warga masih berupa jembatan gantung dari kayu dengan lebar satu meter yang hanya bisa dilalui lima orang pada saat bersamaan. Jalan alternatif menuju jalan raya memutar lebih jauh.
Gregorius Neonbasu, Pakar antropologi sosial dan budaya Universitas Katolitik Widya Mandira Kupang, NTT, menyoroti kontradiktifnya pembangunan infrastruktur perbatasan dengan kondisi sosial warga di sekitarnya. Daerah PLBN yang megah, tidak berbanding lurus dengan kondisi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera.
“Kita seperti membuat menara gading, tapi begitu masuk ke pelosok, kondisi infrastrukturnya masih kacau, belum lagi soal sumber daya manusia yang menentukan apakah warga bisa berdaya atau tidak,” katanya.
Pendekatan infrastruktur, kata Gregorius, tetap penting untuk daerah perbatasan karena menjadi fondasi awal meningkatkan kesejahteraan. Namun, pembangunan fisik harus dibarengi dengan upaya pemberdayaan, peningkatan ekonomi kerakyatan, dan berbagai upaya lainnya. “Saya masih optimis karena ini baru langkah awal. Yang harus diperhatikan itu agar pembangunan merata dan dalam semua sektor,” katanya.
Pembangunan manusia
Kekhawatiran Gregorius itu bukan tidak dirasakan warga. Yakobus Berek, Sekretaris Desa Silawan menuturkan, warga yang sebagian besar petani dan pendidikannya tak tinggi, belum mampu mengimbangi pembangunan yang terlalu cepat.
Dengan jumlah 1.900-an penduduk, sebagian besar warga di Desa Silawan hanya lulusan SMP. Bahkan, banyak pemuda di desa ini tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mereka yang lalu menjadi tukang ojek, porter, atau tenaga kasar di perbatasan.
“Saya takut warga akhirnya bukan hanya jadi penonton, tapi justru tergusur pemodal yang berdatangan,” kata Yakobus.
Peneliti perbatasan yang juga Wakil Dekan Fisip Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Papua Aria Aditya Setiawan mengingatkan pentingnya kebijakan dan program afirmasi pemerintah terhadap warga di sekitar perbatasan. Hal ini penting untuk membuat mereka berdaya, sehingga bisa mengambil peluang ekonomi dari pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, mereka tidak hanya sekadar menjadi penonton.
Pasalnya, jika warga hanya gigit jari di tanahnya sendiri, sedangkan pendatang hidup makmur dari berusaha di sana, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sudjito mensinyalir akan potensi konflik. Kesenjangan menciptakan kerentanan sekaligus kontraproduktif bagi kepentingan bangsa di titik luar. Menurut dia, pembangunan di titik luar harus memadukan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi, sekaligus pelibatan masyarakat sebagai subjek. Tidak kalah penting juga memperhatikan aspek budaya agar masyarakat memiliki prestasi pembangunan dengan konteks lokal.
Menghuni wilayah perbatasan memang tantangan, sekaligus berkah. Warga tidak ingin menjadi penonton di tanah sendiri. Kini tinggal menunggu langkah pemerintah untuk menjadikan mereka sebagai pemain utama dalam pembangunan di tanah perbatasan…. (GAL/JOG)