Pemerintah Harus Tegas dan Bijak Atasi Hiruk Pikuk Sosial Politik
JAKARTA, KOMPAS -- Berbagai situasi dan dinamika lokal, nasional, dan global yang saling berhimpitan saat ini haruslah diurai dan dicari solusinya. Karena itulah pemerintah memiliki tugas yang berat dan harus bertindak tegas dan bijak mengatasi hiruk pikuk sosial politik belakangan ini.
Hiruk pikuk sosial politik haruslah diantisipasi, agar jangan sampai keharmonisan sosial politik yang telah dibangun dan dijaga dari waktu ke waktu akan rusak berantakan. Dampaknya, ekonomi, politik dan budaya Indonesia akan mengalami kemunduran.
Hal ini disampaikan Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam orasi kebangsaan berjudul “Mozaik Keindonesiaan Tercabik” pada Pembukaan Rakernas dan Konferensi Luar Biasa Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) di Jakarta, Jumat (7/7).
“Satu hal yang dikhawatirkan adalah jika kita tidak sadar tengah main api, hal ini sangat potensial mencabik-cabik mozaik kebhinekaan Indonesia. Sekali sudah tercabik dan melebar, maka butuh waktu lama untuk merajutnya kembali,” ujar Komaruddin.
Komaruddin mencontohkan, pengalaman di Timur Tengah yang tidak saja robek kohesi sosial yang sudah lama terbangun, malahan pecah berantakan dan sebagian sulit dirajut kembali. Dalam kondisi tersebut, kekuatan asing terlibat masuk dengan dalih membantu atau menolong.
Padahal sangat mungkin memancing di air keruh. Selain menjual senjata untuk mendukung industri senjata sebagai sumber devisa negaranya, ada kekuatan asing yang menjadikan perang sebagai proyek politik dan ekonomi.
Di saat ekonomi dunia melemah, posisi Indonesia termasuk yang mampu bertahan. Kenyataan ini membuat Indonesia menarik investor asing dan pangsa pasar yang menggiurkan bagi negara industri untuk menjual produknya.
“Kondisi ini bisa jadi ada negara-negara yang kemudian merasa terancam dan tidak bahagia melihat Indonesia damai, rukun, maju dan secara ekonomi berusaha mandiri,” tambahnya.
Dengan modal kekayaan peradaban dan alamnya, sudah semestinya Indonesia memiliki jati diri dan identitas kebangsaan dengan peradabannya yang unggul. Karena, para pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan dasar bernegara yang terumuskan dalam Pembukaan UUD 45 dan Pancasila.
Masyarakat majemuk
Ia menegaskan, dalam masyarakat Indonesia yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan koperatif sangat diperlukan demi kepentingan yang jauh lebih besar, menjaga keharmonisan berbangsa dan mensejahterakan rakyat.
“Indonesia sebagai entitas bangsa ýang utuh dan solid bukanlah warisan turun-temurun, tetapi merupakan cita-cita dan mimpi bersama yang belum jadi, sehingga mesti diwujudkan dan diperjuangkan dari generasi ke generasi,” tegasnya.
Komaruddin mengungkapkan berbagai persoalan dan tantangan dengan berbagai karakter berbeda terus terjadi, menyusul pengaruh dan kekuatan multinasional baik dalam aspek ekonomi, politik maupun ideologi.
Sementara itu munculnya gelombang demokratisasi yang diikuti desentralisasi kekuasaan dan ekonomi tidak diikuti kesiapan mental dan wawasan bernegara secara rasional. Akibatnya, yang muncul di permukaan adalah hiruk pikuk menyuarakan hak kebebasan tanpa dibarengi ketaatan pada hukum.
“Apa yang disebut sense of citizenship dan sense of civility dikalahkan oleh bising suara kerumunan massa, terutama kebisingan di media sosìal, yang penuh cacian dan saling hujat. Kalau dulu ada istilah floating mass, massa mengambang, maka sekarang ada floating political party. Partai politik yang mengambang, ke bawah tidak berakar kuat, ke atas tidak jelas prestasi pemikiran, karya dan kader-kader terbaiknya. Bahkan banyak yang jadi penghuni penjara,” katanya.
Organisasi keumatan
Sementara itu, Ketua Umum DPP PIKI Baktinendra Prawiro mengungkapkan dinamika kehidupan kebangsaan Indonesia dalam dekade terakhir membawa dampak sosial yang seolah divergen. Pada satu sisi kemajuan demokrasi dan HAM mendapat perhatian setelah puluhan tahun sebelumnya kehilangan tempat dalam diskursus bahkan praktek kebangsaan. Namun, disisi lain, atas nama demokrasi dan HAM itu sendiri, kelompok radikal tumbuh dan menjadi ancaman serius bagi keutuhan bangsa dan negara.
Selama itu pula terdapat ruang kosong dalam diskursus mengenai dasar bernegara di Indonesia yang majemuk dan plural yang sebenarnya sudah dirancang bangsa kita secara lengkap dan futuristik. “Oleh karena itu, PIKI terpanggil untuk mengisi ruang tersebut bersama elemen organisasi keumatan Kristen lainnya, bahkan bersama kelompok cendekiawan dan elemen bangsa lain yang sadar akan pentingnya mempertahankan Negara Kesatuan RI,” kata Baktinendra.
Karena itu dalam memenuhi panggilan tersebut, PIKI terus mengindentifikasi diri sebagai organisasi inteligensia yang mengedepankan intelektualitas dan bobot akademik,serta berlandaskan nilai-nilai kristiani dalam merespon perubahan serta mendorong gagasan – gagasan perubahan.
Baktinendra menegaskan, selain memberi pengaruh dan dampak bagi lingkungannya secara kontekstual, PIKI juga diharapkan bisa bergerak menjadi aktor utama bersama komponen bangsa lainnya dalam upaya mewujudkan kehidupan kebangsaan Indonesia sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Ketua Panitia Rakernas dan KLB PIKI 2017 Mamberob Y Rumakiek menambahkan Rakernas yang diikuti pengurs DPP, DPD, dan DPC PIKI se – Indonesia, serta undangan khusus mengusung tema “Menegaskan Keindonesiaan Kita (Menapaki Pasang Surut Komitmen Kebangsaan Dan Realitas Kekinian Kita). Kegiatan yang dibuka, Jumat kemarin, akan berlangsung selama tiga hari (7-9 Juli 2017) di Hotel Merlyn Park Jakarta.
Rakernas dan KLB diisi dengan Study Meeting yang dibagi dalam dua sesi. Pertama materi tentang Oikumene/ Gereja : “Positioning & Kontekstualisasi Bergereja Di Tengah Gesekan Sosial & Radikalisme Agama”. Kedua, materi tentang Pendidikan/PT: “Strategi Perguruan Tinggi Kristen Menjawab Tantangan Akselerasi Peradaban“. Sejumlah tokoh dari lembaga keumatan maupun pimpinan perguruan tinggi menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.