Quraish Shihab: Nasionalisme dan Persatuan adalah Fitrah
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cinta tanah air adalah manifestasi dan dampak keimanan. Demikian pula persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai dan tak semestinya dicabik-cabik.
Hal ini ditegaskan Quraish Shihab dalam khotbah shalat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Minggu (25/6). Hadir menunaikan shalat Id di Masjid Istiqlal antara lain Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta sejumlah menteri Kabinet Kerja, antara lain Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menko Polhukam Wiranto.
Menurut Quraish, karena manusia diciptakan Allah dari tanah, tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air merupakan fitrah, yakni naluri manusia. Tanah air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segalanya bagi kita. Sebaliknya, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fitrah, naluri manusia. ”Karena itu, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air adalah manifestasi dan dampak keimanan,” ujar Quraish, yang juga pendiri Pusat Studi Al Quran.
Oleh karena itu, Allah menyandingkan iman dengan tanah air sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air. Sebab, lanjutnya, Allah berfirman, ”Allah tidak melarang kamu berlaku adil kepada siapa pun, walau bukan Muslim, selama mereka tidak memerangi kamu dalam agama atau mengusir kamu dari negeri kamu.”
Apabila seseorang mencintai sesuatu, lanjutnya, dia akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya, menyempurnakan kekurangannya, serta bersedia berkorban untuknya. Demikian pula tanah air kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, sudah seharusnya dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara kesatuan dan kemakmurannya. ”Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai,” ujar Quraish.
Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat adalah bentuk siksa Allah. Hal tersebut, kata Quraish, diuraikan Al Quran menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al Quran sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Ilahi, tetapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka. Dua negara yang dicontohkan seperti ini adalah Yugoslavia dan Uni Soviet. Indonesia semestinya tidak mencontoh apa yang terjadi di kedua negeri itu.
Dengan demikian, persatuan dan kesatuan hendaknya dipelihara. Sebab, lanjut Quraish, Allah berpesan, di hari raya, hendaklah kita bertakbir.
Kalimat takbir merupakan satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Kalimat takbir juga pusat dengan di sekelilingnya beredar sejumlah orbit unisentris. Ini mirip dengan Matahari yang beredar di sekeliling planet-planet tata surya. Di sekeliling tauhid itu, beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari tauhid, sebagaimana planet-planet di tata surya. Jika berpisah, akan terjadi kehancuran.
Tiga jenis kesatuan
Terdapat tiga jenis kesatuan yang disampaikan dalam khotbah tadi pagi. Pertama, kesatuan seluruh makhluk, karena semua makhluk, kendati berbeda, namun diciptakan dan dibawa kendali Allah. Kedua, kesatuan kemanusiaan. Dalam kesatuan jenis kedua ini disebutkan, semua manusia berasal dari tanah, dari Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun sudah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu, siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, dia bagaikan membunuh semua manusia. Dan, siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang, dia bagaikan telah menghidupkan semua orang. Bahkan, jika ada manusia yang menyebarkan teror, mencegah tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan kedamaian, maka kemanusiaan harus mencegahnya.
Kesatuan ketiga adalah kesatuan bangsa. Kendati berbeda agama dan suku, berbeda kepercayaan dan pandangan politik, semua bersaudara dan berkedudukan sama dari kebangsaan. ”Karena itu, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, beliau telah memperkenalkan istilah lahum ma lanaa wa ’alaihim maa ’alaina, mereka yang tidak seagama dengan kita memiliki hak kewargaan sebagaimana hak kita kaum Muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban kewargaan sebagaimana kewajiban kita. Dan, karena itu pula, tegas Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Prof Ahmad at-Thayyib, ’Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaan negara, tidak ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama’,” tutur Quraish, yang menjabat Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII (1998) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.