Jurnalisme Keberagaman Kunci Konsolidasi
JAKARTA, KOMPAS — Penjabaran jurnalisme keberagaman menjadi kunci konsolidasi demokrasi Indonesia setelah Reformasi 1998. Tanpa pemahaman dan penghormatan keberagaman dalam pemberitaan media, demokrasi Indonesia bisa kembali ke titik nol.Pendiri Serikat Jurnalis untuk Kedamaian (Sejuk) Usman Kansong dalam diskusi buku Jurnalisme Keberagaman di Kantor Staf Presiden, di Jakarta, Selasa (14/3), mengatakan, tantangan menguatnya identitas kelompok setelah Reformasi 1998 karena selama puluhan tahun dipendam harus disikapi dengan penerimaan atas beragam perbedaan dalam masyarakat Indonesia. "Pemberitaan harus menghormati keberagaman dan keberadaan media adalah untuk mengabdi pada keberlangsungan keberagaman Indonesia dari segala segi, suku, kelompok, agama, dan lain-lain perbedaan. Itu dimunculkan dalam bentuk empati kepada korban, kelompok minoritas, dan mengangkat perspektif damai," ujar Usman.Tenaga Ahli Madya Deputi IV Komunikasi Kantor Staf Presiden Sujayanto mengingatkan, pada era keterbukaan, sangat mengemuka cara pandang kita atau mereka dalam wacana di ruang publik. "Transisi demokrasi kita mau berhasil dengan konsolidasi seperti Amerika Serikat atau demokrasi dibajak dan menjadi negara gagal seperti Pakistan," katanya.Dia mengingatkan, pekerja media pun dalam survei Yayasan Pantau tahun 2009 diketahui 60 persen lebih tidak menghargai perbedaan terkait kelompok keagamaan. Direktur Utama Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Muhammad Sofa mengatakan, toleransi masyarakat Bali bisa dijadikan acuan bagi jurnalisme keberagaman. "Perbedaan identitas tapi satu dalam kerukunan," kata Sofa. (ONG)