Tambang, Suara Kritis Pemuda, dan Jejak Demokrasi Kesultanan Ternate
Pemuda Maluku Utara mengkritik dampak pertambangan nikel tidak lepas dari sejarah masyarakat hidup dalam iklim demokratis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F16%2Fbdcb4c3d-e91a-46c4-9b54-f290c6362a55_jpg.jpg)
Salah satu sudut bangunan di Benteng Fort Oranje di Ternate, Maluku Utara. Beberapa bangunan difungsikan sebagai tempat berkumpul berbagai kalangan. Setiap sore sampai malam, kawasan ini ramai dikunjungi masyarakat Ternate.
Pengeras suara kedai kopi yang ada di salah satu pojok benteng terbesar peninggalan Belanda di Kota Ternate, Maluku Utara, berdengung pada Jumat (8/9/2023) malam. Beberapa pemuda berdatangan lalu mengisi kursi yang sudah disusun di sekelilingnya. Mulanya sekitar sepuluh orang, namun makin malam makin banyak pemuda yang berkumpul di bawah cahaya temaram Benteng Oranje.
Selain ramai oleh mereka yang datang secara langsung, perkumpulan tersebut juga dihadiri sejumlah orang secara daring. Mereka terhubung lewat sambungan video daring yang tampilannya ditembakkan ke salah satu bagian dinding. Satu per satu dari para pemuda itu lalu mengambil kesempatan untuk berbicara dalam diskusi yang diadakan oleh Sentral Organisasi Pelajar Mahasiswa Indonesia (Seopmi) Halmahera Timur, Maluku Utara, tersebut.
Diskusi yang dimulai sekitar pukul 20.00 belum selesai hingga hari berganti. Suara senada dari mereka yang sama-sama mengkritisi dampak pertambangan nikel di Maluku Utara terdengar meramaikan benteng yang kini digunakan sebagai kompleks museum, kantor sejumlah dinas pemerintahan, dan berseberangan dengan markas Koramil 1501-01/Ternate.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F20%2Febd5b7e7-6686-48f3-b331-fcabf8ffa212_jpg.jpg)
Suasana diskusi yang membahas tentang dampak negatif pertambangan nikel di Maluku Utara. Diskusi yang melibatkan akademisi, aktivis, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu dilaksanakan di kedai kopi Sabeba, Kota Ternate, Maluku Utara, Sabtu (9/9/2023).
Belum reda suara kritis yang dibangun dari salah satu sudut Benteng Oranje, diskusi serupa kembali diadakan di sebuah kedai kopi lain yang berjarak tak sampai 1 kilometer dari sana, sehari setelahnya. Pada Sabtu (9/9/2023) pukul 20.00 malam, kaum muda Maluku Utara memenuhi kedai kopi Sabeba untuk menyimak diskusi soal tambang. Namun, berbeda dengan agenda di benteng, kali ini diskusi menghadirkan lebih banyak kalangan, mulai dari akademisi, aktivis lingkungan, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku Utara.
Tak hanya di ruang-ruang diskusi, suara kritis memprotes dampak tambang juga diserukan lewat demonstrasi. Pada awal September, sejumlah mahasiswa asal Halmahera Tengah berunjuk rasa di kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Jakarta. IWIP merupakan perusahaan kawasan industri logam berat yang menaungi beberapa perusahaan tambang nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Dua pekan setelahnya, demonstrasi dengan tuntutan serupa juga digelar warga di kediaman Gubernur Maluku Utara di Kota Ternate.
Meski protes berasal warga dari wilayah berbeda dan dilakukan di lokasi yang berbeda-beda pula, bergaungnya aspirasi terhadap dampak pertambangan nikel di Maluku Utara dipicu oleh peristiwa yang sama. Sejak Agustus lalu, ada dugaan pencemaran yang terjadi di Sungai Sagea. Air sungai yang mengalir di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, itu keruh bahkan memerah selama lebih dari sebulan sehingga tak bisa digunakan warga.
Baca juga: Menjaga Harapan Demokrasi yang Realistis
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F20%2Fd98dca18-75b9-4330-80e1-08c7dd93e6b2_jpg.jpg)
Kondisi Sungai Sagea di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Kamis (7/9/2023). Indikasi pencemaran Sungai Sagea yang terjadi sejak Agustus 2023 memicu gerakan kaum muda untuk memprotes dampak pertambangan nikel di Maluku Utara secara keseluruhan.
Padahal, Sungai Sagea merupakan sumber air utama warga setempat, bahkan menjadi bahan baku pengolahan air minum kemasan oleh badan usaha milik desa. Lebih dari itu, Sungai Sagea merupakan bagian dari bentang karst perbukitan Boki Maruru. Oleh karena itu, pencemaran yang terjadi di sungai itu dianggap menandai kerusakan yang jauh lebih besar, yakni kawasan karst yang terdiri dari perbukitan, goa, hingga sungai. Selama ini, kawasan karst merupakan destinasi wisata penggerak ekonomi sekaligus tempat bersejarah yang sarat dengan nilai kearifan lokal tentang keseimbangan hidup masyarakat dengan alam.
Berjejaring
Dugaan pencemaran di tengah krusialnya peran Sungai Sagea memantik gejolak masyarakat. Apalagi, indikasi pencemaran itu diduga terjadi karena aktivitas pertambangan. Komunitas warga yang berhimpun dalam Koalisi Save Sagea melalui pantauan citra satelit pada April-Juli 2023 menemukan pembukaan hutan untuk pembangunan jalan perusahaan tambang. Pembukaan areal hutan ini yang dicurigai membuat perbukitan dengan mudah tergerus hujan sehingga menciptakan lumpur cokelat yang mengubah warna Sungai Sagea.
”Karena itu, kami mulai menyebarkan kampanye penyelamatan Sungai Sagea melalui jejaring mahasiswa, komunitas, akademisi,” kata Adlun Fiqri, Juru Bicara Koalisi Save Sagea yang ditemui di Sagea pada awal September lalu.

Juru Bicara Koalisi Save Sagea Adlun Fiqri ketika ditemui di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, Kamis (7/9/2023). Koalisi Save Sagea menuntut pemerintah setempat menginvestigasi dugaan pencemaran limbah tambang nikel yang sudah mulai terjadi pada kawasan Sungai Sagea.
Muhammad Aris, pengajar di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Khairun, Kota Ternate, mengungkapkan, diskusi dengan Koalisi Save Sagea dilakukan secara intens. Ia yang aktif meneliti kualitas air dan biota laut hampir di seluruh kawasan teluk Pulau Halmahera itu pun terus menyebarkan hasil penelitiannya yang menemukan indikasi pencemaran dan kerusakan ekosistem laut baik ke sesama pengajar maupun mahasiswa. Awal September, selain menjadi pembicara di kedai kopi Sabeba, Aris juga turut hadir sebagai peserta dalam diskusi yang diadakan Seopmi Halmahera Timur di Benteng Oranje.
Ketua Umum Seopmi Halmahera Timur Ambuau Hi A Lambutu mengatakan, dampak lingkungan dan sosial ekonomi dari pertambangan juga mendera warga Halmahera Timur. Sebagai kabupaten dengan cakupan wilayah konsesi tambang terbesar se-Maluku Utara, belum ada manfaat dari keberadaan tambang yang dapat dirasakan oleh warga. Alih-alih ada peningkatan kesejahteraan, Halmahera Timur justru menjadi kabupaten termiskin se-Maluku Utara berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2021-2022.
”Tidak ada alasan bagi kami untuk mendiamkan persoalan ini. Diskusi dan aksi untuk menjajaki situasi hari ini (juga) sudah seharusnya kami lakukan sebagai upaya kritis menemukan solusi atas persoalan tambang di Maluku Utara,” kata Ambuau.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F04%2Fa1de8b36-b142-4cce-9c2e-83002fb8e8b8_jpg.jpg)
Smelter PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Dampak pertambangan pada warga Maluku Utara berpotensi terjadi di sebagian besar wilayah. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, hingga tahun 2022 sudah ada 108 izin usaha pertambangan (IUP) dengan cakupan wilayah 637.370 hektar atau seperlima luas wilayah provinsi tersebut. Izin dimaksud terbagi menjadi IUP eksplorasi (6 izin), IUP produksi (100 izin), dan IUP khusus (2 izin). Beberapa di antaranya bagian dari proyek strategis nasional (PSN).
Merujuk Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar PSN, pembangunan PSN di Maluku Utara di antaranya Kawasan Industri Weda Bay dan Kawasan Industri Pulau Obi.
Mengakar
Bahu-membahu warga Maluku Utara untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang berkelindan dengan kepentingan ekonomi bukan pertama kali dilakukan saat menyikapi dampak pertambangan nikel. Pola itu sudah dipraktikkan sejak lama ketika wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil di Maluku dan Maluku Utara itu masih berada di bawah naungan Kesultanan Ternate dan Tidore. Kedua kesultanan tersebut sempat berada di bawah kekuasaan Belanda, baik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) maupun Pemerintah Kolonial Belanda.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F17%2Fd66c5607-a8aa-4525-9ba4-3b882e39a108_jpg.jpg)
Simbol Goheba Madopolo Romdidi yang melekat di bendera Kesultanan Ternate di Maluku Utara. Simbol berbentuk burung berkepala dua, berbadan satu, dan berhati satu menunjukkan penguasa dan rakyatnya, dan sesama manusia, harus bersatu untuk bisa mencapai tujuan-tujuan bersama.
Merujuk M Adnan Amal dalam bukunya, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, klan Tomagola dari Ambon pernah melakukan pemberontakan untuk melawan monopoli VOC sekaligus membangkang dari perintah Sultan Hamzah pada 1641. Pemberontakan terhadap kolonialis yang bersatu dengan monarki itu juga dilakukan oleh Salahakan Majira di Seram pada 1655.
Selain melawan kekuatan gabungan penguasa lokal dan kolonial, perlawanan bahkan pemakzulan juga dilakukan terhadap sultan yang dianggap melanggar nilai-nilai adat. Adnan mencatat, pada 1783 rakyat Tidore memakzulkan Sultan Patra Alam dan menurunkan Sultan Kamaluddin dari takhta pada 1797. Sebelumnya, para bobato (kumpulan pembantu sultan setara menteri) Ternate juga melakukan pembangkangan terhadap Sultan Mandarsyah pada 1648. Sekitar dua abad setelahnya, pemberontakan untuk melawan Sultan Muhammad Zain juga digencarkan pada 1847.
Jo Hukum Soa Sio atau Menteri Dalam Negeri Kesultanan Ternate Gunawan Yusuf Radjim menjelaskan, sejak dibangun pada abad ke-13, kesultanan membentuk sistem pemerintahan yang memungkinkan bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya. Tidak hanya terkait dengan kebijakan, tetapi juga dalam pengangkatan pemimpin tertinggi, yakni sultan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F16%2F1f55967c-9cb1-416f-bb11-add755798085_jpg.jpg)
Gunawan Yusuf Radjim
Aspirasi publik diserap oleh perwakilannya yang ditempatkan dalam institusi yang disebut bobato. Bobato terdiri dari 18 orang perwakilan seluruh golongan masyarakat yang bertugas sebagai pembantu sultan atau setara menteri.
Tidak hanya warga asli Ternate yang punya porsi untuk menjadi bobato, mereka yang berasal dari suku dan etnis lain, misalnya, Jawa, Melayu, Arab, dan China juga memiliki perwakilan. Keragaman itu tidak terlepas dari konteks penduduk yang juga beragam. Sebagai kota yang menjadi pusat perdagangan rempah dunia, Maluku Utara merupakan tempat tinggal warga pedagang dari banyak tempat baik Nusantara maupun dunia. Sebagian dari mereka hidup membaur dengan warga setempat dan membutuhkan representasi politik.
Bobato tidak hanya memiliki hak untuk memilih dan mengangkat sultan. Mereka juga bertugas mengawasi jalannya pemerintahan serta berwenang untuk menghukum sultan ketika melanggar konstitusi. Oleh karena itu, menurut Gunawan, keberadaan sultan yang didampingi bobato merepresentasikan semangat trias politika dalam konsep demokrasi modern yang membagi tugas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sejak dibangun pada abad ke-13, kesultanan membentuk sistem pemerintahan yang memungkinkan bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya.
”Melalui bobato, rakyat juga bisa memakzulkan sultan jika melanggar konstitusi. Itu pernah terjadi pada sultan ke-42, Sultan M Zain, yang memerintah pada abad ke-19,” tutur Gunawan saat ditemui di Benteng Oranje, pertengahan September.
Pemerintahan juga semakin dinamis karena konstitusi kesultanan memuat konsep doru gam. Hukum adat itu mewajibkan sultan untuk menemui dan mendengarkan aspirasi rakyat secara berkala. Ada pula kewajiban untuk menyelenggarakan legu gam atau pesta rakyat yang diselenggarakan di sekitar kedaton (keraton). Dalam acara itu ada sejumlah tarian leluhur yang ditampilkan, salah satunya tarian bermuatan kritik terhadap kebijakan kesultanan yang harus disimak oleh sultan sejak awal hingga akhir tarian.
Baca juga: Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara
Struktur pemerintahan, model pengawasan, dan sistem hukum tersebut masih berlaku hingga saat ini kendati kesultanan telah menjadi bagian dari Republik Indonesia. Itu menjadi kearifan lokal dan budaya yang melekat pada kehidupan warga sehari-hari. Apalagi, sistem nilai tersebut tidak hanya diterapkan di level kesultanan, tetapi juga di tingkatan akar rumput, yakni rukun tetangga dan rukun warga.

Ilustrasi. Suasana penganugerahan gelar adat "Dada Madopo Malomo" kepada Presiden Joko Widodo dari Kesultanan Ternate di Kedaton Sultan Ternate, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada Rabu, 28 September 2022.
”Dengan begitu, ada praktik kehidupan yang sangat demokratis. Rakyat selalu bisa menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap pemimpin. Pemimpin juga harus selalu siap, karena dia bisa diberhentikan jika kepemimpinannya tidak sesuai dengan kehendak rakyat,” ujar Gunawan.