Masyarakat Sipil Berharap MK Tolak Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres
Masyarakat sipil mengharapkan MK tidak terjebak dalam konflik kepentingan saat memutus uji materi norma batas usia capres dan cawapres.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural foto-foto Presiden RI tergambar di kawasan Cibuluh, Bogor, Sabtu (6/8/2022). Pemerintah bersama DPR, DKPP, KPU, dan Bawaslu memutuskan bahwa Pemilihan Presiden-Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD akan diselenggarakan serentak pada 14 Februari 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil merekomendasikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan uji konstitusionalitas norma batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka berpandangan pengaturan usia minimal capres dan cawapres bukanlah masalah konstitusionalitas dan menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Saat ini, MK sedang diminta untuk menguji konstitusionalitas norma batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur di dalam Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Pasal itu mengatur syarat capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun. Setidaknya ada tiga permohonan yang diajukan, yaitu dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersama empat warga (perkara 29/PUU-XXI/2023); permohonan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika (perkara 51/PUU-XXI/2023); serta permohonan yang diajukan sejumlah kepala daerah, seperti Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Emil Elestiano Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Mudhlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Albarraa (perkara 55/PUU-XXI/2023).
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Violla Reininda dalam diskusi daring ”Menilik Syarat Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden: Membaca Potensi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Potret Kepemimpinan Orang Muda”, Selasa (26/9/2023), menuturkan, permohonan itu bukanlah isu konstitusional. MK juga harus menghindari perubahan norma undang-undang pada menit-menit terakhir menjelang pemilu karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebaiknya, aturan batas usia minimal capres dan cawapres itu dibuat oleh pembentuk UU dengan kajian matang untuk memperlihatkan komitmen lembaga negara.
”Di dalam pengujian ini, ada potensi anomali putusan karena di dalam persidangan Ketua MK pernah menyampaikan ada kebutuhan kepemimpinan orang muda. Pernyataan itu perlu diwaspadai karena tanpa konteks dan berkaitan dengan potensi konflik kepentingan,” kata Violla.
DOKUMENTASI PRIBADI
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda
Selain Violla, hadir sebagai narasumber dalam diskusi itu adalah Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Charles Simabura, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati, dan Juru Bicara Blok Politik Pelajar Delpedro Marhaen.
Melihat tren putusan MK sebelumnya terkait syarat usia menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Violla khawatir putusan MK dalam perkara ini juga akan anomali. Padahal, seharusnya, pengaturan syarat usia minimal itu adalah ranahnya pembentuk undang-undang sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Itu dinilainya sebagai pekerjaan rumah pembentuk UU yang harus melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
”Putusan uji materi ini adalah ujian kredibilitas MK. Pasal 22 E Ayat (2) UUD 1945 jelas mengatur bahwa ketentuan soal pemilu diatur lebih lanjut dalam UU sehingga pembentuk UU diberikan keleluasaan untuk merumuskan bagaimana syarat usia yang memang layak untuk menduduki jabatan tertentu,” terangnya.
MK diharapkan tak mempertaruhkan marwahnya karena terlihat para pemohon dalam perkara ini terafiliasi dari tokoh politik tertentu. Afiliasi dari para pemohon adalah memanfaatkan tokoh politik tertentu untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Putusan ini menjadi krusial karena ada dimensi politik dan potensi konflik kepentingan.
Ini menyangkut marwah lembaga. MK seharusnya tidak terjebak dalam konflik kepentingan.
Charles Simabura berharap MK terbebas dari konflik kepentingan karena uji materi itu adalah ranahnya legislasi. Sebelum UU direvisi, harus ada kajian mengapa syarat minimal usia diatur dengan batas tertentu. MK sebagai penerjemah konstitusi yang hidup seharusnya menarik diri dari potensi konflik kepentingan. Sebab, sesuatu hal yang berkaitan dengan kepemiluan seharusnya diputuskan dalam forum partisipasi bermakna.
”Ini menyangkut marwah lembaga. MK seharusnya tidak terjebak dalam konflik kepentingan,” kata Charles.
Ia juga menduga mengapa yang dipilih uji materi di MK karena pemerintah tidak bisa membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Presiden berat untuk terlibat dalam pembuatan perppu karena akan sangat kental konflik kepentingan. Adapun dengan metode fast track legislation atau legislasi cepat juga tidak memungkinkan karena membutuhkan persetujuan bersama fraksi-fraksi parpol di DPR.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Charles Simabura, dosen sekaligus peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, ketika ditemui di Padang, Sumatera Barat, Jumat (13/9/2019).
”Kemudian perdebatan dibawa ke MK untuk menghindari dugaan presiden terlibat dalam kepentingan ini. MK harus membaca ini agar tidak terjebak pada upaya pragmatis kelompok yang terafiliasi dengan kekuasaan. Jaga marwah dengan tidak mengabulkan permohonan itu,” ucapnya.
Berdampak pada pemilu
Khoirunnisa Nur Agustyati menambahkan, MK mesti berhati-hati memutus perkara ini karena akan berdampak serius pada penyelenggaraan pemilu. Hal itu juga akan berpengaruh pada konfigurasi calon presiden dan calon wakil presiden. Dari sisi penyelenggaraan pemilu dibutuhkan asas kepastian hukum. Oleh karena itu, jika memang ingin mengubah aturan syarat minimal usia capres dan cawapres seharusnya adalah dengan merevisi UU Pemilu.
”Kalau kita menelisik ke belakang, pemerintah dan DPR sudah sepakat tidak mau merevisi UU Pemilu. Makanya, uji materi ini dilakukan di MK,” kata Khoirunnisa.
EDNA CAROLINE PATTISINA
Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perludem, yang mengingatkan tentang masa kerja DKPP 2017-2022 yang akan selesai 12 Juni 2022.
Menurut dia, terkait dengan isu kepemimpinan anak muda, memang saat ini potensi dan sisi demografinya besar. Namun, hal itu bukanlah isu substansial dalam uji materi norma pasal tersebut. Jika memang ingin mengafirmasi kepemimpinan anak muda, aturan sebaiknya tidak diubah menjelang pendaftaran capres dan cawapres.
Delpetro Marhen sepakat, isu soal kepemimpinan anak muda dalam uji materi ini hanya dijadikan dalih atau pintu masuk. Namun, semangat yang diusung sudah terlihat kentara bersumber dari pihak-pihak kekuasaan. Menurut dia, anak muda selalu ingin menentang status quo dan ingin membawa perubahan dalam politik dan pemerintahan. Anehnya, partai yang mengklaim anak muda justru menguji materi UU untuk melanggengkan kekuasaan.
”Saya yakin isu kepemimpinan anak muda ini lahir bukan dari diskusi anak-anak muda yang ingin membawa perubahan. Diskursus itu tidak pernah ada, tetapi tahu-tahu muncul menjelang pemilu. Ini memunculkan pertanyaan apakah bersumber dari perintah atau kehendak kekuasaan?” katanya.