Hasyim Asy’ari: Perspektif Waktu Masih Terpenuhi apabila Pilkada Dipercepat
Apabila jadwal pilkada maju menjadi September 2024, masih ada cukup waktu bagi pencalonan. Menurut Ketua KPU Hasyim Asy’ari, dari perspektif waktu, masih dapat terpenuhi ketika pilkada dipercepat.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asyari saat memimpin Upacara Pelantikan Anggota KPU 5 Provinsi dan 12 Kota/Kabupaten di Indonesia di halaman kantor KPU, Jakarta, Minggu (24/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menilai percepatan jadwal Pilkada Serentak 2024 tidak akan terganggu oleh masa penyelesaian sengketa Pemilu 2024. Meski optimistis, KPU dinilai perlu realistis dan memperhitungkan kemungkinan terburuk karena pelaksanaan pilkada yang semakin pendek.
Pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengubah jadwal pelaksanaan Pilkada 2024 dari 27 November 2024 menjadi September 2024.
Pencalonan pilkada dari parpol atau gabungan parpol menggunakan hasil jumlah kursi DPRD dari Pemilu 2024. Adapun Pemilu 2024 berlangsung pada 14 Februari.
Terkait hal itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengutip Undang-Undang Pemilu yang menyebut waktu penetapan suara parpol calon anggota DPRD kabupaten/kota paling lambat 20 hari seusai pemungutan suara. Sementara parpol calon anggota DPRD provinsi paling lambat 25 hari, sedangkan parpol calon anggota DPR paling lambat 35 hari seusai pemungutan suara.
”Paling lama 35 hari ke depan setelah 14 Februari 2024 itu kira-kira 20 Maret 2024. Dengan demikian, pada 20 Maret 2024 bisa diketahui partai apa dapat suara berapa atau dapat kursi berapa di DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi; karena itu akan dijadikan bekal untuk pencalonan dalam pilkada,” ujarnya seusai pelantikan sejumlah anggota KPU provinsi serta kabupaten/kota di Jakarta, Minggu (24/9/2023).
Sementara itu, apabila jadwal pilkada maju menjadi September 2024, masih ada tiga bulan, yakni Juni 2024, untuk pencalonan. Menurut Hasyim, dari perspektif waktu, masih dapat terpenuhi apabila pilkada dipercepat.
Selain itu, berkaca pada Pemilu 2019, sebagian besar sengketa, baik di tingkat DPR maupun DPRD, merupakan perselisihan antarcalon, bukan antarpartai. Artinya, hal tersebut bisa diselesaikan dalam internal partai di daerah pemilihan (dapil) yang sama.
Saat ini, lanjut Hasyim, KPU tengah mengkaji mekanisme panitia penyelenggara, misalnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Dalam konteks ini, pertimbangannya adalah menggunakan pihak yang sama, baik untuk pemilu maupun pilkada, atau opsi lainnya.
”Sedang kami kaji (tentang pihak PPK dan PPS). Karena mereka, kan,mengerjakan dua hal yang berbeda. Satu mengerjakan pemilu, satu mengerjakan pilkada,” ucapnya.
Dari sisi anggaran pun berbeda, pemilu menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan pilkada memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jadi, lanjut Hasyim, apabila perekrut penyelenggara pemilu berlanjut, beban kerjanya bertambah. ”Itu yang sedang kami pikirkan,” ujarnya.
Realistis
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai KPU boleh saja optimistis, tetapi juga perlu realistis dan mempertimbangkan potensi terburuk. Dengan majunya jadwal pilkada, prosesnya tentu akan bersinggungan dengan tahapan pemilu.
Pilkada tak boleh dipandang sekadar memindah sistem pemilu ke daerah.
Sementara dalam pelaksanaan pemilu, KPU kerap meralat dan mengubah jadwal tahapan, salah satunya waktu penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Beban yang harus ditanggung KPU kian berat dan, berkaca pada pemilu sebelumnya, rentetan gugatan berpotensi menerpa.
”Pilkada tak boleh dipandang sekadar memindah sistem pemilu ke daerah. Tidak sesederhana itu dan banyak aspek yang perlu diperhatikan,” tutur Kaka.
AYU OCTAVI ANJANI
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta dalam konferensi pers di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (14/4/2023).
Beratnya beban yang perlu ditanggung KPU juga bisa memicu pelanggaran kode etik. Hal ini yang harus diperhatikan. Sebab, dalam sidang kode etik, terlapor harus hadir dalam persidangan sehingga apabila KPU yang digugat bisa terganggu fokusnya.
Pada Minggu (24/9/2023), Hasyim melantik 91 anggota KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sebanyak 60 orang di antaranya berasal dari 12 kabupaten/kota, masing-masing lima orang. Pada tingkat provinsi berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara yang masing-masing tujuh orang, kemudian DI Yogyakarta dan Bali masing-masing lima orang.
Ia berpesan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu harus bisa melayani secara setara dua pihak, yakni peserta dan pemilih dalam pemilu. Selain itu, anggota KPU yang baru saja dilantik harus bisa beradaptasi dengan ritme penyelenggara pemilu, termasuk bagi anggota yang belum pernah berdinamika di KPU.
”Kita harus tetap kompak, saling mengingatkan satu sama lain. Kemudian, kalau mulai ada keluhan-keluhan badan kurang enak, maka kemudian harus segera ditangani,” katanya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para anggota Komisi Pemilihan Umum yang akan dilantik memasuki lapangan Upacara Pelantikan Anggota Komisi Pemilihan Umum 5 Provinsi dan 12 Kota/Kabupaten di Indonesia di halaman kantor KPU, Jakarta, Minggu (24/9/2023). Sebanyak 91 petugas KPU dari 5 provinsi dan 12 kota/kabupaten di Indonesia dilantik untuk periode jabatan 2023-2028.