Bekas Dirut Pertamina Karen Agustiawan Kembali Ditahan
KPK menetapkan Karen Agustiawan, bekas Dirut PT Pertamina, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina. KPK menahan Karen.
Oleh
IQBAL BASYARI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bekas Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan digiring petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjalani ekspose penahanan dirinya di Gedung Juang KPK, Jakarta, Selasa (19/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 Karen Agustiawan terkait dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas di PT Pertamina tahun 2011-2021. Dia diduga secara sepihak memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan asing tanpa kajian hingga analisis menyeluruh sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.
”KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup sehingga mengumumkan tersangka GKK atau KA Direktur Utama PT Pertamina Persero 2009-2014. Untuk kebutuhan penyidikan, penyidik akan menahan tersangka selama 20 hari pertama terhitung sejak 19 September-8 Oktober di rumah tahanan KPK,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri di Jakarta, Selasa (19/9/2023) malam.
Sebelumnya, pada pertengahan 2019, Karen divonis pidana penjara 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider empat bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus korupsi investasi pada Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia senilai Rp 568 miliar.
Namun, awal 2020, Mahkamah Agung melepaskan Karen dari segala tuntutan hukum terkait dugaan korupsi dalam investasi blok BMG. MA beralasan, perbuatan Karen bukan tindak pidana karena perbuatan itu dilindungi prinsip hukum korporasi business judgment rule. Kala itu, ia sudah menjalani hukuman 1,5 tahun penjara.
Bekas Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan digiring petugas KPK menuju mobil tahanan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Pengadaan LNG
Dugaan tindak pidana korupsi LNG itu bermula pada tahun 2012 saat PT Pertamina berencana melakukan pengadaan LNG sebagai alternatif terjadinya defisit gas di Tanah Air. Saat itu, diperkirakan Indonesia mengalami defisit gas dalam kurun waktu 2009-2040 sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, industri pupuk dan petrokimia. Sebagai Dirut Pertamina kala itu, Karen dianggap secara sepihak mengeluarkan kebijakan untuk bekerja sama dengan sejumlah produsen dan supplier LNG dari luar negeri, termasuk perusahaan Corpus Christi Liquifaction (CCL) dari Amerika Serikat.
”Saat pengambilan kebijakan itu, KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan perusahaan CCL tanpa kajian hingga analisis menyeluruh, dan tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina,” ujarnya.
Firli menambahkan, Karen juga tidak melaporkan kepada pemerintah terkait kebijakan itu saat rapat umum pemegang saham (RUPS) sehingga pemerintah mengklaim tidak memberikan restu atas kebijakan sepihak itu. Kemudian, dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik PT Pertamina yang dibeli dari perusahaan asing itu tidak terserap di pasar domestik. Hal itu berakibat terjadinya kelebihan pasokan (oversupply) kargo LNG sehingga barang tidak pernah masuk ke Indonesia. Akhirnya, kargo LNG harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional.
Atas perbuatannya itu, Karen diduga menimbulkan kerugian negara senilai 140 juta dollar AS atau setara Rp 2,1 triliun. Ia pun dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Nilai kerugian negara itu ditetapkan berdasarkan perhitungan ahli. Apa yang kita temukan hari ini berdasarkan alat bukti sebagaimana diatur di Pasal 184 (KUHAP) ada keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan ahli. KPK tidak akan pernah melakukan lompatan dalam proses penyidikan,” tutur Firli.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua KPK Filri Bahuri memberikan keterangan kepada wartawan seusai pelantikan Johanis Tanak sebagai Wakil Ketua KPK merangkap anggota pimpinan KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Firli menekankan bahwa KPK tidak pernah menarget seseorang sebagai tersangka kasus korupsi. KPK berpijak pada proses penyidikan, karena kerja-kerja KPK akan diuji di penuntutan dan pengadilan. Media massa pun terus mengikuti proses akhir dari penyidikan dugaan tindak pidana korupsi LNG tersebut.
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, untuk memisahkan suatu kasus merupakan konsekuensi dari risiko bisnis atau korupsi cenderung tipis. Namun, ada sejumlah parameter yang bisa digali KPK untuk menemukan tindakan korupsi yang dilakukan di ranah bisnis, antara lain ada atau tidaknya benturan kepentingan, keberadaan unsur fraud, dan kickback.
Di sisi lain, KPK harus menemukan kesalahan prosedur bisnis yang dilakukan Karen. Sebab, dalam pengambilan keputusan bisnis, seharusnya didahului dengan kajian dan melalui persetujuan dewan komisaris. Terlebih, pengambilan kebijakan memiliki risiko yang sangat besar, dibutuhkan kajian dan keputusannya mengikuti prosedur.
”Kalau tidak ada fraud, tidak ada kickback, dan tidak ada benturan kepentingan, maka yang terakhir bertumpu pada ada atau tidaknya kelalaian atau kesalahan prosedur yang dilakukan Karen,” ujarnya.