Di Balik Kembali Kandasnya Koalisi PDI-P dan Demokrat
Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sempat berkirim pesan singkat kepada Ketua DPP PDI-P Puan Maharani setelah Demokrat memutuskan untuk mengusung bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS
Ilustrasi PDI-P, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat
Dua pekan awal September 2023 jadi masa krusial bagi Partai Demokrat. Setelah keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, partai politik yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono itu harus berjibaku berkomunikasi dan menggencarkan lobi ke dua koalisi untuk menentukan sikap pada Pemilihan Presiden 2024. Berbagai pertimbangan taktis dan strategis dibicarakan. Namun, persahabatan menjadi akhir penentu pilihan.
Rombongan elite Partai Demokrat yang dipimpin Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono, dan Wakil Ketua Umum Edhie Baskoro Yudhoyono berdiri tegak mendengarkan alunan mars partai yang dibawakan oleh kelompok marching band Partai Gerindra di kediaman Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (17/9/2023).
Dengan khidmat, mereka menyimak pertunjukan yang khusus ditampilkan untuk menyambut bergabungnya Demokrat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres) 2024. Lebih dari sekadar lagu, penampilan itu pun berarti lebih bagi Demokrat.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengungkapkan, penampilan itu memperkuat nuansa persahabatan di antara Demokrat dan Gerindra. Nuansa itu pula yang terbangun selama dua pekan terakhir. Hal itu pun menjadi pertimbangan utama Demokrat dalam menentukan sikap pada Pilpres 2024.
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) disambut oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) saat tiba di kediaman Prabowo di Hambalang, Jawa Barat, Minggu (17/9/2023).
”Kali ini, persahabatan mengalahkan segalanya, persahabatan sejati itulah yang sesungguhnya membuat ikatan dan energi itu bertambah, dan tidak mungkin berkhianat karena bersahabat,” kata Hinca saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Hinca mengakui, setelah keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) pada awal September, Demokrat menggencarkan komunikasi tidak hanya dengan Gerindra, tetapi juga dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mengusung bakal capres Ganjar Pranowo. Majelis tinggi memberikan waktu dua pekan kepada pengurus dewan pimpinan pusat (DPP) untuk menentukan pilihan di antara dua kubu koalisi itu. Namun, perbedaan intensitas komunikasi terasa dalam proses tersebut.
”Di minggu pertama sama hangatnya, intensif sekali. Tetapi, di minggu kedua, mulai sedikit melambat di sebelah sana (PDI-P), sedangkan di sini (Gerindra) terus semakin kencang,” kata Hinca.
KURNIA YUNITA RAHAYU
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Lebih dari perbedaan intensitas, anggota Majelis Tinggi Demokrat Syarif Hasan mengungkapkan, meski mengusung gagasan keberlanjutan program pemerintahan Presiden Joko Widodo, KIM bersedia menerima konsep perubahan dan perbaikan yang dikemukakan Demokrat. Hal ini yang tidak pernah didapatkan dari komunikasi dengan PDI-P sekalipun Agus Harimurti disebut sebagai salah satu kandidat pendamping Ganjar Pranowo.
”Komunikasi kami dengan PDI-P hanya di permukaan, tidak pernah mencapai hal yang substantif,” ujarnya.
Tak hanya itu, tambah Syarif, interaksi antara Demokrat dan PDI-P juga tak pernah melibatkan pimpinan tertinggi partai. Umumnya, komunikasi terjadi antarsekretaris jenderal. Agus Harimurti sebagai ketua umum pun hanya bisa berdiskusi dengan Puan Maharani, Ketua DPP PDI-P, bukan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Padahal, hal itu diperlukan karena Demokrat belum pernah berkoalisi dengan PDI-P untuk menghadapi pilpres. Berbeda dengan Gerindra yang pernah bekerja sama dengan Demokrat pada Pilpres 2019.
Setelah melewati dinamika komunikasi selama dua pekan itu, Demokrat melalui rapat majelis tinggi pada Minggu (17/9/2023) memutuskan untuk mendukung Prabowo. Dalam rapat, sejumlah anggota majelis tinggi mengungkapkan bahwa tidak ada perdebatan berarti yang terjadi. Hasil rapat itu pun disampaikan Agus Harimurti kepada Puan melalui pesan singkat.
”Telah terjadi dialog, diskusi yang cukup panjang. Tetapi, memang, waktu yang sangat terbatas, majelis tinggi partai harus mengambil keputusan. Maka, kami memutuskan hari ini. Mohon maaf belum bisa bersama di tahun 2024, tetapi komunikasi dan silaturahmi terus kita jaga untuk membangun negeri bersama-sama,” ujar Hinca memaparkan inti pesan yang dikirim Agus Harimurti kepada Puan.
Jamin keuntungan
Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman mengakui, dalam dua pekan terakhir pihaknya mengintensifkan komunikasi dengan Demokrat di semua level. Ia pun mengambil peran meyakinkan kader Demokrat di DPR yang berasal dari kalangan aktivis untuk bergabung mendukung Prabowo. Dalam komunikasi itu, semangat persahabatan antarparpol yang pernah berkoalisi, bahkan kedekatan antara Prabowo dengan Yudhoyono sejak masih menjadi tentara, juga menjadi pembahasan.
”Bekerja sama dengan Pak Prabowo setidaknya menjamin dua hal. Pertama, coattail effect untuk partai dan power sharing yang jelas,” kata Habiburokhman.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman menjawab pertanyaan awak media di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa (23/5/2023).
Menurut dia, dua hal itu bisa dilihat dari pengalaman pada Pilpres 2014. Saat itu, koalisi parpol pendukung Prabowo-Hatta Rajasa, misalnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), mendapatkan efek ekor jas yang jauh lebih besar ketimbang Gerindra. Hal itu terlihat dari penambahan jumlah kursi di DPR yang lebih signifikan daripada Gerindra. Adapun mengenai pembagian kekuasaan, Gerindra juga memberikan jatah kursi Ketua MPR yang semestinya didapatkan Gerindra kepada PAN.
Banyak variabel
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menghormati keputusan Demokrat meski selama beberapa waktu terakhir juga membangun komunikasi politik dengan partainya. Ada banyak variabel yang harus diperhatikan dalam membangun kerja sama menghadapi pilpres, salah satunya paduan strategi pemenangan pilpres dan pemilihan anggota legislatif (pileg).
”Ada parpol yang lebih mempertimbangkan pentingnya pileg sebagai prioritas, ada yang mementingkan pilpres, atau keduanya. PDI Perjuangan menempatkan keduanya dalam satu napas dan berkesinambungan secara historis dan ideologis serta berorientasi pada masa depan yang sejalan dengan Presiden Jokowi,” ujarnya.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (18/6/2023).
Menurut dia, apa yang terjadi dalam dinamika pembangunan kerja sama parpol menunjukkan adanya perbedaan paradigma. Ada parpol yang menjadikan kekuasaan presiden sebagai ambisi sehingga kerja sama harus dilakukan dengan sebanyak-banyaknya parpol. Ada pula yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hal tertinggi dalam kontestasi pilpres sehingga kerja sama antarparpol dilakukan secara gotong royong, sebagaimana dilakukan PDI-P.
”Karena paradigmanya berbeda, tentu implementasi dalam kerja sama politik juga berbeda,” kata Hasto.
Sejak relasi Yudhoyono dan Megawati merenggang menjelang Pemilu 2004, Demokrat dan PDI-P belum pernah bekerja sama dalam menghadapi pilpres. Dua dekade setelahnya, Agus Harimurti dan Puan Maharani, dua pimpinan partai yang juga anak dari kedua mantan presiden itu, mencoba mencairkan hubungan dan membuka peluang kerja sama kedua parpol dengan mengemukakan politik rekonsiliasi. Namun, hal itu belum bisa terwujud di Pilpres 2024.