Atasi Karut-marut Hukum, 55 Rekomendasi Tim Reformasi Hukum Diajukan ke Presiden
Tim Percepatan Reformasi Hukum merampungkan 55 rekomendasi dan peta jalan implementasi untuk membenahi karut-marut hukum. Salah satunya, bagaimana mencegah dan mengendalikan agar tak ada kebocoran di pengadilan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (kelima dari kiri) mengumumkan bahwa Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk sejak akhir Mei 2023 telah merampungkan rekomendasi, di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Rekomendasi itu selanjutnya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut Tim Percepatan Reformasi Hukum telah merampungkan 55 rekomendasi dan peta jalan implementasi untuk membenahi karut-marut hukum di Indonesia. Salah satu rekomendasi dari tim reformasi hukum yang akan disampaikan kepada Presiden ialah bagaimana mencegah dan mengendalikan agar tidak ada kebocoran KKN di pengadilan. Namun, caranya bisa dijangkau kewenangan eksekutif. Misalnya, jika harus merevisi undang-undang, terlebih dahulu menyiapkan naskah akademik dan rancangan draf.
Rencananya, rekomendasi itu akan diserahkan kepada Presiden pada pertengahan September. Saat konferensi pers, Mahfud didampingi Ketua Tim Percepatan Reformasi Sugeng Purnomo, Wakil Ketua Laode M Syarif, dan sejumlah anggota tim lainya, Selasa (22/8/2023).
Sejak dibentuk akhir Mei 2023, tim menyelesaikan pelaksanakan tugasnya di empat kelompok kerja utama. Selain reformasi peradilan dan penegakan hukum, reformasi agraria dan sumber daya alam, pencegahan dan pemberantasan korupsi, juga peraturan perundang-undangan. Mereka sudah menyampaikan laporan baik untuk strategi jangka pendek maupun jangka panjang.
Sebelumnya, Tim Percepatan Reformasi Hukum dibentuk seusai kasus korupsi pengurusan perkara di Mahkamah Agung terkuak. Melalui Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Hukum yang membentuk tim, tidak hanya berasal dari internal, tetapi juga eksternal pemerintah.
”Semua sudah selesai dan tinggal dirapikan. Insya Allah, pertengahan bulan depan akan kami laporkan kepada Presiden Joko Widodo karena tim ini dibuat atas instruksi Presiden saat terjadi berbagai kegaduhan tentang hukum baik perencanaan, pembuatan, maupun penerapannya,” katanya.
Terkait dengan substansi rekomendasi, Mahfud menyebut hal itu akan terlebih dahulu dilaporkan kepada Presiden. Rekomendasi diharapkan dapat menjadi kebijakan dari kementerian dan lembaga untuk mempercepat terwujudnya reformasi hukum di bidang aparatur hukum, regulasi, ataupun perbaikan budaya hukum masyarakat.
Semua sudah selesai dan tinggal dirapikan. Insya Allah, pertengahan bulan depan akan kami laporkan kepada Presiden Joko Widodo karena tim ini dibuat atas instruksi Presiden saat terjadi berbagai kegaduhan tentang hukum baik perencanaan, pembuatan, maupun penerapannya.
Sugeng Purnomo menambahkan, agenda prioritas reformasi hukum dijabarkan berdasarkan kegiatan, ukuran keberhasilan, jangka waktu, serta kementerian dan lembaga yang akan menjadi penanggung jawab pada setiap anggota prioritas. Agenda jangka pendek adalah kegiatan yang bisa dituntaskan pada tahun 2023 sebagai quick wins hingga Oktober 2024. Adapun agenda jangka panjang memuat agenda reformasi hukum yang akan menjadi masukan untuk pemerintahan berikutnya.
Peta jalan implementasi
”Meskipun demikian, kami tidak pantas untuk menyampaikan semua poin-poin itu sebelum dilaporkan kepada Presiden,” katanya.
Mahfud menambahkan, tim reformasi dibentuk dengan dasar ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum, terutama dari masyarakat menengah ke atas dan kalangan aktivis. Mereka tidak puas karena reformasi bidang hukum dianggap tidak berjalan dengan efektif. Pihak yang kritis itu pun kemudian diundang untuk berpartisipasi memberikan usul, masukan, tentang apa yang harus dilakukan pemerintah. Mereka tidak hanya diminta memetakan masalah, tetapi juga metodologi penyelesaiannya.
Mereka sungguh-sungguh bekerja bersama saya di sini untuk membuat metodologi, analisis, kesimpulan arah kebijakan seperti apa. Kami tidak pernah menghindari atau mengisolasi orang yang kritis. Semua kami undang ke sini untuk berdiskusi dengan terbuka.
”Mereka sungguh-sungguh bekerja bersama saya di sini untuk membuat metodologi, analisis, kesimpulan arah kebijakan seperti apa. Kami tidak pernah menghindari atau mengisolasi orang yang kritis. Semua kami undang ke sini untuk berdiskusi dengan terbuka,” ucapnya.
Hal ini selaras dengan hasil survei periodik Kompas periode Agustus 2023 yang menunjukkan 61,9 persen responden menyatakan puas terhadap kerja-kerja pemerintah di bidang penegakan hukum. Tingkat kepuasan sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan survei periode Mei 2023 yang hanya 59 persen.
Jika diturunkan lagi ke indikator yang lebih rinci, masih ada aspek kinerja yang sangat membutuhkan perbaikan, yaitu pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum. Hasil survei menunjukkan, hanya 44,5 persen responden yang puas dengan kinerja pemerintah dalam memberantas suap dan jual beli hukum. Aspek ini tercatat paling rendah tingkat kepuasannya dibandingkan dengan aspek menuntaskan kasus hukum atau kriminal, penuntasan kasus-kasus kekerasan oleh aparat/pelanggaran HAM, penjaminan perlakuan yang sama oleh aparat hukum kepada semua warga, dan pemberantasan KKN (Kompas, 22/8/2023).
Mahfud menyebut, kinerja penegakan hukum memang tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri karena melibatkan cabang kekuasaan lain, yaitu yudikatif atau peradilan. Pemerintah tidak bisa intervensi terlalu dalam karena pemisahan kekuasaan itu diatur dalam konstitusi. Tim reformasi hukum, lanjutnya, diminta secara spesifik merumuskan cara yang lebih baik agar tak terkesan eksekutif terlalu mengintervensi yudikatif.
”Menurut temuan Transparency International Indonesia (TII), ada korupsi politik atau konflik kepentingan di lembaga pengadilan. Ini nanti yang akan direkomendasikan peta jalan penyelesaiannya,” katanya.
Menurut temuan Transparency International Indonesia (TII), ada korupsi politik atau konflik kepentingan di lembaga pengadilan. Ini nanti yang akan direkomendasikan peta jalan penyelesaiannya.
Selain itu, pemerintah juga akan mencoba mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di pengadilan dengan pendekatan reformasi birokrasinya. Salah satu rekomendasi dari tim reformasi hukum yang akan disampaikan kepada Presiden itu adalah bagaimana mencegah dan mengendalikan agar tidak ada kebocoran KKN di pengadilan, tetapi dengan cara yang bisa dijangkau kewenangan eksekutif. Misalnya, jika perlu revisi undang-undang dengan menyiapkan naskah akademik dan rancangan drafnya.
”Dalam menghimpun bahan itu, kami juga bekerja sama dengan Mahkamah Agung, kementerian, dan lembaga lainnya. Kami menjelaskan masalah-masalah yang ada secara terbuka dan juga merumuskan bagaimana solusi yang bisa dilakukan bersama-sama sesuai tugas pokok, fungsi, dan kewenangan masing-masing,” ujarnya.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Bengkulu, Suryana, dikawal petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/9). Selanjutnya Suryana akan diperiksa secara mendalam oleh penyidik KPK, karena di duga menerima suap terkait penanganan perkara.
Jurang ketidakpuasan publik
Dihubungi secara terpisah, dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Azmi Syahputra, mengatakan, masih ditemukan adanya jurang ketidakpuasan publik terutama di bidang suap dan jual beli kasus hukum. Realitasnya, orang masih menggunakan hukum tidak untuk mencari keadilan, tetapi untuk menang.
Menurut Azmi, di ruang itulah, terbuka celah koruptif. Ia mengakui mafia peradilan masih ada. Keberadaan tim reformasi hukum itu juga masih menguatkan bahwa ada fenomena praktik hukum negatif yang diperdagangkan yang riil terjadi di masyarakat. ”Ada makelar hukum di sini, bahkan hukum jadi komoditas dan bisnis melalui korupsi serta penyalahgunakan kewenangan jabatan,” tegasnya.
Azmi menambahkan, untuk mereformasi hukum, undang-undang yang ada termasuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah cukup. Jika ingin memperkuat, lebih baik pada mekanisme penyadapan yang diberikan kepada aparat penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian untuk dapat dilakukan sejak awal penyelidikan. Ini dinilainya mempermudah penindakan hukum korupsi di lingkup pengadilan.