TNI Aktif Masih Diusulkan Jadi Penjabat, Disebut Fenomena Sekuritisasi
Peneliti Politik Keamanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Muhammad Haripin menilai, ada risiko sekuritisasi jabatan sipil dengan masuknya nama calon penjabat kepala daerah dari TNI/Polri aktif.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengusulan nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berlatar belakang perwira TNI aktif masih terus terjadi. Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XX/2022, prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Anggota Ombudsman RI (ORI), Robert Na Endi Jaweng, dihubungi Minggu (13/8/2023), mengatakan, jika sebelumnya ORI mendapatkan laporan dari 34 kantor perwakilan ORI di daerah tentang sejumlah nama perwira TNI dan Polri aktif untuk dicalonkan sebagai penjabat kepala daerah di 10 provinsi, kali ini juga ada usulan dari DPRD kabupaten. DPRD Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, mengusulkan Letnan Kolonel (Arm) Arif Yudho Purwanto sebagai salah satu dari tiga calon yang diajukan ke Kemendagri. Ia diajukan bersama dua nama lainnya, yaitu Sekretaris Daerah Bojonegoro Nurul Azizah dan Sekretaris DPRD Bojonegoro Edi Susanto.
Dalam surat resmi yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Bojonegoro itu, jabatan terakhir Letkol Arm Arif Yudho Purwanto adalah Irdyaintel Itutum Itdam V Brawijaya. ”Laporan itu masuk ke ORI pada Sabtu, 12 Agustus 2023 kemarin. Menyusul laporan dari 34 kantor perwakilan ORI di daerah sebelumnya,” kata Robert.
Sebelumnya, dalam konferensi pers di Kantor ORI, Jakarta, Kamis (10/8/2023), Robert juga menyayangkan masih adanya nama-nama perwira TNI dan Polri aktif yang diusulkan menjadi penjabat di 10 provinsi strategis yang masa jabatan gubernur dan wakil gubernurnya akan habis pada 5 September nanti. Meskipun ia enggan merinci DPRD provinsi mana saja yang mengusulkan itu, Robert sempat menyebut Provinsi Sulawesi Selatan. Di sana, ada dua nama baik perwira TNI maupun Polri aktif yang diusulkan menjadi penjabat kepala daerah.
DOKUMENTASI OMBUDSMAN
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng (kiri), menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan dugaan malaadministrasi dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah kepada Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro (kanan) yang disaksikan Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih.
Sesuai dengan rekomendasi laporan hasil pemeriksaan (LHP) ORI yang dikeluarkan pada Juli 2022, Kemendagri diminta mengangkat nama-nama calon penjabat kepala daerah dari kalangan sipil. Jika memang calon berasal dari prajurit TNI atau anggota Polri aktif, sesuai dengan putusan MK, mereka harus pensiun dini atau mundur dari kedinasan aktif.
”Kami sayangkan nama-nama calon dari tentara militer ataupun Polri itu masih ada. Ini kontradiktif dengan tindakan korektif Ombudsman sebelumnya yang melarang pengajuan nama-nama calon berlatar belakang aparat,” ungkapnya.
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XX/2022, MK menyoroti pengisian penjabat kepala daerah dari unsur TNI dan Polri. MK merujuk Pasal 47 UU No 34/2004 tentang TNI yang pada pokoknya mengatur prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Undang-undang itu juga mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal ini tertera dalam Pasal 28 Ayat 3 UU No 2/2002 tentang Polri. Ketentuan dalam UU TNI dan UU Polri itu sejalan dengan apa yang diatur dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang tersebut membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif (Kompas, 21/4/2022).
”Dulu, tentara aktif pernah lolos menjadi penjabat kepala daerah di Provinsi Aceh dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Walaupun untuk Penjabat Gubernur Aceh itu memang sudah pensiun dini. Kami sayangkan usulan TNI/Polri aktif ini masih muncul lagi setelah ada tindakan korektif dari ORI,” imbuhnya.
Sekuritisasi
Peneliti Politik Keamanan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Haripin berpandangan, masih adanya nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI atau Polri aktif berbahaya bagi supremasi sipil dan demokrasi di Indonesia. Sebab, walaupun aparat tersebut memiliki pangkat, kapasitas, atau pengalaman organisasi yang memenuhi persyaratan, mereka bukanlah sosok yang berpengalaman di pemerintahan sipil.
Jika mereka dipaksakan, baik mengakali atau menerabas aturan tetap dipaksakan sebagai penjabat, akan terjadi defisit kemampuan dalam hal pemerintahan daerah. Baik untuk pelayanan publik maupun transparansi penggunaan APBD, dan sebagainya. ”TNI atau Polri seharusnya profesional dan pengalaman mereka dalam hal pertahanan dan keamanan negara. Ini 180 derajat berbeda dengan kepemimpinan sipil. Birokrasi sipil lebih luas karena mengurusi hajat hidup orang banyak mulai dari pendidikan, kesehatan, sampai air bersih,” katanya.
Jika figur aktor pertahanan dan keamanan itu tetap dipaksakan lolos sebagai penjabat, ia juga khawatir akan terjadi risiko pelayanan terhadap masyarakat. Risikonya adalah sekuritisasi jabatan sipil. Para aktor keamanan ini dikhawatirkan akan menggunakan cara-cara yang represif untuk mengatasi gerakan masyarakat sipil. Baik itu represi dalam bentuk kekerasan langsung maupun kekerasan tidak langsung, seperti intimidasi, pembungkaman suara kritis dan kebebasan berekspresi dari masyarakat. ”Ini justru bisa mengancam peserta pemilu, partai-partai oposisi, ataupun masyarakat sipil yang di luar peserta pemilu,” katanya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhamad Haripin
Haripin juga menilai bahwa usulan nama-nama calon penjabat dari unsur instrumen pertahanan dan keamanan negara juga kontradiktif. Sebab, mengacu pada data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), jumlah jabatan pimpinan tinggi (JPT) dan JPT pratama lebih dari jumlah kebutuhan penjabat kepala daerah. JPT madya, misalnya, mencapai 600 orang. Adapun jumlah JPT pratama jauh lebih besar, yaitu 4.000-an orang. Jika pada tahun ini ada 170 kepala daerah yang akan diganti oleh penjabat, seharusnya bisa dipilih dari ASN JPT madya dan pratama yang ada itu.
Ia juga menilai bahwa fenomena itu juga membuktikan bahwa konstelasi politik di tingkat lokal masih sangat terfragmentasi. DPRD bisa saja mencari alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka mencari sumber daya untuk terpilih menjadi anggota DPRD atau DPR pusat. Dengan sumber daya terbatas, mereka ingin bertarung dengan cara-cara kotor dan bermain-main dengan aturan. Termasuk ia menduga politikus mencari sumber daya politik lewat bekerja sama dengan aktor-aktor keamanan yang memiliki sumber daya baik logistik maupun politik.
”Kalau filternya sampai jebol dari DPRD. Ini justru membuat bertanya-tanya publik mengapa DPRD memilih melanggar aturan UU TNI, UU Polri, ataupun putusan MK?” tanyanya.
Kompas telah meminta konfirmasi dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik dan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan terkait temuan ini. Namun, mereka tidak bersedia merespons.
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan
Sebelumnya, Kapuspen Kemendagri Benni Irwan mengatakan, polemik nama-nama penjabat kepala daerah dari unsur TNI/Polri aktif sudah pernah ramai diperbincangkan pada saat gelombang pertama pengangkatan penjabat pada 2022. Oleh sebab itu, sikap Kemendagri adalah nama-nama calon penjabat yang berasal dari anggota TNI atau Polri aktif tetap akan disaring sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023.
Nama-nama baik dari unsur sipil, militer, maupun Polri tetap akan disaring, diidentifikasi, dan dikompilasi sebelum diteruskan ke sidang pra-Tim Penilai Akhir (TPA). Syarat-syarat itu di antaranya adalah untuk penjabat gubernur harus dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya struktural bukan fungsional. Sepanjang figur yang diusulkan itu memenuhi syarat, menurut dia, masih mungkin nama itu diusulkan. Namun, jika nama-nama itu tidak memenuhi syarat (TMS), tetap tidak akan diloloskan ke sidang TPA. ”Kalau itu yang menjadi concern dari publik, kami akan melihat berapa dari TNI/Polri itu yang betul-betul memenuhi syarat atau tidak. Kalau tidak memenuhi syarat, tidak akan kami lepaskan,” katanya.