Angka Semu Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Bakal Caleg
Koalisi masyarakat sipil mengungkap, hak konstitusional 7.971 bakal caleg perempuan terenggut akibat aturan pembulatan ke bawah syarat 30 persen perempuan dalam daftar bakal caleg yang dibuat KPU.

Peserta aksi mengangkat poster dan spanduk berisi pesan penolakan mengenai Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Pasal 8 di kompleks Badan Pengawas Pemilu, Jakarta Pusat, Senin (8/4/2023).
Lebih dari dua bulan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan menanti putusan Mahkamah Agung terkait uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Penantian itu terus berkejaran dengan tahapan pencalonan anggota legislatif yang kini telah berjalan lebih dari tiga bulan.
Di tengah penantian panjang tersebut, koalisi masyarakat sipil menghitung persentase keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan 18 partai politik peserta Pemilu 2024. Mereka ingin membandingkan dampak riil dari aturan pembulatan ke bawah yang dianggap merugikan bakal caleg perempuan. Sebab, aturan tersebut membuat kuota minimal perempuan di sejumlah dapil berkurang.
Aturan yang dimaksud adalah Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023. Pasal itu mengatur, penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan yang menghasilkan angka pecahan. Apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Klaim KPU yang menyebut persentase bakal caleg perempuan untuk DPR mencapai 37 persen pun diuji. Berbekal data KPU tentang pengajuan bakal caleg dari 18 parpol untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diunggah di laman infopemilu, mereka menghitung persentase bakal caleg perempuan yang didaftarkan seluruh parpol di semua lembaga perwakilan.
Baca juga: Tak Ada Keterwakilan Perempuan di Bawaslu Sumut, Amanat UU Pemilu Tak Terpenuhi

Rekapitulasi persentase keterwakilan perempuan dalam pengajuan daftar bakal calon anggota DPR RI oleh 18 parpol peserta Pemilu 2024.
Hasilnya, hampir semua parpol dinilai tidak memenuhi syarat pencalonan jumlah minimal 30 persen bakal caleg perempuan di banyak daerah pemilihan (dapil). Persentase bakal caleg perempuan kurang dari 30 persen ditemukan di dapil DPR dengan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 4, 7, 8, dan 11.
Dalam daftar bakal caleg DPR, hanya Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang memenuhi kuota 30 persen bakal caleg perempuan di semua dapil DPR. Sementara 17 parpol lainnya mendaftarkan bakal caleg perempuan dengan proporsi kurang dari 30 persen di banyak dapil.
Salah satunya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari 84 dapil DPR, parpol pimpinan Muhaimin Iskandar itu tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan di 29 dapil. Begitu pula Partai Solidaritas Indonesia (PSI), ada 29 dapil yang kuota bakal caleg perempuannya di bawah 30 persen. Partai-partai besar, salah satunya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), juga belum memenuhi kuota perempuan di semua dapil. Parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menyisakan 27 dapil dengan jumlah bakal caleg kurang dari 30 persen.
Hak konstitusional dari 7.971 bakal caleg perempuan terenggut akibat aturan yang dibuat KPU. Rinciannya 290 kursi bakal caleg DPR, 860 kursi bakal caleg DPRD provinsi, dan 6.821 kursi bakal caleg di DPRD kabupaten/kota.
Sementara di tingkat DPRD provinsi, seluruh parpol mendaftarkan bakal caleg perempuan dengan proporsi kurang dari 30 persen di banyak dapil. Begitu pula di DPRD kabupaten/kota, semua parpol mendaftarkan kurang dari 30 persen bakal caleg perempuan di banyak dapil.
Kondisi itu bukan disebabkan parpol yang tidak mengindahkan pemenuhan 30 persen perempuan dalam daftar caleg, melainkan efek dari pemberlakuan PKPU 10/2023. Semua parpol sebenarnya telah mengajukan daftar bakal caleg perempuan sesuai dengan ketentuan dalam PKPU, yakni dengan pembulatan ke bawah.
Ketentuan pembulatan ke bawah itu, menurut penghitungan masyarakat sipil, mengakibatkan 7.971 kursi bakal caleg yang seharusnya diisi perempuan malah diberikan untuk bakal caleg laki-laki. ”Hak konstitusional dari 7.971 bakal caleg perempuan terenggut akibat aturan yang dibuat KPU. Rinciannya, 290 kursi bakal caleg DPR, 860 kursi bakal caleg DPRD provinsi, dan 6.821 kursi bakal caleg di DPRD kabupaten/kota,” ujar Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay di Jakarta, Jumat (11/8/2023).

Menurut Hadar, temuan persentase bakal caleg perempuan yang tidak mencapai 30 persen di banyak dapil menunjukkan bahwa KPU tidak memiliki perspektif afirmasi dan keberpihakan kepada perempuan. Jika KPU memiliki keberpihakan yang kuat kepada perempuan, semestinya KPU tidak menyetujui aturan penghitungan pembulatan ke bawah. Dalih penghitungan berdasarkan rumus matematika pun tidak tepat digunakan karena penghitungan bakal caleg perempuan merupakan urusan keberpihakan.
”Di situlah terlihat ketidakmandirian KPU. Mereka tidak mampu untuk mengambil sikap yang berbeda dengan Komisi II DPR yang meminta aturan penghitungan keterwakilan perempuan diubah,” kata Hadar.
Hadar mengatakan, penghitungan persentase keterwakilan perempuan seharusnya dilihat per dapil. Sebab, sistem pemilu di Indonesia menunjukkan kontestasi pemilu legislatif dilakukan di setiap dapil, bukan nasional. Oleh karenanya, penghitungan persentase bakal caleg perempuan tidak bisa diakumulasikan secara nasional.

Rekapitulasi persentase keterwakilan perempuan dalam pengajuan daftar bakal calon anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota oleh 18 parpol peserta Pemilu 2024.
Atas penghitungan yang dilakukan koalisi masyarakat sipil, lanjutnya, klaim KPU bahwa keterwakilan perempuan menggunakan aturan pembulatan ke bawah mencapai lebih dari 30 persen justru tidak terbukti. Sebab, jika dihitung per dapil, banyak parpol yang justru tidak memenuhi afirmasi 30 persen bakal caleg perempuan tersebut.
Lebih jauh, KPU dinilai kurang membaca secara utuh ketentuan dalam Pasal 243 hingga Pasal 246 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 243 Ayat (1) UU 7/2017 disebutkan bahwa bakal calon disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masing-masing. Sementara di Pasal 244 disebutkan, daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat paling banyak 100 persen dari jumlah kursi pada setiap dapil. Adapun di Pasal 245 UU Pemilu, daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
”Jadi, tidak bisa kalau membaca persentase perempuan secara nasional, tetapi di setiap dapil. Memaknai pasal harus terkait dengan pasal sebelumnya,” ucap Hadar.
Menunggu putusan
Kuasa hukum pemohon uji materi PKPU 10/2023, Fadli Ramadhanil, mengatakan, pihaknya menunggu MA memutus uji materi yang diajukan. Sebab, sudah lebih dari 30 hari kerja sejak gugatan diajukan pada 5 Juni belum ada putusannya. Padahal, merujuk Pasal 76 Ayat (4) UU Pemilu, MA memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (ketiga dari kiri) didampingi Ketua DKPP Heddy Lugito (kedua dari kiri) dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (keempat dari kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Rabu (10/5/2023).
Bahkan, saat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menelusuri laman Informasi Perkara MA, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/, pada Jumat pagi, mereka tidak menemukan perkara Nomor 23P/HUM/VI/2023 yang didaftarkan. Begitu pula perkara uji materi PKPU 10/2023 tentang mantan narapidana bernomor 25P/HUM/VI/2023 yang juga tidak ditemukan. Ada satu perkara nomor 24P/HUM/2023 dengan pemohon Perludem yang ditemukan di laman tersebut.
”Perkara nomor 24 bukan yang kami daftarkan,” kata Fadli.
Terkait perkembangan perkara uji materi yang tidak muncul di penelusuran perkara, Juru Bicara MA Suharto mengatakan, akan mengeceknya. ”Coba saya tanyakan ke Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara,” ujarnya.
Menurut Fadli, lambatnya putusan menunjukkan MA gagal menjawab dan menangkap urgensi masalah keterwakilan perempuan yang diatur di PKPU. Padahal, pihaknya sudah meminta MA untuk mempercepat putusan mengingat tahapan pencalonan anggota legislatif sudah berjalan. Terlebih, masih ada kesempatan untuk memperbaiki daftar bakal caleg sebelum penetapan daftar caleg tetap.
Baca juga : Absurditas Keterwakilan Perempuan dalam Politik
”Kalau situasinya seperti ini, MA seperti tidak punya sensitivitas terhadap persoalan yang serius menyangkut keterpenuhan syarat calon anggota legislatif. Kalau diabaikan, parpol yang tidak memenuhi syarat akhirnya bisa tetap mengikuti pemilu,” tutur Fadli.
Secara terpisah, anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU secara teknis mengatur mengenai ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 245 dan Pasal 246 Ayat (2) UU Pemilu terkait keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. KPU mengaturnya dalam Pasal 8 Ayat (2) huruf a dan b PKPU 10/2023, dan lebih rinci lagi diatur di Lampiran V Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023. PKPU 10/2023 juga telah melewati proses legal drafting sebagaimana peraturan-peraturan KPU pada umumnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F24%2F9e6c20c3-5d45-4781-95cf-45d685fb0c9c_jpg.jpg)
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Idham Kholik (kiri) dan Mochammad Afifuddin (kanan) saat menggelar konferensi pers di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, terkait putusan Badan Pengawas Pemilu atas gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Jumat (24/3/2023).
KPU, lanjut Idham, menyelenggarakan pemilu sesuai prinsip berkepastian hukum. Oleh karena itu, pihaknya akan menghormati dan melaksanakan putusan MA atas uji materi Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 yang kini berproses di MA. ”Kami akan melaksanakan apa pun putusan MA atas uji materi tersebut karena putusannya bersifat final dan mengikat,” kata Idham.
Partai-partai politik telah mengajukan jumlah bakal caleg perempuan sebanyak 30 persen sesuai dengan penghitungan yang diatur dalam PKPU 10/2023. Akan tetapi, menurut kalangan masyarakat sipil, pemenuhan 30 persen bakal caleg perempuan itu sebenarnya belum terpenuhi karena KPU menggunakan pembulatan ke bawah saat menghitung kuota perempuan dalam daftar bakal caleg di tiap-tiap dapil. Karena itu, bisa dikatakan, keterwakilan 30 persen bakal caleg perempuan masih semu.